Sejarah Semur, dari Prasasti Kuno hingga Meja Makan Modern
JAKARTA, KOMPAS.com – Semur, masakan khas Indonesia dengan warna cokelat pekat dan rasa manis gurih, menyimpan sejarah panjang yang menarik. Meskipun kini dikenal sebagai salah satu kuliner Nusantara, jejak sejarah semur menunjukkan pengaruh besar dari interaksi budaya Indonesia dan Belanda.
Unsiyah Anggraeni, dalam bukunya Multikulturalisme Makanan Indonesia, menulis bahwa istilah semur berasal dari kata Belanda smoor, yang berarti masakan rebusan dengan tomat dan bawang yang dimasak perlahan.
Namun, tradisi merebus daging bukan hal baru di Indonesia. Bukti menunjukkan bahwa teknik memasak serupa sudah dikenal sejak abad ke-9, sebagaimana tercatat dalam prasasti, relief Candi Borobudur dan Prambanan, serta kakawin Jawa kuno Gadan Hadanan Prana Wdus.
Tradisi memasak daging menggunakan metode rebus dengan bumbu rempah menunjukkan bahwa semur adalah bagian dari warisan kuliner asli Nusantara.
Baca juga: Resep Semur Telur Puyuh Campur Tahu, Lauk Berkuah Hangat untuk Musim Hujan
Apa Peran Belanda dalam Perkembangan Semur?
Ketika Belanda mulai menduduki Indonesia pada abad ke-16, pengaruh budaya Belanda meresap ke berbagai aspek kehidupan, termasuk kuliner.
Salah satu masakan yang diperkenalkan adalah hachee, hidangan khas Belanda yang dimasak dengan teknik slow cooking menggunakan daging, bawang, cuka, dan kaldu sapi.
Di tangan masyarakat Indonesia, hachee mengalami transformasi. Penggunaan rempah lokal seperti kayu manis, pala, dan cengkih, serta tambahan kecap manis, menghasilkan semur yang lebih kaya rasa dan aroma.
Proses ini menjadi contoh akulturasi budaya, karena pengaruh asing diadaptasi sesuai dengan bahan dan selera lokal.
Baca juga: Resep Semur Jengkol ala Rumahan, Direbus Dulu untuk Kurangi Bau
Bagaimana Kecap Manis Mengubah Identitas Semur?
Elemen penting dalam semur adalah kecap manis, yang memberikan rasa manis khas. Meski kecap pertama kali diperkenalkan oleh bangsa China, inovasi lokal mengubahnya menjadi kecap manis berbahan dasar gula merah.
Kecap manis ini memberikan karakter unik pada semur dan menjadi elemen pembeda dari masakan serupa di negara lain.
Penggunaan kecap manis tidak hanya memperkaya rasa, tetapi juga menunjukkan kemampuan masyarakat Indonesia untuk memadukan pengaruh asing dengan bahan lokal, menciptakan hidangan yang benar-benar khas.
Baca juga: Resep Semur Ayam, Tambahkan Kentang
Bagaimana Semur Beradaptasi dengan Berbagai Tradisi?
Seiring waktu, semur menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai tradisi di Indonesia. Hidangan ini tidak hanya menunjukkan jejak sejarah, tetapi juga menggambarkan nilai-nilai kebersamaan dan religiusitas masyarakat.
Masyarakat Betawi, misalnya, memiliki tradisi semur andilan saat Idulfitri. Tradisi ini melibatkan pengumpulan dana oleh warga untuk membeli kerbau yang kemudian disembelih dan diolah menjadi semur.
Sementara itu, di Palembang, semur malbi disajikan dengan sambal nanas pada perayaan pernikahan atau Idulfitri. Di Samarinda, semur sohun dengan ayam menjadi pilihan unik yang disajikan bersama nasi kuning.
Baca juga: Resep Semur Terong Daging Giling, Ide Bekal Praktis Bergizi
Mengapa Semur Begitu Penting dalam Sejarah Kuliner Indonesia?
Semur adalah bukti nyata bagaimana akulturasi budaya menciptakan warisan kuliner yang kaya. Hidangan ini tidak hanya mencerminkan perpaduan budaya Indonesia dan Belanda, tetapi juga menunjukkan kemampuan masyarakat Nusantara dalam mengadaptasi pengaruh asing menjadi sesuatu yang autentik.
Dari prasasti kuno hingga meja makan modern, semur terus berkembang mengikuti zaman. Kini semur tak hanya identik dengan daging sapi, namun ada semur isi tahu, tempe, hingga telur.
Lebih dari sekadar makanan, semur adalah simbol sejarah, budaya, dan filosofi kehidupan yang menggambarkan harmoni di tengah perbedaan.
Baca juga: Resep Semur Campur, Masakan dengan Lauk Lengkap