Menengok Gaya Hidup Jetset Nyonya-nyonya Sosialita Batavia Era Kompeni
Gejala gaya hidup wanita kelas atas (sosialita) di Indonesia ternyata sudah ada sejak zaman Kompeni menguasai Batavia.
Artikel ini pertama tayang di Majalah Intisari edisi Juni 1989 dengan judul “Nyonya-nyonya Jetset Batavia Makan Sirih”
—
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-Online.com – Pada awalnya, gaya hidup mewah itu hanya milik istri Gubernur Jenderal yang mendampingi suami selama masa tugas.
Seperti para suami, wanita-wanita itu sebelumnya tidak pernah memiliki tali ikatan dengan Asia. Mereka pun pulang lagi ke Eropa ketika suami mereka dipanggil kembali ke tanah air.
Di Batavia mereka tidak banyak tampil di depan umum. Mereka dilayani sejumlah dayang, dan sekali-sekali menjalankan tugas kenegaraan seperti peletakan batu pertama.
Keadaan itu mulai berubah pada tahun 1636 dengan pengangkatan van Diemen sebagai gubernur jenderal. Istrinya, Maria van Aelst, setidaknya sudah tinggal empat belas tahun di Tanjung Harapan, Afrika, terkenal punya gaya hidup yang sangat glamour di eranya.
Pesiar naik kereta
Keluhan-keluhan pertama tentang bentuk dan gaya hidup wanita-wanita Batavia muncul dari para direktur VOC pada tahun 1640-an. Ketika itu peranan mereka dianggap ikut menentukan situasi masyarakat kolonial.
Maria van Aelst merupakan orang pertama yang tanggap akan keadaan itu. Sebelum dia menempati rumah dinas gubernur jenderal di Kastil Batavia, para keluarga pertama hidup sederhana, hanya dilayani pelayan secukupnya dan jauh dari kemegahan serta kebesaran.
Kesederhanaan itu selain mencerminkan kepribadian para pejabat di tahun-tahun awal, juga keadaan hidup sehari-hari di dalam lingkungan tembok benteng: terbatasnya jumlah penghuni yang berpendidikan dan sarana perintang waktu di Batavia dengan tidak adanya pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti gedung-gedung pertunjukan dan rumah-rumah makan.
Pada 1640-an, kehidupan sudah lebih mantap dan gubernur jenderal mampu menyisihkan waktu untuk acara pesiar dengan gaya kebesaran di samping tugas-tugas pemerintahan. Pesiar resmi seorang pejabat tinggi untuk pertama kali, sebagaimana dilukiskan Daily Register, terdiri atas iring-iringan yang meliputi para pejabat tinggi, istri mereka dan tamu-tamu penting.
Gaya hidup mewah yang mulai muncul pada masa pemerintahan van Diemen-van Aelst itu dituturkan oleh Francois Valentijn, seorang pendeta yang lama bertugas di Ambon (1685-1695; 1707-1713).
Sesaat sebelum kematiannya, van Diemen berhasil minta kepada para anggota dewan Kompeni, agar Maria diizinkan meneruskan gaya hidupnya selama ini. Termasuk fasilitas menempati rumah dinas gubernur jenderal, sampai kapal yang akan membawanya pulang meninggalkan Batavia.
Semua permintaan van Diemen diluluskan. “Semata-mata berdasarkan kemurahan hati” – menurut kata-kata J.P.I. du Bois, penulis biografi kompeni, Maria boleh mengangkut segala perabotan dan sejumlah besar saham yang berhasil dikumpulkannya ke Negeri Belanda.
Wanita itu agaknya juga gemar bepergian dan pesiar. Para direktur kompeni terpaksa mengambil langkah-langkah pengamanan. Para wanita-pertama setelah Maria van Aelst dilarang menggunakan kereta dinas gubernur jenderal.
Istalnya berisi 40 kuda
Kedudukan Maria van Aelst sebagai wanita-pertama digantikan oleh Levijntje Polet, seorang wanita kelahiran Breda, Negeri Belanda. Dia menikah dengan Cornelis van der Lijn di Batavia pada tahun 1630.
Selama bertahun-tahun tinggal di Asia, pasangan suami-istri itu terbiasa hidup dalam kemewahan yang sulit dipenuhi dewan direktur kompeni.
Pedagang-petualang kelahiran Paris, Jean Baptiste Tavernier, mencatat gaya hidup suami-istri van der Lijn semasa menjabat gubernur jenderal.
Tak lama setelah tiba di Batavia pada tahun 1648, Tavernier diundang Gubernur Jenderal van der Lijn untuk makan malam bersama beberapa tamu dan kemudian ikut perjalanan pesiar.
“Dua terompet menggema,” tulis Tavernier.
“Yang Mulia Tuan Gubernur Jenderal dan Nyonya, diikuti para istri empat orang dewan kompeni naik ke kereta yang ditarik enam ekor kuda. Para anggota dewan naik kuda. Seekor kuda dibawa ke hadapan saya, dengan pelana dan perlengkapan dan Persia, dan pakaian kuda yang sangat indah. Istal gubernur jenderal selalu berisi 40 – 50 kuda, karena tidak satu kapal pun singgah di Batavia tanpa menurunkan kuda untuk Tuan Gubernur Jenderal. Baik kuda Arab, Persia atau tempat-tempat lain. Satu regu pasukan berkuda mengawal di depan kereta gubernur jenderal. Setiap prajurit berseragam lengkap. Celana merah ungu bersulam benang perak, topi bulu dan ikat pinggang perak murni, dengan kuda-kuda berdandan elok. Di samping setiap kereta berbaris tiga pengawal. Di belakang kereta berbaris satu regu pasukan infanteri. Sementara sebuah regu lain sudah berangkat lebih dulu untuk mengamankan jalan-jalan yang akan dilalui.“
Pamer permata
Jumlah kelompok elite wanita kolonial tentu tidak hanya meliputi nyonya-nyonya pembesar. Kelompok ini mencakup pula para istri, janda dan anak-anak gadis saudagar besar, kepala gudang, kepala atau pemimpin pabrik, pejabat-pejabat fiskal, hakim dan anggota dewan kompeni.
Sesuai dengan trend waktu itu, beberapa dari wanita jetset itu mengabadikan diri dalam lukisan. Salah satu di antara mereka ialah Maria Isaacs Scipio, istri kedua Jan van Riebeeck, yang waktu itu menjabat sekretaris daerah pemerintahan Batavia (1665-1677), mantan presiden Malaka dan pendiri tanah jajahan Tanjung Harapan.
Lukisan potret itu menunjukkan seorang wanita gemuk berbusana hitam yang lazim dikenakan para wanita Belanda dalam lukisan-lukisan di Negeri Belanda.
Perbedaan antara lukisan Maria Scipio dengan para wanita karya Pelukis Frans Hals adalah jumlah permata yang melekat pada wanita Batavia itu.
Busana serupa, dengan perhiasan mutiara dan batu permata tampak pula dalam karya Albert Cuyp, tentang seorang wanita Batavia bersama suaminya dalam dasawarsa 1640-1650. Di belakang pasangan suami-istri Belanda itu tampak seorang budak pribumi dalam pakaian Eropa membawa sebuah payung, lambang kedudukan di Asia.
Gambaran lain tentang kemewahan golongan atas kolonial yang cepat mapan, juga bisa digali dari surat-surat dalam arsip keluarga. Surat-surat itu mencatat tentang gaya hidup dan nilai-nilai yang berlaku.
Salah satu yang sempat ditemukan ialah surat Cornelia Johanna van Beveren kepada bibinya.
Wanita Belanda itu menikah di Batavia dengan Juriaen Beek dari Malaka pada tanggal 27 Oktober 1689. Suratnya menceritakan tentang pesta perkawinannya, pakaian pengantinnya, dan perabotan rumah yang diberikan Beek kepadanya. Pengantin pria berumur 29 tahun dan warga bebas pada waktu itu.
“Gaun pengantin saya,” tulis Cornelia kepada bibinya, “terbuat dari beledu hitam dengan ‘ekor’ sepanjang 1,5 m. Gaun dalam terbuat dari satin putih bersulam benang emas dari atas ke bawah. Lengan gaun terbuat dari bahan satin pula dan renda, berhiaskan kancing mutiara dan berlian. Mahkota yang menghias kepala seluruhnya terbuat dari biang mutiara dan berlian yang diberikan pengantin pria kepada saya. Tujuh untai mutiara dijalin pada rambut saya, dan perhiasan di leher serta dada juga sangat berharga.“
Seperti boneka kaca
Salah satu kesan yang lagi-lagi banyak diungkapkan para pengunjung Batavia ialah kisah tentang kebiasaan para nyonya pembesar jika pergi ke gereja. Acara ini dianggap begitu penting, karena merupakan salah satu dari sedikit kesempatan untuk keluar rumah bagi kaum elite wanita.
Salah satu di antaranya dikisahkan oleh Nicolaus de Graaff, seorang dokter bedah kapal yang melewatkan sebagian besar hidupnya di tengah lautan. Selama kariernya dia melakukan lima kali perjalanan ke Indonesia.
“Yang paling mengesankan di Batavia,” kata de Graaff dalam uraian pembukaannya, “adalah kemewahan dan keanggunan luar biasa para wanita di Batavia, wanita-wanita Belanda, Mestiza dan campuran, yang mereka perlihatkan pada acara kunjungan ke gereja … Pada kesempatan itu setiap wanita saling jor-joran … Mereka duduk di tengah jemaat seperti boneka kaca. Tidak sedikit di antara mereka lebih mirip seorang putri daripada istri atau anak gadis warga biasa, Wanita paling rendah pun membawa seorang budak yang memegangi payung di belakangnya, untuk melindungi wajah sang nyonya dari terik matahari. Sebagian besar dari para wanita itu mengenakan kelepak gaun dari sutera bersulam naga emas dan perhiasan bulu-bulu.“
Cerita Tavernier tentang para pelayan nyonya-nyonya besar itu dapat melengkapi kisah di atas. Di samping seorang pembawa payung, nyonya pembesar tadi juga diikuti beberapa wanita budak yang bertugas membawakan Alkitab, kipas, kotak sirih dan tempolong ludah.
Kotak sirih berhias permata
Tentang sirih ini Tavernier menceritakan: “Pria dan wanita selalu mengunyah sirih kalau bepergian, termasuk pergi ke gereja. Mereka menyajikan pemandangan yang menjijikkan, karena mulut mereka selalu penuh cairan merah, sepertinya gigi mereka mengalami perdarahan.“
Setiap pengunjung Batavia selalu muak melihat ludah merah yang tak kunjung henti mengucur akibat makan sirih itu. Makan sirih merupakan kebiasaan umum dalam kebudayaan bangsa-bangsa Asia.
Tumbuhnya kebiasaan itu di kalangan warga Belanda menunjukkan pembauran kedua budaya bangsa dan pengoperan kebiasaan serta lambang kedudukan di Asia. Salah satu lambang itu tercermin dari kotak sirih.
Kotak itu tidak lagi sekadar tempat menyimpan daun sirih dan perlengkapannya, tetapi sering membengkak menjadi kotak mewah berhiaskan permata. Kotak sirih ini juga selalu tampil secara terhormat dalam lukisan-lukisan para istri pembesar Belanda pada waktu itu.
Ciri istimewa lain yang menonjol dari wanita-wanita setempat dengan kedudukan golongan Eropa (karena dikawini pria Eropa), yang kemudian menjadi kisah legendaris dalam sejarah dan novel, adalah kemalasan dan kekejian mereka.
Tentang gejala itu de Graaff melukiskan:
“Nyonya-nyonya pembesar ini, terutama yang tinggal di Batavia … hidup bagaikan putri. Beberapa di antara mereka memiliki banyak budak, pria dan wanita, yang harus melayani mereka siang dan malam … Nyonya-nyonya itu jadi begitu malas, sehingga tidak sudi mengulurkan tangan untuk memungut barang sekecil apa pun yang jatuh ke lantai. Mereka akan segera memanggil seorang budak untuk mengambilkan barang itu. Kalau si budak tidak segera datang, mereka mendapat siksaan atau dihujani caci-maki. Yang lebih celaka, budak yang mengecewakan majikannya akan disiksa berat dengan diikat pada tonggak kayu dan dicambuki dengan tongkat rotan sampai babak belur.“
Pajak kereta dan pesta
Kemakmuran dan sikap sok pamer kekayaan di kalangan atas itu kemudian memusingkan pemerintahan Kota Batavia. Gubernur Jenderal Rijcklof van Goens (1678-1681) merupakan salah satu perintis yang merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan yang membatasi perlengkapan pribadi.
Hanya para anggota pejabat tinggi pemerintah, istri dan anak-anak mereka diizinkan memakai mutiara dan intan permata lainnya, serta memakai perhiasan emas dan perak pada busana mereka. Perwira rendah dan warga bebas dilarang memiliki kereta pribadi.
Untuk membedakan antara golongan wirausaha dan pejabat dewan pemerintahan yang terhormat, Gubernur Jenderal Diederik Durven mengeluarkan peraturan tentang kereta dan payung, dua atribut yang mencerminkan lambang kedudukan paling kentara.
Sementara itu Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1748-1761) mengeluarkan peraturan tentang kereta, kuda, dan masalah-masalah yang bersangkutan dengan keduanya.
Hanya gubernur jenderal dan para dewan kompeni boleh menggunakan kereta kaca ditempeli lambang keluarga. Kereta gubernur jenderal boleh ditarik enam kuda; kereta anggota dewan empat kuda.
Dalam jangka waktu tiga bulan setelah peraturan itu dikeluarkan, warga masyarakat di bawah purnawirawan direktur dari daerah tingkat dua harus mencopoti perhiasan emas dan perak dari kereta-kereta mereka.
Tidak seorang pun diizinkan mempekerjakan sais bangsa Eropa. Hak istimewa itu hanya diberikan kepada gubernur jenderal dan para anggota dewan kompeni, para istri serta janda mereka, ketua mahkamah agung, mantan gubernur, sekretaris pemerintah, dan komandan militer VOC.
Pasal-pasal tentang kendaraan itu juga mengatur pajak kereta, membatasi penggunaan tandu bagi pejabat tinggi pemerintah, istri dan anak-anak mereka. Hanya keluarga para pejabat terhormat itu boleh menghias kereta mereka pada waktu kematian dan selama masa berkabung.
Sebaliknya, peraturan tentang payung diperlunak. Saudagar-saudagar muda boleh memakai payung dipegangi seorang budak. Untuk kaum wanita hak itu diberikan mulai dari istri perwira menengah maupun perwira-perwira Cina dan Arab.
Warga masyarakat yang lain harus memegangi payung mereka sendiri.
Permata dan budak juga diatur
Kalau peraturan van Goens menetapkan hierarki dalam soal kereta, payung, dan permata, Mossel memberi perhatian istimewa pada tata busana. Pasal-pasal yang mengatur tata busana kaum pria terdiri atas 9 bab.
Yang pertama menetapkan bahwa hanya para pejabat tinggi pemerintah dan kepala-kepala cabang yang boleh memakai pakaian bersulam emas dan perak. Mantan gubernur, sekretaris pemerintahan Batavia, semua hakim, dan direktur cabang, boleh memakai satu kancing emas atau perak.
Para pejabat itu juga boleh memakai kemeja sutera. Tidak seorang pun di bawah pangkat saudagar muda boleh memakai gesper sepatu emas.
Pasal-pasal yang mengatur perlengkapan busana wanita terutama menyangkut permata, tanpa membedakan antara pakaian Eropa atau Indonesia menurut jenjang kedudukan maupun kebangsaan.
Wanita kalangan paling atas — para istri dan janda gubernur jenderal, dewan kompeni dan ketua pengadilan — boleh memakai kalung berlian, jam tangan bertahtakan berlian, kotak sirih emas murni dan kotak-kotak berhiaskan permata, dua untai kalung mutiara asli dan batu-batu berharga.
Istri-istri pejabat setingkat lebih rendah, para istri direktur di daerah, boleh memakai kalung mutiara sampai senilai 6.000 ringgit dolar; sementara kalung para istri dan janda saudagar besar tidak boleh lebih mahal dari 4.000 ringgit dolar.
Para wanita golongan ini boleh memakai gaun beludru, sutera dan linen.
Kedudukan sosial seorang wanita mengikuti pangkat suaminya. Sebagai pengakuan terhadap mobilitas sosial seorang wanita, pengantin wanita boleh berbusana sesuai kedudukan calon suaminya, dan bukan menurut kedudukan ayahnya.
Pasal-pasal lain mengatur tentang jumlah wanita budak yang boleh dibawa ke pertemuan-pertemuan umum dan pakaian serta perhiasan budak-budak itu. Istri serta janda pejabat tinggi pemerintah dan ketua pengadilan boleh membawa tiga budak.
Budak-budak itu boleh memakai perhiasan giwang berlian berukuran sedang, sebuah jepit rambut emas, kalung rantai emas dengan batu koral, dan selendang tenun benang emas atau perak.
Wanita dari keluarga saudagar besar boleh membawa dua budak, dan untuk semua wanita dari kalangan lebih rendah hanya boleh membawa seorang budak berpakaian katun dan linen, perhiasan mutiara tiruan, jepit rambut emas, dan giwang berlian kecil. Kenek kereta dan budak lelaki juga diatur sesuai dengan jabatan dan kedudukan majikannya.
Sementara itu diberlakukan peraturan pajak baru atas perayaan-perayaan keluarga untuk menekan dampak sosial. Pajak itu dipungut menurut jumlah kereta yang menghadiri upacara pembaptisan, dan jumlah tamu yang menghadiri pesta perkawinan.
Setiap orang yang ingin memasang-gapura sehubungan dengan hajat perkawinan anak gadisnya, harus membayar 50 ringgit dolar, sebagai sumbangan kepada seminari teologi abad menengah. Namun, para ‘anggota pejabat tinggi pemerintah bebas dari pungutan itu.
Hanya mereka pula yang berhak memakai terompet, timpani dan genderang dalam orkes pengiring acara makan.