APBN 2025: Target Pajak Karyawan Digenjot, Pajak Korporasi Dipangkas
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan menggenjot setoran pajak karyawan pada tahun 2025. Sebaliknya, penerimaan pajak korporasi pada tahun depan ditargetkan turun.
Merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian APBN 2025, penerimaan PPh Pasal 21 mencapai Rp 313,51 triliun. Target ini meningkat 45,6% jika dibandingkan target tahun ini yang hanya Rp 215,21 triliun.
Sementara, target penerimaan PPh Badan pada tahun depan mencapai Rp 369,95 triliun. Angka ini turun 13,68% jika dibandingkan dengan target tahun ini sebesar Rp 428,59 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa meski target penerimaan PPh 21 pada 2025 dipatok meningkat, angka tersebut dianggap masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan kinerja yang tercatat pada 2024.
Baca Juga: Target Setoran Pajak Karyawan Meningkat 45% pada 2025 Saat Pemerintah Kerek UMP 6,5%
Ia memprediksi bahwa penerimaan PPh 21 pada akhir tahun ini akan jauh melampaui target yang ditetapkan. “Di akhir tahun (2024), penerimaan PPh 21 bisa mencapai Rp 243 triliun,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (8/12).
Fajry menjelaskan bahwa perbaikan dalam kinerja penerimaan PPh 21 didorong oleh beberapa faktor, salah satunya adalah peningkatan upah buruh dan karyawan pasca-pandemi COVID-19 sejak 2022.
Selain itu, kebijakan pajak natura yang diberlakukan turut memberikan dampak positif bagi penerimaan PPh 21, terutama untuk kelompok tarif dua tertinggi.
Di sisi lain, Fajry menyoroti bahwa penerimaan PPh Badan tahun ini mengalami kontraksi yang cukup signifikan. Tercatat, penerimaan PPh Badan turun 18,3% hingga Oktober 2024, meskipun tidak terpengaruh oleh efek restitusi.
Dengan kondisi tersebut, ia menilai target PPh Badan pada tahun 2025 masih akan sulit dicapai meski ada penurunan target dari tahun lalu.
Baca Juga: Dengan Pajak, kepada Rakyat Kita Berpihak
“Meski sudah diturunkan, kenaikan target penerimaan PPh Badan dalam APBN 2025 yang naik dobel digit, menurut saya masih berat untuk dicapai. Meski demikian, dari sisi growth tidak sedalam tahun ini karena ada basis penerimaan yang rendah pada tahun 2024,” imbuh Fajry.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Ariawan Rachmat menjelaskan bahwa kenaikan target pajak karyawan di 2025 tidak terlepas dari adanya kenaikan UMP hingga 2025.
Selain itu, gaji pegawai pemerintah pada tahun depan juga diperkirakan naik sekitar 8%.
“Kemudian, pemerintahan Prabowo Subianto juga berkomitmen akan menaikkan gaji guru sebesar Rp 2 juta per bulan. Jika rencana itu terealisasi tentu juga akan berdampak pada kenaikan PPh 21,” ujar Ariawan.
Di sisi lain, peningkatan target PPh 21 pada 2025 juga tidak terlepas dari kian sempurnanya integrasi data NIK dan NPWP serta mulai diimplementasikan Coretax, di mana pemerintah optimis sistem tersebut akan meningkatkan kepatuhan pajak sehingga berdampak terhadap penerimaan PPh 21.
“Pemerintah optimistis para pekerja informal juga akan masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan sehingga harapannya meningkatkan PPh 21 juga,” katanya.
Sementara itu, target PPh Badan yang menurun pada 2025 ini dikarenakan kondisi ekonomi yang masih dipenuhi ketidakpastian global. Bahkan, Ariawan memperkirakan kontraksi penerimaan PPh Badan pada tahun ini masih akan berlanjut pada 2025.
Tidak hanya itu, pemberian insentif mulai dari tax holiday dan tax allowance guna meningkatkan gairah dunia usaha juga akan mengurangi setoran PPh Badan pada tahun depan.
“Namun hal itu diperlukan pemerintah untuk tujuan jangka panjang yang lebih menguntungkan bagi Indonesia,” imbuh Ariawan.
Baca Juga: Kontroversi Kenaikan PPN dan Tax Amnesty Jilid III dan Blunder Penurunan PPh Badan
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa strategi pemerintah dalam menaikkan target PPh 21 seharusnya bisa lebih difokuskan pada implementasi Coretax yang dapat mempermudah pembayaran pajak dan meningkatkan kepatuhan, ketimbang mengambil risiko dengan menaikkan tarif PPh 21.
“Jika yang dikejar adalah reformasi sistem pembayaran dan pelaporan pajak agar tingkat kepatuhan naik itu sah sah saja,” terang Bhima.
Namun, Bhima mengingatkan bahwa jika pemerintah mengikuti saran OECD untuk mengubah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), hal ini bisa berisiko berdampak negatif pada disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat.
Menurutnya, perubahan tersebut kurang tepat dilakukan pada waktu yang tidak ideal ini, mengingat pekerja di sektor formal tengah menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan pokok, yang juga dipengaruhi oleh kenaikan tarif PPN menjadi 12% untuk barang mewah.
Implikasi kenaikan PPN ini pun turut menggerus harga peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor, yang akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat.
Baca Juga: Penerapan Pajak Kekayaan Lebih Efektif Dibandingkan Tax Amnesty
Bhima menegaskan bahwa untuk menciptakan keadilan dalam sistem pajak, pemerintah perlu mendorong insentif bagi pekerja kelas menengah melalui bantuan sosial (bansos) dan berbagai bentuk perlindungan sosial lainnya.
Ia juga menyarankan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tapera, dan dana pensiun wajib sebagai stimulus untuk menjaga daya beli pekerja.
“Agar ada azas keadilan karena disaat bersamaan PPh badan turun jadi 20% maka pemerintah memang perlu dorong insentif khususnya ke pekerja di kelompok menengah lewat kucuran bansos, dan bentuk jaring perlindungan sosial lainnya,” imbuhnya.