Gaya Hidup Minimalis di Kalangan Mahasiswa Gen Z : Sebenarnya Hanya Menjadi Tren atau Memang Realitas Kehidupan?
Apa yang terlintas di pikiran apabila mendengar kata “minimalis”? Tentu yang terlintas adalah meminimalisir dan mengurangi segala penggunaan terutama dalam gaya hidup. Pada beberapa tahun terakhir ini, gaya hidup minimalis ini sering mencuat dan popular terutama di kalangan mahasiswa Gen Z. Gen Z sendiri memang dikenal dengan generasi yang cinta akan kebebasan dan juga generasi yang akrab dengan digital. Pastinya, dalam hal gaya hidup minimalis ini, media sosial berperan begitu besar dalam perkembangannya. Media sosial menjadi platform utama yang mempopulerkan gaya hidup minimalis tersebut hingga menjadi sebuah tren di kalangan mahasiswa Gen Z. Platform yang digunakan yaitu seperti, YouTube, Instagram, TikTok, dan Twitter. Dimana Tik-Tok lah yang menjadi platform utama dalam perkembangan sebuah tren. Melalui video pendek yang diunggah oleh seseorang atau sering disapa sebagai selebgram (influencer), orang-orang dapat dengan mudah terpengaruh dan melakukan apa yang dijadikan konten oleh mereka. Dengan menampilkan kamar kos yang tertata rapi, lemari pakaian yang sederhana, dan gaya hidup yang hemat orang-orang menyebutnya sebagai bagian dari gaya hidup “minimalis”. Namun, dibalik semua ketenaran dan menjadi tren tersebut, terdapat sebuah pertanyaan yakni, sebenarnya apakah tren gaya hidup minimalis tersebut benar-benar mencerminkan gaya hidup mahasiwa Gen Z sehari-hari atau hanya mengikuti apa yang sedang ramai dilakukan atau dengan kata lain hanya“fomo”?
Gen Z tumbuh pada lingkungan yang berisi dengan ketidakpastian dan juga tekanan sosial yang tinggi. Sehingga, media sosial lah yang memiliki peran besar dalam membentuk gaya hidup mereka. Dimana konsumsi yang berlebihan menjadi sebuah kebiasaan. Gaya hidup minimalis hadir menawarkan solusi hidup dengan serba sedikit untuk mendapatkan lebih banyak kedamaian. Banyak selebgram (influencer) mempromosikan gaya hidup minimalis dengan menampilkan gaya hidup yang hemat, penggunaan kantong belanja ramah lingkungan saat berbelanja, dan penggunaan capsule wardrobe atau penggunaan beberapa pakaian yang senada (berwarna netral dan simpel) yang nantinya akan dipadupadankan. Sehingga, tentunya akan meminimalisir pembelian pakaian yang tempo waktunya hanya mengikuti tren saja. Tentunya, pesan ini menarik bagi beberapa mahasiswa yang sering merasa tertekan oleh tuntutan baik itu tuntutan karena akademik maupun tuntutan sosial.
Tetapi, beberapa dari mereka juga hanya mengikuti gaya hidup ini secara kurang mendalam. Pembelian barang minimalis yang terkesan murah namun sebenarnya barang tersebut mahal seperti, perabotan yang hanya bernilai estetik, gadget canggih, dan barang-barang printilan lucu yang sering kali dibeli hanya demi tampilan tanpa mementingkan fungsi dan kebutuhan. Sehingga, sebenarnya hal tersebut bertentangan dengan prinsip gaya hidup minimalis. Terdapat juga, mahasiswa yang melakukan gaya hidup ini hanya karena fomo akan apa yang sedang tren di sosial media. Hanya demi mendapat sebuah pengakuan di sosial media melalui unggahan pencitraan gaya hidup yang sederhana. Padahal gaya hidup sebenarnya memang tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Di sisi lain, gaya hidup ini muncul bukan karena pilihan, melainkan dikarenakan sebuah kebutuhan terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam hal finansial. Faktor ekonomi lah yang menjadi faktor utama. Mahasiswa menghadapi begitu banyak permasalahan tentang keuangan seperti, biaya hidup, pendidikan, dan sewa kos yang tinggi. Pada kasus ini lebih sering ditemui oleh mahasiswa yang merantau. Biaya UKT kuliah, sewa kos, dan kebutuhan sehari-hari yang membuat mereka terpaksa untuk mengurangi pengeluaran dan hanya fokus pada kebutuhan yang penting dan diperlukan. Sehingga, gaya hidup minimalis dan hidup sederhana merupakan pilihan yang tepat menjadi solusi yang praktis dalam mengatur keuangan mereka dengan lebih baik. Namun, terdapat juga mahasiswa yang secara sadar memilih gaya hidup ini dikarenakan merasa bahwa mempunyai barang yang lebih sedikit dapat membantu membuat mereka fokus pada hal-hal yang lebih bermakna, seperti pengalaman, pendidikan dan juga pengembangan diri.
Berbagai alasan yang melatarbelakangi penerapan gaya hidup minimalis yang dilakukan oleh mahasiswa Gen Z. Ada yang memang benar-benar memahami makna dari minimalis itu sendiri dan menjadikannya sebagai pedoman prinsip dalam hidup. Mereka lebih selektif dalam memilih barang apa yang perlu atau tidak dan fokus pada kualitas hidup. Namun, ada juga yang hanya mengikuti apa yang sedang ramai diperbincangkan dan mengikutinya tanpa mengerti makna dari penerapan gaya hidup tersebut.
Walaupun begitu, pada akhirnya gaya hidup minimalis pada kalangan Gen Z tampaknya merupakan gabungan antara realitas kebutuhan hidup dan tren yang sedang hangat dibahas di sosial media. Pada sebagian mahasiswa, gaya hidup ini merupakan kebutuhan yang muncul dari keterbatasan dalam ekonomi. Namun, bagi beberapa mahasiswa lainnya hal ini adalah pilihan mereka secara sadar untuk menemukan kehidupan yang lebih bermakna dan terorganisir. Tergantung pada individu kita masing-masing dalam menjalankan prinsip-prinsip kehidupan.
Agar gaya hidup minimalisme ini tidak hanya menjadi tren sesaat yang kedepannya dapat hilang begitu saja, maka kita sebagai mahasiswa perlu paham akan maknanya, yakni hidup dengan penggunaan barang yang penting-penting saja dan sesuai dengan kebutuhan kita dengan tidak menuntut hanya pada terlihat estetikanya sebuiah barang saja. Dengan cara tersebut, maka penerapan sifat minimalis ini tidak hanya menjadi gaya hidup, namun juga cara kita untuk menghadapi tantangan dalam dunia modern secara bijak.