Informasi Terpercaya Masa Kini

Gubernur Bengkulu diduga ‘peras’ anak buah hingga Rp7 miliar untuk ongkosi pilkada, mengapa tidak didiskualifikasi?

0 5

Praktik korupsi untuk mengongkosi dana kampanye pilkada seperti yang dilakukan tersangka Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menjadi hal yang “sudah biasa terjadi”, namun “terkesan dibiarkan” ketika petahana atau calon kepala daerah yang sedang menjabat kembali bertarung, menurut Indonesian Corruption Watch (ICW).

Menurut, peneliti ICW Seira Tamara, penyebabnya tak lepas dari aturan Pilkada 2024 yang menyebutkan petahana alias incumbent tidak perlu mundur dari jabatannya ketika maju dan akibat dari mahalnya biaya politik.

Mengutip Litbang Kemendagri pada 2020 disebutkan biaya pencalonan gubernur diperkirakan mencapai Rp20-100 miliar. Sedangkan pencalonan bupati dan wali kota berkisar Rp20-30 miliar.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan uang hasil korupsi Gubernur Bengkulu itu berasal dari pemerasan terhadap jajaran kepala dinas, perangkat daerah, dan kepala biro yang nilainya mencapai Rp7 miliar.

Atas kasus ini, pegiat antikorupsi dan lembaga pemantau pemilu meminta KPU mendiskualifikasi tersangka sebagai peserta pemilu.

Bagaimana kasus ini bermula?

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menjelaskan penyelidikan tindak pidana korupsi yang menjerat Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, sebetulnya sudah berlangsung sejak Mei lalu berdasarkan “laporan masyarakat”.

Laporan tersebut, klaimnya, perihal adanya mobilisasi dan dukungan dana untuk Rohidin maju di pemilihan kepala daerah Provinsi Bengkulu.

Dari situ KPK melakukan investigasi dan memantau pergerakan Rohidin, sambungnya.

Hingga pada Sabtu (23/11) lembaga anti-rasuah ini melakukan operasi tangkap tangan yang melibatkan sejumlah pejabat di Bengkulu.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan proses penangkapan itu sempat diwarnai kejar-kejaran antara penyidik dengan Rohidin.

Sebab ada dugaan Rohidin telah mengetahui keberadaan penyidik di sebuah tempat. Karenanya Rohidin pergi dari pintu lain.

Petugas yang belakangan tahu dia sudah tidak ada di tempat langsung mengejarnya.

“Kami kejar, dia lari ke arah Padang, Bengkulu Utara. Selama tiga jam saling kejar. Yang di depan [Rohidin] menggunakan Fortuner warna hitam. Tapi pada akhirnya bisa kami hentikan,” jelas Asep Guntur Rahayu seperti dikutip dari detik.com.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Yang menarik perhatian publik, dalam video yang viral di media sosial terlihat Rohidin mengenakan seragam atau rompi polisi lalu lintas ketika diboyong oleh KPK ke Mako Polresta Bengkulu untuk menjalani pemeriksaan awal.

Asep Guntur Rahayu menuturkan hal itu dilakukan atas usul kepolisian setempat lantaran banyaknya simpatisan atau pendukung Rohidin yang mengerubungi Polrestabes Bengkulu.

“Setiba di Mako Polresta Bengkulu dia diperiksa sampai pagi, tetapi situasi pagi itu sudah berkumpul banyak simpatisan [Rohidin] mengepung Polrestabes sana,” ungkapnya.

“Jadi pada saat ini juga kami dari KPK mengucapkan terima kasih atas bantuan Polda Bengkulu maupun Polrestabes Bengkulu.”

Siapa saja yang menjadi tersangka?

Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK menetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sebagai tersangka dugaan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemprov Bengkulu.

Penetapan status tersangka juga diberlakukan kepada Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri (IF) dan ajudan gubernur Evriansyah (E) alias Anca.

Ketiganya dikenakan pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 KUHP.

Mereka kemudian diboyong dan tiba di Jakarta pada Minggu (24/11) siang dan langsung masuk ke gedung KPK.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, bilang dalam perkara ini pihaknya menyita uang tunai senilai Rp7 miliar. Uang itu disita dari empat tempat.

Pertama, dari mobil Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bengkulu, Syaifudin sebesar Rp32,5 juta.

Kedua, dari rumah Kepala Biro Pemerintah dan Kesra Provinsi Bengkulu, Ferry Ernest Parera senilai Rp120 juta

Ketiga, dari mobil Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sebesar Rp370 juta

Baca juga:

  • Mengapa caleg mantan napi kasus korupsi gigih ikut pemilu?
  • Bupati Kapuas dan istri diduga korupsi untuk ‘biaya politik pilkada’ – ‘modus yang lumrah dan selalu berulang’, kata ICW

Keempat, dari rumah dan mobil ajudan Gubernur, Exriansyah alias Anca sekitar Rp6,5 miliar dalam mata uang Rupiah, Dollar Amerika, dan Dollar Singapura.

Alexander berkata uang-uang tersebut berasal dari pemerasan yang dilakukan Rohidin terhadap jajaran kepala dinas, kepala organisasi perangkat daerah, dan kepala biro Pemprov Bengkulu.

“Dia [Rohidin] menjadi tim sukses dan ada instruksi perintah untuk menghimpun sejumlah dana, termasuk lewat potongan dari tunjangan-tunjangan perbaikan penghasilan pegawai, dan juga dari iuran [mungkin] dari pengusaha dan lain sebagainya,” jelasnya.

Apa modusnya?

Dalam penelusuran KPK terungkap bahwa Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu, Syafriandi, menyerahkan uang Rp200 juta kepada Rohidin melalui ajudan gubernur.

Maksud pemberian uang itu, klaim Alexander, agar Syafriandi tidak dicopot dari jabatannya sebagai kepala dinas.

Kemudian Kepala Dinas PUPR Provinsi Bengkulu, Tejo Suroso, disebutkan menyerahkan uang Rp500 juta.

Dana itu berasal dari pemotongan sejumlah anggaran seperti Alat Tulis Kantor (ATK), Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), sampai tunjangan pegawai.

Ketika diperiksa penyidik, kata Alexander, Tejo mengaku dipaksa oleh Rohidin. Jika tidak, maka jabatannya akan diberikan kepada orang lain.

Selanjutnya Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Provinsi Bengkulu, Ernest Parera diklaim mengumpulkan dana dari sejumlah satuan kerja sebesar Rp1,4 miliar.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemprov Bengkulu, Saidirman, juga disebutkan mengumpulkan uang sekitar Rp2,9 miliar yang bersumber dari honor pegawai tidak tetap dan guru tidak tetap se-provinsi Bengkulu.

Alexander Marwata menyebut permintaan uang itu berawal dari penyataan Rohidin pada Juli 2024.

Saat itu, katanya, Rohidin yang maju lagi sebagai calon gubernur menyatakan membutuhkan dukungan dana dan penanggung jawab wilayah dalam Pilgub Bengkulu 2024.

Baca juga:

  • Pilkada 2018 akan ‘penuh’ dengan para calon tersangka koruptor?
  • Kejaksaan Agung tunda proses hukum peserta Pemilu 2024 – ‘Menghasilkan orang-orang bermasalah’

Pada September-Oktober 2024, Isnan Fajri yang merupakan Sekda Provinsi Bengkulu mengumpulkan seluruh ketua organisasi perangkat daerah dan kepala biro di lingkungan Pemprov.

Di sana, menurut Alexander, ada arahan untuk mendukung program Rohidin yang mencalonkan diri kembali sebagai gubernur.

Rohidin lantas meminta para kepala perangkat daerah dan kepala biro menyetorkan uang kepada ajudannya Evriansyah alias Anca.

Apakah perkara ini bermuatan politis?

Tim kuasa hukum Gubernur Bengkulu menyatakan keberatan kepada KPK atas penangkapan kliennya di masa tenang Pilkada 2024.

Ia mengeklaim berdasarkan kesepakatan bersama Kapolri, Kejaksaan, dan KPK, agar menangguhkan atau menunda proses hukum para peserta pemilu sampai pesta demokrasi berlangsung.

“Yang kami pertanyakan sekarang ini ada apa dengan KPK kok sekarang orang diperiksa,” kata Tim hukum Pasangan calon Gubernur Bengkulu nomor urut 2, Aizan Dahlan, di Bengkulu seperti dilansir kantor berita Antara.

“Makanya kami minta paslon tidak bisa diganggu gugat, paslon harusnya keluar, kalau mau diperiksa silahkan tetapi setelah itu dia dikembalikan ke rumahnya. Karena sekarang ini sudah masa tenang dan masuk pencoblosan,” sambungnya.

Aizan Dahlan mengancam bakal melaporkan tindakan KPK ini kepada Dewan Pengawas KPK dan Kementerian Hukum.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, membantah tuduhan Aizan.

Dia menekankan penangkapan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah tidak terkait agenda politik. Penangkapannya murni penindakan hukum.

“Apakah ada nuansa politis? Saya kira tidak. Penyelidikan dimulai sudah lama, bahkan sebelum pendaftaran [calon kepala daerah],” katanya, Senin (25/11).

Soal mengapa penangkapan dilakukan beberapa hari jelang pencoblosan, Alexander bilang hal itu karena adanya informasi mengenai penyerahan uang sehingga KPK bergerak dengan operasi tangkap tangan.

“Kami dapat informasi dari masyarakat bahwa akan ada penyerahan uang, itu titik puncaknya.”

Calon petahana berpotensi korupsi untuk ongkosi pilkada?

Organisasi anti-korupsi Indonesian Corruption Watch (ICW) dan lembaga pemantau pemilu Perludem menyebut praktik korupsi untuk mengongkosi dana kampanye pilkada seperti yang dilakukan tersangka Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menjadi hal yang “sudah biasa terjadi” ketika petahana atau calon kepala daerah yang sedang menjabat kembali bertarung.

Tapi pada Pilkada 2024 ini, kasus Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjadi yang pertama terungkap.

Peneliti ICW, Seira Tamara, mengungkapkan ada beberapa faktor penyebab mengapa praktik tersebut terus saja langgeng.

Pertama, gara-gara mahalnya biaya politik untuk maju sebagai calon kepala daerah. Litbang Kemendagri pada 2020 pernah mengungkap biaya pencalonan bupati dan wali kota bisa mencapai Rp20-Rp30 miliar.

Sedangkan pencalonan gubernur diperkirakan antara Rp20-Rp100 miliar.

Untuk memenuhi dana politik tersebut, kata Seira, para calon kepala daerah akan menggelontorkan uang dari kantong pribadi, partai politik, dan biasanya sumbangan dari perorangan atau badan swasta.

Tapi sepanjang pengamatan ICW, dana dari partai politik sangat kecil.

Itu kenapa calon kepala daerah bakal mengocek dana pribadi dan meminta sumbangan dari donatur.

“Jadi sumbangan dari parpol bukan yang utama atau mendominasi, ini bisa jadi faktor si calon kepala daerah harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan salah satu caranya korupsi,” ujar Seira kepada BBC News Indonesia, Senin (25/11).

Baca juga:

  • Mengapa calon di Pilkada yang jadi tersangka korupsi didukung pemilih?
  • Pilkada Boven Digoel ditunda karena calon pernah korupsi, pemilihan kepala daerah di 10 wilayah Papua lain tetap berjalan

Bagi calon kepala daerah petahana, sambung Seira, praktik yang biasa berlangsung untuk menambah dana kampanyenya adalah dengan “memeras” anak buahnya.

Pemerasan itu pun disertai ancaman mutasi jabatan atau demosi. Sebagai gantinya para kepala dinas akan diminta untuk “mengumpulkan dukungan suara dan juga uang,” klaimnya.

Modus seperti ini menurutnya sudah menjadi “rahasia umum” dan pernah menjerat beberapa incumbent di pilkada-pilkada sebelumnya.

Pada 2018 misalnya, KPK menangkap delapan kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali dalam pilkada serentak.

Mereka antara lain Bupati Subang, Imas Aryumningsih yang diduga menerima suap Rp1,4 miliar; Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman yang istrinya berencana maju dalam pilkada menerima gratifikasi Rp2 miliar; Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko yang istrinya akan maju menggantikan dirinya menerima suap Rp500 juta.

Faktor kedua, karena peraturan KPU tahun 2017 tidak mengharuskan calon petahana yang ingin maju kembali dalam pilkada untuk mundur dari jabatannya.

Calon petahana hanya diwajibkan mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye.

Cuti ini bertujuan untuk memisahkan antara aktivitas kampanye dengan pelaksanaan tugas sebagai kepala daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Hal lain yang diatur calon petahana dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye. Ini termasuk kendaraan dinas, rumah dinas, atau fasilitas negara lainnya untuk kepentingan kampanye.

Seira bilang aturan yang tak mengharuskan calon petahana mundur menjadi biang kerok adanya praktik pemerasan.

Baca juga:

  • Pilkada Jakarta: Warga miskin kota pilih coblos semua cagub – ‘Kami memang bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohi’
  • Pilkada Aceh: Perempuan dibilang ‘haram’ jadi pemimpin, syariat atau politik praktis?

Sebab bagaimanapun, katanya, pasti ada konflik kepentingan.

“Potensi penyalahgunaan kewenangan pasti ada dan sangat besar ketika incumbent maju. Apalagi dengan wewenang yang dipunya.”

Pengamatan ICW, dana yang biasanya diselewengkan oleh calon petahana adalah dana bantuan sosial dan hibah. Dua pos anggaran itu rawan dikorupsi karena datanya mudah direkayasa.

Namun, tidak menutup kemungkinan sumber dana yang diselewengkan itu berasal dari potongan-potongan biaya operasional.

Faktor ketiga, tidak tegasnya aturan KPU soal pelaporan dana kampanye.

Tiap-tiap pasangan calon kepala daerah memang disebutkan wajib melaporkan dana kampanye yang sah. Tetapi, dalam praktiknya pelaporan itu hanya bersifat normatif, kata Seira.

Tidak ada audit investigatif yang serius oleh penyelenggara pemilu terhadap sumber dana kampanye. Padahal ada kemungkinan sumber dana yang dilaporkan para kandidat berasal dari suap lantaran nama donaturnya disamarkan.

Selain itu bagi pasangan calon yang tidak menyerahkan laporan dana kampanye tidak dijatuhi sanksi diskualifikasi dan hanya dikenakan sanksi administratif.

“Contohnya saya mau mencalonkan diri, ada ketentuan lapor dana kampanye, maka idealnya mengupayakan sumber-sumber legal… masalahnya para calon kepala daerah karena merasa sanksinya tidak berat, tidak melaporkan dengan benar.”

“Ada peluang tidak melaporkan secara aktual dan faktual.”

“Itu menjadi celah yang sangat besar untuk kemungkinan para kandidat tidak sepenuhnya menyajikan data yang benar terkait sumber-sumber pendanaan mereka.”

Apakah ada cara untuk pencegahan?

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Iqbal Kholidin, menilai salah satu langkah pencegahan adalah dengan memberikan sanksi berat kepada calon kepala daerah yang tidak melaporkan dana kampanyenya dengan transparan dan akuntabel.

Dana kampanye yang berasal dari suap atau pemerasan seperti dilakukan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, menurutnya, sudah termasuk tindak pidana.

Sehingga tidak ada alasan bagi penyelenggara pemilu untuk tak mendiskualifikasinya dari kontestasi pilkada.

“Karena kalau merujuk UU Pilkada, dana kampanye itu harus berdasarkan sumber yang sah menurut hukum, ketika dilanggar maka itu dikategorikan pelanggaran serius, bahkan bisa pidana,” ujar Iqbal kepada BBC News Indonesia, Senin (25/11).

“Atau setidaknya mereka punya malu kalau pakai dana haram.”

Baginya jika aturannya tidak diubah maka sama saja penyelenggara pemilu dan pemerintah melakukan pembiaran.

Sayangnya anggota KPU, Idham Holik, mengatakan pihaknya belum bisa membatalkan pencalonan calon gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah meskipun telah berstatus sebagai tersangka.

“Cagub tersebut masih berstatus sebagai calon, dan KPU baru bisa membatalkan pencalonannya, kalau sekiranya sudah ada putusan pengadilan yang sudah inkrah,” katanya seperti dilansir kompas.com.

Idham merujuk pada UU Pemilu nomor 10 tahun 2016.

Pasal 164 ayat 6 menyebutkan “Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.

Baca juga:

  • Pilkada rasa pilpres – Pertarungan ‘mati-matian’ PDIP melawan pengaruh Jokowi di kandang banteng
  • Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
  • ‘Mereka yang banyak bicara itu tidak kena dampaknya’ – ‘Hidup dan mati’ di wilayah investasi Morowali di tengah minimnya wewenang gubernur dan bupati

Kemudian ayat 7 menegaskan “Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.

Selanjutnya, ayat 8 mengatakan “Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.”

Bagaimana nasib pencalonan Gubernur Bengkulu?

Tim pemenangan pasangan calon Gubernur Bengkulu dan Wakil Gubernur Rohidin Mersyah-Meriani memastikan jika gubernur petahana tersebut akan tetap mengikuti pelaksanaan Pilkada 27 November 2024.

Perwakilan partai pengusung, Usin Abdisyah Putra Sembiring, berkata sampai Minggu (24/11) tidak ada pembatalan pasangan Rohidin-Meriani sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada 2024.

Untuk diketahui Rohidin-Meriani diusung oleh empat partai politik di antaranya Hanura, PKS, Golkar, dan PPP.

Adapun lawannya adalah pasangan calon Helmi-Mian yang didukung tujuh partai politik yakni PAN, PDI Perjuangan, Partai Gelora Indonesia, Partai Demokrat, NasDem, PKB, dan Gerindra.

  • Pilkada Jakarta: Warga miskin kota pilih coblos semua cagub – ‘Kami memang bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohi’
  • Fenomena meniru taktik kampanye Pilpres di Pilkada 2024 – ‘Tentu kami mengapitalisasi euforia kemenangan Prabowo-Gibran’
  • Pilkada rasa pilpres – Pertarungan ‘mati-matian’ PDIP melawan pengaruh Jokowi di kandang banteng
Leave a comment