5 Rekomendasi Kuliner Legendaris di Wonogiri Jateng,Ada Nasi Tiwul,Pecel hingga Serabi
TRIBUNSOLO.COM – Wonogiri mempunyai beberapa kuliner legendaris yang bisa kamu coba.
Bagi kamu yang sudah merencanakan berkunjung di Wonogiri, ada beberapa kuliner yang bisa kamu coba.
Baca juga: Rekomendasi 5 Tempat Sarapan Enak di Kota Solo Jateng, Cocok untuk Wisata Kuliner Akhir Pekan
Beberapa kuliner berikut ini mulai dari Nasi Tiwul hingga Serabi.
Dirangkum oleh Tribun Solo, berikut 5 rekomendasi kuliner legendaris di Wonogiri.
1.Nasi Tiwul Mbok Sembleng, Hanya Buka di Malam Pon dan Kliwon, Sejak 1991
Ada lagi satu rekomendasi kuliner yang ada di wilayah Wonogiri bagian selatan, yakni Kecamatan Giriwoyo.
Kuliner yang wajib dicoba ketika berkunjung ke Giriwoyo adalah Nasi Tiwul Mbok Sembleng.
Lokasinya ada di Dusun Saratan RT 003/RW 005, Desa Sejati, Giriwoyo, Wonogiri.
Warung tersebut sudah cukup legendaris. Sebab buka sejak tahun 1991 di tengah-tengah perkampungan setempat.
Warungnya juga menjadi satu dengan rumah tinggal pemiliknya.
Yang bikin unik, warung tersebut tidak buka setiap hari, melainkan malam-malam tertentu saja yakni malam pasaran jawa Pon dan Kliwon.
Sang pemilik, Tukimin mengatakan sejak awal dia berjualan di rumah dan tidak setiap hari.
Ada alasan khusus yang membuatnya tidak membuka warungnya setiap hari.
“Karena jauh dari jalan raya, saya memilih tidak jualan setiap hari. Saya khususkan saja waktunya, karena khawatir tidak laku,” ujarnya, kepada TribunSolo.com.
Meskipun begitu, setiap malam pasaran pon dan kliwon warungnya selalu ramai.
Tempat makan yang disediakan yakni di dapur dan di teras penuh dengan pengunjung.
Adapun pengunjung datang dari berbagai kalangan, mulai yang muda hingga tua.
Padahal menunya sangat sederhana, yakni nasi tiwul, ikan cuwik goreng, sayur lombok, sambal bawang, sayur terancam (semacam urap) dan berbagai macam gorengan.
Meskipun lokasinya barada di perkampungan, namun warung makan Mbok Sembleng tak sepi.
Selain Wonogiri, pembeli juga banyak yang berasal dari luar kota, seperti Solo, Sukoharjo dan Pacitan.
“Generasi pertama mbah saya Pontiko, jualan gorengan. Kemudian ibu saya Sembleng juga jualan gorengan. Lalu setelah saya pegang, menambah menu nasi tiwul,” jelasnya.
Soal harga cukuplah terjangkau. Cukup dengan membayar Rp 35 ribu pengunjung sudah mendapat nasi, lima ekor ikan, sambal dan lalapan.
Jika menambah gorengan maupun sayur lain pengunjung bisa membayar lebih.
Dengan harga sebesar itu, pengunjung dapat menikmati makanan tradisional dengan suasana perkampungan.
“Thiwul itu makanan khas Wonogiri. Saya ingin tetap melestarikan makanan tradisional ini. Bisa bertahan selama bertahun-tahun karena saya harus bersikap sabar dan ulet,” ujarnya.
Baca juga: 5 Kuliner Solo yang Cocok Dinikmati saat Malam Hari, Bestik hingga Susu Segar
2. Pecel Mbah Nardi, Tetap Eksis Sejak 1970-an, Bumbunya yang ‘Berani’ Bikin Bertahan
Mencari kuliner legendaris di Wonogiri tak akan ada habisnya.
Banyak warung makan yang tetap eksis dan memiliki banyak pelanggan meskipun sudah berjualan sejak puluhan tahun lalu.
Satu di antaranya adalah Pecel Mbah Nardi.
Warung makan yang terletak tak jauh dari Lapas Wonogiri itu selalu ramai diserbu para pelanggannya meskipun “hanya” menjual pecel sebagai menu utama.
“Ini sejak tahun 1970-an, sudah generasi ketiga dan diteruskan oleh putra-putranya Mbah Nardi, dari awal disini, tidak buka cabang,” kata Mbak Mini, salah satu karyawan yang ditemui TribunSolo.com.
Yang membuat spesial dari pecel ini adalah sambal kacangnya yang terkenal dengan bumbunya yang berani sehingga rasanya nikmat.
Sambal kacang diolah dengan cara tradisional yakni dengan lumpang dan ditumbuk dengan alu.
Semuanya dikerjakan secara manual oleh tangan manusia di dapur rumahan.
“Disini masaknya pakai kayu semua, nasi dari beras sampai siap santap dimasak menggunakan kayu bakar,” jelasnya.
Saat TribunSolo.com berkesempatan mengintip di dapur Pecel Mbah Nardi, sejumlah karyawan sibuk mempersiapkan dagangan, mulai dari mengolah sambal dan memasak nasi.
Seluruh makanan disana dimasak menggunakan kayu bakar. Termasuk juga gorengan seperti tempe dan bakwan digoreng diatas minyak panas yang tentunya diatas tungku dengan api yang membara.
Bagi Tribunners yang penasaran, bisa langsung mendatangi warung Mbah Nardi yang berada di Jalan Jenderal Sudirman No.191, Donoharjo, Wuryorejo, Kecamatan Wonogiri Kota, Wonogiri.
Setiap hari Pecel Mbah Nardi siap menyambut para pelanggan sejak pukul 06.00 WIB hingga ludes.
3. Lotisan Legendaris Mbah Sumi di Telaga Rowo Batuwarno, Sudah Ada Sejak Tahun 1980
Di cuaca yang terik pada siang hari cocoknya mencari yang segar-segar.
Apalagi apabila menikmati makanan itu di tempat yang sejuk, seperti misalnya telaga.
Lebih-lebih makanan yang dinikmati itu berasal dari warung legendaris yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun.
Tentunya soal rasa tidak perlu diragukan lagi.
Adalah Lotisan Mbah Sumi yang berjualan di Telaga Rowo yang berada di Desa Sumberejo Kecamatan Batuwarno Wonogiri.
Warung itu sudah berdiri sejak tahun 1980-an dan saat ini dikelola generasi kedua.
“Dari dulu simbah jualan lotis ya disini, sejak tahun 1980. Dulu hanya lotis sama esteh jualannya,” kata Bu Nur, pengelola warung itu yang juga menantu Mbah Sumi.
Warung itu terletak di sebelah Telaga Rowo.
Sejak tahun 1980 Mbah Sumi yang pemilik warung sudah berjualan lotis di tempat itu hingga saat ini.
Sebenarnya buah yang digunakan sama seperti buah-buah lainnya, seperti mangga, nanas, bengkuang dan timun.
Hanya saja, yang membedakan adalah sambal lotisnya.
Rasanya pedas, tapi nyaman dimakan, pedas yang enak.
Sambal itu dibuat dan diuleg oleh suami Mbah Sumi, yakni Mbah Rakino.
Baca juga: 8 Wisata Kuliner di Sragen Jateng yang Enak dan Murah, Cocok Buat Musim Hujan
4. Serabi Kidul Pegadaian, Jualan Sejak 1970-an, Pertahankan Resep Jadi Kunci Eksis
Serabi merupakan makanan yang memiliki cita rasa manis sekaligus gurih.
Kuliner yang termasuk jajanan tradisional Indonesia itu memiliki banyak penggemar.
Di Wonogiri, ada satu rekomendasi lagi serabi yang patut dicoba ketika berkunjung kesana.
Yakni Serabi Kidul Pegadaian yang terletak tepat di samping Kantor Pegadaian Wonogiri.
“Serabi disini sudah ada sejak sebelum saya lahir, sekitar tahun 1970-an lah. Dulu yang berjualan ibu di depan pasar, sekarang pindah disini dan saya teruskan,” kata pemilik Serabi Kidul Pegadaian, Bu Yeni, kepada TribunSolo.com.
Serabi Kidul Pegadaian buka setiap hari mulai pukul 03.00 dinihari.
Dalam sehari, ia menghabiskan 4-5 kilogram tepung, jika di akhir pekan atau hari minggu dia membuat lebih banyak.
Bukan di kios, dia berjualan serabi dengan gerobak dorongnya.
Memasak serabinya pun juga di gerobak itu.
Total ada delapan anglo atau kompor arang tradisional yang digunakannya.
Serabi itu dimasak di wajan kecil dari baja yang mana itu sudah digunakan sejak ibunya yang berjualan.
Dengan cekatan, ia memasak serabi di delapan anglo itu secara bergantian.
Rasa serabi di sana tentunya lembut, manis dan sedikit gurih.
Tak heran jika kuliner itu memiliki banyak pelanggan.
Resep yang digunakan menjadi kunci jajanan itu bisa bertahan hingga puluhan tahun.
Baca juga: 3 Rekomendasi Kuliner Es Legendaris di Klaten Jateng, Ada yang Sudah Jualan Sejak Tahun 1957
5. Pecel Mbah Nemleg di Baturetno, Warung Legendaris yang Sudah Berdiri Sejak 1937
Di Wonogiri terdapat banyak kuliner legendaris yang masih eksis walaupun berdiri sejak puluhan tahun lalu. Mempertahankan resep jadi kunci mereka bisa bertahan hingga sekarang.
Salah satunya Warung Mbah Nemleg yang berdiri di Dusun Batu Kidul, Desa/Kecamatan Baturetno, Wonogiri.
Warung yang berdiri sejak tahun 1937 itu punya menu spesial yakni Pecel Empal.
Pengelola Warung Mbah Nemleg, Sri Sudarsih (62) menceritakan warung itu merupakan peninggalan neneknya.
Dulu warung itu hanya sebuah gubug yang berdiri di bawah pohon mangga kweni.
“Awalnya simbah saya, Mbah Sonojoyo. Dulu berjualan wedhang dan berbagai makanan tradisional di sebuah gubug,” kata dia, kepada TribunSolo.com.
Menurutnya gubug kecil itu awalnya menjadi jujugan para blantik dan pedagang sapi dari wilayah Pacitan, Eromoko, Tirtomoyo dan sejumlah daerah lain di sekitaran Baturetno.
Warung tersebut kemudian dilanjutkan oleh putri Mbah Sonojoyo, yaitu Mbah Katinem atau yang disebut Mbah Nemleg. Sejak saat itu, pecel menjadi menu andalan disana.
“Jaman ibu saya, pelanggan kebanyakan pesan makan pecel pakai empal itu. Sampai saat ini diteruskan, saya tidak meninggalkan khas ibu saya, yakni pecel, terik, empal itu pasti ada,” jelasnya.
Menurutnya, tak ada yang membedakan bumbu di Pecel Mbah Nemleg dengan pecel-pecel lain. Hanya saja Pecel Nemleg menggunakan kencur dan jeruk purut yang menjadi khasnya.
Selain pecel, yang menjadi menu andalan disana adalah teh ginastel, atau teh yang legi panas kenthel (manis, panas dan kental).
“Kuncinya untuk mempertahankan simbah itu di bumbu. Dulu sebelum pandemi ramai banget. Setelah pandemi ini belum pulih seperti dulu.
Warung Mbah Nemleg buka hari Senin sampai Sabtu mulai pukul 07.00 hingga pukul 15.00. Letaknya Pasar Bung Karno Baturetno ke selatan tak lebih dari 1 kilometer.