Informasi Terpercaya Masa Kini

Garuda Lambang Indonesia Burung Apa Sebenarnya? Elangkah? Rajawalikah?

0 4

Tentu banyak dari kita yang masih bingung: sebenarnya, garuda lambang negara Indonesia itu elang atau rajawali?

Penulis: Slamet Suseno, Majalah Intisari edisi Agustus 1993 dengan judul “Elang-elang Lambang Negara”

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Lambang negara republik kita berupa burung. Ada yang menganggapnya burung garuda, tapi ada pula yang mempertanyakan, “Bukankah garuda itu manusia berkepala burung?”

Jatayu dalam epos Ramayana adalah garuda rekaan Walmiki. Garuda yang ditunggangi Batara Wisnu dalam Garudeya juga tidak kita jumpai di dunia. Yang ada adalah elang dan rajawali.

Burung apa sebenarnya lambang negara kita itu? Elangkah atau rajawalikah?

Elang yang Anda kenal pertama kali dulu niscaya juga ulung-ulung, seperti yang kami kenal waktu masih kanak-kanak. Saat bermain di halaman kampung di kampung halaman kita dulu, kadang-kadang kita dikejutkan oleh ayam yang lari mencari selamat di bawah dedaunan pagar hidup.

Tapi te laat, sudah! Ulung-ulung itu sudah menerkam anak ayam yang ketinggalan biritnya.

Dengan anggun sekali, elang itu kembali ke angkasa, membawa korbannya ke puncak pohon. Di sanalah ia menikmati chicken on the rough-nya, seperti kita menikmati ayam goreng bumbu kolonel.

Para petani pedalaman sering menggerutu tentang ulung-ulung yang ulung, Haliastur indus intermedius, ini. Sebab, mencuri ayam tidak bilang-bilang lebih dulu.

Hanya kalau tidak ada anak ayam yang bisa diterkam, ia berteriak seperti mengeluh: hi-eee! Tapi, kalau sedang gembira bersama pacarnya, ia berteriak nyaring: ki-ek, ki-ek, ki-ek! Gayanya seperti penyanyi senggakan lagu seronok: ayo-lo-le!

Ulung-ulung yang tinggal di pantai tidak diomeli seperti keponakannya dari udik. Sebab, yang mereka terkam hanya kodok, ikan, atau binatang kicit yang lain.

Kadang-kadang malah hanya sisa dapur yang dibuang dari kapal. Atau bangkai yang tidak diurus keluarganya.

Lambang DKI Jaya

Sudah sejak l989, Gubernur DKI Jakarta menetapkan ulung-ulung pantai sebagai “identitas atau maskot” DKI Jakarta. Begitulah yang tercantum dalam Surat Keputusan no. 1796 tahun 1989.

Tetapi, maskot sebenarnya sesuatu yang dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan. Bukan sesuatu yang menggambarkan identitas (ciri pengenalan) pemiliknya.

Orang Betawi menyebut burung itu elang bondol karena kepala dan lehernya putih seperti kepala emprit bondol. Wah! Mengapa yang dipilih burung ini?

Ternyata bukan karena ia penduduk Betawi asli, tapi karena terbangnya tenang dan tahan lama melayang berputar-putar di angkasa biru. Matanya tajam sekali sampai mampu melihat mangsa sejauh ratusan meter dari angkasa.

Perilakunya lalu dijadikan simbol warga Jakarta yang selalu dinamis, jeli melihat peluang, dan cekatan dalam bertindak.

Sayang, burung yang tingginya 50 cm dengan bentangan sayap 1,20 m itu sudah langka di daerah ini. Tidak banyak yang mengenali sosoknya.

Di seluruh Jakarta ia hanya terdapat di cagar alam Pulau Rambut. Barang siapa memburunya sampai terdengar oleh polisi, akan dihukum berat. Untung burungnya jarang ada. Jadi, juga jarang ada orang dihukum berat.

Rajawali lambang Amrik

Seekor keponakan bondol tinggal di Amerika, Haliaetus leucocephalus, lebih besar lagi. Tubuhnya setinggi 1 m dengan bentangan sayap 2 m.

Di Indonesia, elang besar semacam itu disebut rajawali untuk membedakannya dari elang kecil yang tetap disebut elang. Rajawali Amerika memberi kesan botak, kalau dilihat dari jauh karena cephalos (kepala)-nya leucos (putih) di atas tubuh yang gelap.

Ia lalu terkenal sebagai bald eagle, meskipun tidak botak.

Penampilannya yang angker dan ukurannya yang besar menyebabkan ia dipilih sebagai lambang negara. Melalui perdebatan sengit di parlemen tahun 1782, Benjamin Franklin yang ilmuwan dan negarawan sekaligus, sebenarnya ngotot ingin memakai burung kalkun sebagai lambang negara, tapi ia kalah otot.

Ia menolak rajawali karena moralnya bejat. Kerjanya cuma mencuri. Tapi, lihatlah kalkun yang lebih berbudaya dan berguna bagi umat manusia! Yaitu, untuk dimasak sebagai ayam kodok!

Para anggota parlemen yang lain kebanyakan memilih rajawali karena penampilannya lebih perkasa ketimbang kalkun yang terlihat bloon. Bald eagle dulu pernah merajai wilayah udara Alaska, California, dan Meksiko.

Selain mengandalkan cengkeraman kuku kakinya, mereka juga percaya pada keampuhan paruhnya yang tajam.

Bagian atas paruh ini melengkung ke bawah. Tepinya yang tipis tapi keras bisa menutup tepi paruh bawahnya seperti tutup menutup dos. Jadi kalau ditutupkan, tepi kedua bagian paruh itu bekerja sebagai gunting bermata dua.

Tapi karena diburu habis-habisan antara 1917 dan 1952, kini mereka sudah hampir punah. Itu gara-gara persaingan bisnis. Mereka menghabiskan ikan yang menjadi makanan orang dan binatang pengerat penghasil bulu industri mantel.

Pemerintah Amerika memang sudah membiakkan jenis yang terancam punah itu di kawasan konservasi burung, dengan penetasan telur dalam mesin segala (jadi aman terhadap pencoleng), tapi laju pertambahannya tidak mampu menutup jumlah yang sudah musnah sebelumnya.

Rajawali lambang Jerman

Di Eropa, rajawali Amrik punya keponakan yang terkenal sebagai rajawali laut berekor putih, Haliaeetus albicilla. Kepalanya tidak putih, tapi blirik coklat seperti tubuhnya.

Hanya bulu ekornya yang putih. Tubuhnya lebih kekar, setinggi 1 m dengan bentangan sayap 2,5 m. Benar-benar mesut. Tapi, masih gemerasak juga jatuhnya.

Tidak apalah! Sekejap kemudian ia sudah mumbul lagi, mengebaskan sayap agar kering. Terbanglah ia ke angkasa membawa ular tergenggam di kakinya.

Ular yang diciduk melawan sejadi-jadinya dan kadang-kadang berhasil menjerat kaki si burung. Tapi, tengkuk ular itu dipatuknya. Bletak! Habis perkara!

Kehebatan inilah yang mungkin mendorong bangsa-bangsa manusia di belahan bumi utara dulu memakainya sebagai lambang keperkasaan.

Adalah Cyrus “Raja Persia” yang tua (mangkat tahun 530 SM) yang diwartakan sebagai pemakai lambang elang yang pertama. Lambangnya berupa patung elang dari emas yang terbentang sayapnya.

Elang itu dipasang pada pucuk tiang panji-panji kesatuan tentaranya.

Oleh Ptolomeus, tanda kebesaran itu diimpor ke Mesir, dan dari sana dioper tentara Romawi yang menyerbu bangsa lain kemudian memamerkan kekuatan angkatan bersenjatanya dengan membawa panji-panji berpatung elang di puncak tiangnya. Tapi dari perak.

Sejak Gayus Marius wafat tahun 86 SM, atribut tentara itu dinaikkan pangkatnya menjadi lambang kekaisaran, sampai tahun 337. Pemakaian lambang elang kemudian diambil alih oleh bangsa Jerman sampai sekarang.

Pemusnahan pelan-pelan

Seperti elang bondol Jakarta, rajawali laut Jerman pun sudah hampir punah. Sudah sejak abad XIX mereka diberantas orang karena suka menyerang ternak seperti ayam, anak babi, dan kambing.

Kepalanya diawetkan sebagai hiasan dinding, dan telurnya dirampas dari sarang untuk dijual kepada pemilik hobi mengumpulkan telur. Wah! Belum sampai menetas sudah ditumpas.

Sejak memilih tempat untuk menyusun sarang pun sepasang temanten rajawali sudah menghadapi kesulitan karena harus ketat bersaing dengan sesama temanten sebangsa dan setanah airnya yang kawin massal pada musim semi.

Sarangnya dibangun di puncak pohon tinggi agar aman terhadap serbuan burung buas lain, seperti alap-alap dan bahak. Lokasinya pun selalu dipilihkan menghadap ke air terbuka.

Jadi, gampang melihat kedatangan pencoleng. Sebagai perampok samber nyawa, mereka sendiri takut anaknya disambar juga nyawanya.

Anak-anaknya harus dipasok makanan hasil rampokan selama enam bulan. Barulah mereka cukup kuat untuk terbang mencari mangsa sendiri.

Burung tuanya meninggalkan mereka begitu saja. Jadi, terpaksalah mereka mencari perlindungan pada kaum muda sebayanya yang membentuk geng.

“Bersatu kita teguh, bercerai kita runyam,” motto mereka kira-kira. Terbanglah mereka beramai-ramai ke selatan yang lebih hangat. Sepanjang perjalanan mereka merampoki binatang liar dan ternak orang lain. Ini sudah tradisi turun-temurun.

Tidak mungkin ada geng muda-mudi rajawali yang manis-manis suka damai. Tapi, apa yang mereka hadapi kini?

Selain tembakan peluru maut dari pihak yang tidak senang, juga pestisida yang mencemari binatang mangsanya. Racun ini berton-ton banyaknya mengalir ke sungai dan laut sebagai biaya kemakmuran masyarakat agroindustri.

Semua binatang yang menjadi mangsa rajawali, kebagian racun ini secara adil dan makmur. Ratusan rajawali generasi muda kemudian mati karena makan mangsa yang tercemar racun hama pertanian.

Proses pemusnahannya berjalan diam-diam sampai tidak banyak menarik perhatian, tapi tiba-tiba ada pencinta lingkungan yang tersentak, “Wah! Mestinya tidak begitu!”

Garuda yang congkak

Rajawali Cyrus “Raja Persia” yang tua itu juga tersebar ke pantai barat India. Keperkasaannya menerkam ular niscaya juga terdengar oleh para pujangga India zaman purba.

Di antaranya ada yang memitoskannya sebagai Resi Garuda, seekor makhluk alim setengah burung (mukanya saja), setengah manusia (sekujur badannya). Kebiasaannya makan ular diberi kisah pembenaran bahwa ia mau membebaskan ibunya bernama Winata yang ditahan di kerajaan ular dasar laut.

Jadi, apa boleh buat. Setiap ular yang mengalanginya di permukaan harus disikat. Itu bukan dosa karena demi perjuangan. Jadi jangan ribut!

Bu Winata dikenai tahanan rumah karena kalah bertaruh menebak warna kuda laut, dan baru akan dibebaskan kalau ditebus dengan air kehidupan, tirta amerta. Ketika mencari air kehidupan di tujuh lautan itulah Garuda berjumpa dengan Batara Wisnu yang menawari bantuan modal tanpa bunga.

“Mane bise! Ane ‘kan lebih sakti dari ente! Mustinye ente nyang minte ame ane. ‘Ntar ane kasih!” jawab Resi Garuda congkak. Ia merasa meer (kebalikan dari minder) daripada Batara Wisnu yang terkenal pemurah dan penyayang binatang.

Untuk memberi pelajaran kepada makhluk sombong ini, Batara Wisnu minta agar Garuda mau menjadi kendaraannya. Kaget sekali Garuda menerima permintaan yang tidak terduga itu.

Tapi, sudah terlambat. Sebagai kesatria, ia tidak bisa mengingkari kata-katanya. Maka, jadilah ia kendaraan dinas Batara Wisnu.

Dari India inilah para pujangga Jawa zaman Dharmawangsa Anantawikrama Uttunggadewa (nama pendeknya Teguh) mengenal dan menyebarluaskan nama garuda di Jawa Timur tahun 991-1016.

Meskipun mereka tidak melihat sendiri ujud burung itu, namun mereka berhasil membayangkan dan mengabadikannya dalam pahatan relief Candi Kedaton dan Kidal.

Garuda yang setengah orang setengah burung diabadikan lebih nyata sebagai area Airlangga (titisan Wisnu) menunggangi burung di Candi Belahan. Tapi, kini disimpan di Museum Mojokerto.

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, garuda dilukiskan sebagai burung rajawali seutuhnya. Kepalanya juga menengok ke kanan seperti semua lambang elang negara lain.

Tapi, ia membawa perisai berisi lambang-lambang Pancasila. Jumlah bulu sayapnya yang 17, bulu ekornya yang 8, bulu ekor kecil di bawah perisai yang 19, dan bulu kecil di leher yang 45, mengingatkan kita pada hari lahir Republik Indonesia.

Kakinya merentang spanduk Jawa kuno Bhinneka Tunggal Ika. Beraneka ragam, tapi satu, maksudnya.

Elang laut Indonesia

Di Indonesia masa kini juga ada keponakan dekat dari rajawali laut yang terkenal sebagai elang laut putih. Haliaeetus leucogaster.

Tubuhnya lebih kecil. Hanya 70 cm, dengan bentangan sayap 1 m. Karena itu ia tetap disebut elang, bukan rajawali.

Baik elang (kecil) maupun rajawali (besar) dimasukkan ke dalam suku elang-elangan Accipitridae dari bangsa burung pemangsa Falconiformes. Kepala elang laut putih juga putih seperti elang bondol, tapi putihnya berlanjut ke dada dan perut. Punggungnya abu-abu gelap, tidak coklat seperti bondol.

Sebagai burung laut, ia bersarang di atas pohon pulau-pulau kecil yang terpencil. Persis seperti perompak yang membangun sarang di tempat-tempat tersembunyi.

Dari sana mereka berburu ikan, ular laut, anak burung, atau kalong. Secara teratur pula mereka merampas telur cangak dalam sarangnya, di pohon tanjang lanang di tepi pantai yang lebih ramai.

Telur yang dirampas selalu yang sedang ditinggalkan induknya. Walaupun induk ini sebenarnya bisa mematuk perampas telur itu, namun ia hanya berteriak memaki-maki dari cabang yang berdekatan.

“Senewen, aku!” Soalnya, tubuh elang memang lebih besar daripada cangak.

Tetangga-tetangganya ikut berteriak, tapi itu sekadar basa-basi turut bela ribut. Semacam belasungkawa, tapi bukan.

Anehnya, burung-burung tetangga ini bukannya rapat mendekap telurnya sendiri, tapi malah mengungsi ke cabang lain. Elang garongnya cukup diteriaki dari jauh.

Namun yang mengherankan ialah, tepi sarang elang laut sendiri banyak ditebengi burung gelatik dan bermacam-macam burung pipit yang mendirikan bangunan liar di situ. Semacam magersari (tinggal menumpang di halaman orang) di Jawa Tengah.

Beberapa di antaranya juga ada telurnya, tetapi semua tidak diapa-apakan. Elang laut kita lebih suka merampok di tempat lain daripada di desanya sendiri. Jadi, garuda lambang negara kita itu elang atau rajawali ya?

Leave a comment