Informasi Terpercaya Masa Kini

Jokowi Masuk Daftar Tokoh Paling Korup pada 2024 Versi OCCRP

0 6

KOMPAS.com – Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) masuk daftar finalis Person of The Year 2024 untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi versi Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).

Ia bersanding dengan Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha India Gautam Adani.

Jokowi masuk ke daftar finalis setelah OCCRP meminta nominasi dari para pembaca, jurnalis, juri, dan pihak lain dalam jaringan global organisasi ini.

OCCRP yang berpusat di Amsterdam, Belanda telah mengumpulkan nominasi melalui Google Form sejak Jumat (22/11/2024).

Dari nominasi tersebut, mantan Presiden Suriah, Bashar Al Assad mendapat titel sebagai Person of the Year 2024 untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi.

Baca juga: Termasuk Harvey Moeis, Ini 6 Tersangka Kasus Korupsi Timah yang Divonis Ringan

Indeks persepsi korupsi Indonesia naik-turun selama pemerintahan Jokowi

Daftar finalis kategori kejahatan organisasi dan korupsi yang dirilis OCCRP merupakan cermin naik-turunnya indeks persepsi korupsi di Indonesia selama Jokowi menjabat sebagai presiden pada 2014-2024.

Indeks persepsi korupsi adalah tingkat persepsi atau anggapan masyarakat mengenai korupsi yang terjadi pada jabatan publik dan politik dengan skala 0-100.

Semakin tinggi nilai persepsi korupsi sebuah negara artinya semakin rendah pula korupsi yang terjadi di negara tersebut.

Berdasarkan catatan Kompas.com, Senin (14/10/2024), indeks persepsi korupsi Indonesia berada di angka 34 pada 2014 saat Jokowi pertama kali menduduki kursi RI-1.

Pada 2015, indeks persepsi korupsi Indonesia membaik setelah naik ke angka 36.

Baca juga: Perjalanan Harvey Moeis dalam Kasus Korupsi Timah, dari Peran hingga Vonis

Indeks tersebut kembali mengalami perbaikan pada 2016 dan 2017 ketika nilainya mencapai 37.

Indeks persepsi korupsi Indonesia naik 1-2 poin pada 2018 ke angka 38 dan 40 pada 2019.

Sayangnya, Indonesia tidak mampu mempertahankan indeks tersebut setelah turun menjadi 37 pada 2020, 38 pada 2021, dan 34 pada 2022 serta 2023.

Indeks persepsi korupsi pada 2022 dan 2023 sama dengan nilai yang diraih di tahun pertama Jokowi menjabat sebagai presiden.

“Penurunan skor tersebut mayoritas diakibatkan kalau menurut TII adalah bahwa situasi korupsi politik di Indonesia tidak terbendung, dan pemerintah gagal untuk menanggulangi dan mencegah korupsi politik tersebut,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya.

Titik mundur pemberantasan korupsi di Indonesia

Ada beberapa peristiwa yang menjadi titik mundurnya pemberantasan korupsi di Indonesia selama Jokowi memerintah.

Baca juga: Netanyahu Perdana Hadiri Sidang Kasus Korupsi, Apa yang Perlu Diketahui?

Salah satunya adalah kilatnya revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.

“Revisi undang-undang KPK, ini benang merahnya bisa dinilai oleh publik, ada benang merah di situ, bahwa memang ada upaya dari pemerintah Presiden Jokowi untuk melemahkan KPK secara kelembagaan melalui revisi undang-undang KPK,” jelas Diki.

Selain revisi UU KPK, faktor lain yang dinilai melemahkan pemberantasan korupsi adalah pemecatan puluhan pegawai KPK karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) ditambah pimpinan KPK pada 2019-2022 yang bermasalah.

Firli Bahuri yang menjabat sebagai Ketua KPK pada 2019-2023 sempat melakukan beberapa pelanggaran kode etik, termasuk terjerat kasus dugaan suap terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

Baca juga: Profil Satori, Anggota DPR yang Diperiksa KPK soal Dugaan Korupsi Dana CSR BI

Kasus korupsi yang terbongkar pada 2014-2024

Meski indeks persepsi korupsi Indonesia tidak pernah melebihi 40, sejumlah kasus korupsi mampu diungkap KPK selama 2014-2024.

Salah satunya megakorupsi e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Kasus ini menjerat eks Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto.

Dilansir dari Kompas.com, Sabtu (19/10/2024), lembaga anti-rasuah juga mampu mengungkap megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang muncul pada 1998.

Melalui Bank Indonesia (BI), pemerintah pernah mengucurkan bantuan kredit sebesar Rp 147,7 triliun ke 48 bank.

Baca juga: Siapa Hendry Lie dan Bagaimana Perannya dalam Kasus Korupsi Timah?

Salah satunya melalui Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim yang mendapatkan kredit Rp 47 triliun.

Namun, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengambil alih saham dan pengelolaan BDNI menemukan terdapat piutang ke petambak udang Dipasena Lampung RP 4,8 triliun macet. Sjamsul lalu dianggap misrepresentasi.

BPPN kemudian menyatakan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum dengan menguntungkan pemegang saham.

KPK kemudian menetapkan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung sebagai tersangka.

Pada 2019, pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, juga jadi tersangka.

Baca juga: Terjerat Korupsi, Gaji dan Tunjangan Kepala Disbud Jakarta Iwan Henry Tembus Rp 60 Juta

Leave a comment