Informasi Terpercaya Masa Kini

Pilkada Jakarta: Warga miskin kota pilih coblos semua cagub – ‘Kami memang bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohi’

0 3

Warga miskin kota di Jakarta menyuarakan gerakan coblos semua alias gercos di Pilkada 2024 dan tidak akan mendukung salah satu pasangan calon gubernur-wakil gubernur sebagai bentuk protes. Apa penyebabnya?

Suara mesin cuci tua meraung-raung dari dalam gang kampung Gedong Pompa, Penjaringan, Jakarta Utara. Ember-ember yang dipenuhi pakaian basah, berserak di depan pintu rumah bercat hitam itu.

Masuk beberapa langkah ke dalam, ada kursi panjang dan satu kursi pendek dari kayu untuk menerima tamu.

Maju satu atau dua langkah lagi ruang untuk dapur, dan sedikit menjorok ke kiri ada kamar mandi.

Bangunan berukuran 3×7 meter ini memang terbilang sempit untuk ditinggali sembilan orang. Itu sebabnya Istikomah dan sang suami menambah dua lantai vertikal di atas sebagai kamar tidur.

“Ya dimuat-muatin [rumahnya] buat sembilan orang, mau gimana lagi?” ujar Istikomah saat ditemui di rumahnya, pada Sabtu (16/11).

Perempuan 57 tahun ini merantau dari Semarang, Jawa Tengah, ke Jakarta sekitar 1983 dan bekerja di pabrik udang dekat Pelabuhan Muara Angke di pesisir utara Jakarta.

Waktu itu upahnya kira-kira Rp24.000 per bulan.

Kampung Gedong Pompa dan sekitarnya kala itu, kata ibu enam anak ini, masih berupa hutan dan kebon. Tak ada bangunan menjulang tinggi apalagi perumahan.

Pada 1988, Istikomah menikah dengan suaminya yang bekerja di pelabuhan. Mereka lantas membeli sepetak tanah tak bertuan dari seorang penggarap.

“Saya beli dulu tanahnya 2,5 meter itu Rp25.000. Terus karena suami saya punya mamang [paman], dikasih tanah 1,5 meter lagi, jadi ada tambahan,” kenang Istikomah.

“Kalau sekarang rumah bagian depan lebar 3 meter, panjangnya 7 meter.”

Karena statusnya tanah negara, Istikomah dan warga lain di kampung Gedong Pompa tak punya sertifikat hak milik.

Pada 1995, Istikomah mengaku pernah mencoba mengurus sertifikat tanah dan rumah, tapi mental karena ditolak pejabat pemerintah setempat.

Yang bisa diberikan cuma surat kepemilikan bangunan dengan stempel dari Rukun Tetangga, Rukun Warga, dan kecamatan. Itupun tak bertahan lama, cuma sampai tahun 2000-an.

“Surat itu bukti bahwa saya punya bangunan di atas tanah di RT20/RW17, Kelurahan Penjaringan, dengan disaksikan tetangga kanan-kiri.”

Di surat kepemilikan bangunan itu memang tak ada jangka waktu berapa lama mereka bisa mendiami rumah tersebut.

Tapi tetap saja tak membuatnya tenang. Selalu saja ada ketakutan jika suatu saat seisi kampung bakal digusur.

“Apalagi kampung kami dibilang kumuh yang harus dibersihkan,” katanya menirukan perkataan pejabat Pemprov Jakarta.

Baca juga:

  • Eks warga Kampung Bayam yang ‘terombang-ambing’ menanti realisasi janji pemerintah
  • Angka kemiskinan ekstrem Jakarta meningkat, warga Kampung Apung Jakarta Utara mengaku ‘sudah bertahun-tahun tidak menerima bantuan sosial’

Kampung Gedong Pompa yang berlokasi persis di belakang Waduk Pluit dan Rumah Pompa Waduk Pluit berdiri sejak 1960-an. Pada 2023, total ada 800 kepala keluarga.

Posisi rumah warga terbagi menjadi dua.

Pertama, hunian yang berdiri persis di atas laut—biasa disebut Kampung Pojok, Muara Baru.

Kedua, rumah padat penduduk saling dempet yang terbangun di atas tanah Kampung Gedong Pompa.

Tempat tinggal Istikomah berada di bagian kedua.

Jalan menuju rumahnya mesti melewati gang sempit yang cuma bisa dilewati dua orang. Hampir semua bangunan di sini berlantai dua atau tiga, untuk mengakali sempitnya ruang.

Karena hunian di sini tak beraturan, kata Istikomah, saluran pembuangan air atau selokan tidak ada. Maka tiap kali hujan sudah pasti banjir.

Jalan utama yang bersisian dengan kampung ini pun tak diperbaiki.

“Dulu jalan di sini geronjal-geronjal, rusak, berbatu, enggak keruan, becek terus,” kenangnya.

“Sampah juga bertebaran di mana-mana karena enggak dikasih tempat sampah.”

Masalah lain adalah air bersih.

Air tanah di Gedong Pompa, tuturnya, berwarna kuning dan terasa asin meski sudah dimasak.

Kalau dibuat mandi, badan rasanya lengket.

Itu mengapa beberapa warga, termasuk ibu enam anak ini, masih membeli air bersih pikulan untuk mandi dan memasak. Sedangkan warga lain ada yang sudah kebagian pipa jalur air bersih yang dihubungkan ke rumah-rumah.

Harga jasa pemasangannya sebesar Rp500.000.

Istikomah mengaku sudah mendaftar untuk dipasangkan pipa, tapi belum juga tersambung tanpa alasan jelas.

Sementara, harga satu pikul air Rp2.500, terdiri dari dua jeriken masing-masing berukuran 20 liter. Istikomah bercerita dalam sehari dia bisa membeli enam pikul air bersih untuk kebutuhan sembilan orang.

Merebut hak kepemilikan tanah di Jakarta

Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Minawati, mengatakan sebanyak 22 kampung bernasib sama seperti Gedong Pompa di sekitaran Jakarta.

Puluhan kampung itu tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Timur, serta Jakarta Barat. Semuanya punya persoalan yang sama: legalitas atas tanah.

Tanpa ada hak yang sah atas tanah yang mereka tinggali, penggusuran bisa terjadi kapan saja.

“Banyak kampung-kampung di JRMK tanahnya milik negara, BUMN, diakui milik perorangan atau hak waris. Makanya kami membentuk koperasi supaya bisa melegalkan tanah-tanah itu,” ujar Minawati.

Koperasi bikinan JRMK disebut koperasi perumahan.

Total ada 26 koperasi berbadan hukum yang tugasnya mendaftarkan tanah di kampung tersebut ke Kementerian Agraria atau Badan Pertanahan Nasional.

Kalau berhasil, legalitas tanah itu akan mengatasnamakan koperasi, bukan perorangan.

“Jadi perorangan tidak bisa menjual sertifikat tanah. Kalau enggak, lama-lama kampung bakal habis. Itu yang kami jaga, makanya sertifikat atas nama koperasi,” imbuhnya.

Minawati mengeklaim Undang-Undang Pokok Agraria sebetulnya memungkinkan hal itu.

Undang-undang itu mengatur warga negara bisa mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah negara jika telah menguasai tanah tersebut secara terus-menerus selama 20 tahun.

Baca juga:

  • ‘Saya mau melihat rumah saya yang dibongkar’
  • ‘Penggusuran tanpa perlawanan’ di penghujung kepemimpinan Ahok-Djarot

Sayangnya, kementerian masih keberatan memberikan hak atas tanah yang legal itu kepada masyarakat di perkotaan, klaim Minawati.

Padahal kalau direstui, koperasi perumahan ini nantinya bakal mengelola permukiman yang layak dan terjangkau untuk warga miskin kota.

Misalnya dengan mendirikan kampung susun, persis seperti Kampung Akuarium.

“Makanya kami merasa dipersulit sama pemerintah padahal cuma minta tanah sepetak, susahnya minta ampun. Coba kalau pengembang besar, beda perlakuannya. Tidak adil kan?” ungkapnya kesal.

Kampung susun Akuarium digusur oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2016 saat menjabat sebagai gubernur Jakarta.

Penggusuran dilakukan karena Ahok ingin membangun sheet pile—dinding penahan tanah atau memperkuat konstruksi—dan tanggul laut di tempat berdirinya bangunan warga di samping Museum Bahari dan Pasar Ikan.

Warga kampung sempat minta pembangunan kampung susun di sana, tapi ditolak Ahok lantaran lahan itu milik Perumda Pasar Jaya.

Setelah kampung rata dengan tanah, sejumlah warga memilih bertahan di atas puing-puing bangunan dan mendirikan tenda.

Pada 2018, warga kampung Akuarium mengusulkan maket dan konsep rumah baru kepada gubernur saat itu, Anies Baswedan.

Kampung itu kemudian diresmikan Anies Baswedan pada 2021.

Pemprov Jakarta akhirnya membangun kembali dengan konsep kampung susun. Total ada 241 hunian yang terdiri dari lima blok di atas lahan 10.300 meter persegi.

‘Kami tidak pernah didengar’

Selama bertahun-tahun keresahan warga kampung miskin kota tidak pernah didengar. Berganti-ganti gubernur tapi tak ada yang peduli, kata Minawati.

Cuma satu orang, klaimnya, yang mau diajak berdiskusi: Anies Baswedan.

“Gubernur yang bisa diajak komunikasi cuma Anies, yang lain enggak ada dua arah. Dia mendengarkan masukan kami, jadi ada kerja sama.”

Warga kampung Gedong Pompa, Istikomah dan Ozzy, mengamini ucapan Minawati.

Setahun setelah bekas menteri pendidikan itu menjabat gubernur DKI Jakarta, dia membantu warga mengurus surat kepemilikan bangunan.

Tak hanya itu, kampung kumuh mereka diurus jadi layak huni: jalan petak dalam gang dicor dan dibikinkan drainase.

Di tiap gang diberikan tempat sampah, lampu penerangan jalan dipasang, dan jalan besar yang bersisian dengan kampung diaspal.

“Kami juga minta dibuatkan taman, di pinggiran Kali Gendong. Warga bisa tanam obat, sayur, buah. Jadi kami kerja sama dengan dinas pertamanan, bibit tinggal ambil, menanam sendiri, sampai panen,” ujar Ozzy.

“Lalu air PAM dulu enggak ada, kami minta lagi sama Pak Anies, masuk.”

“Jadi kami merasakan Pak Anies benar-benar memperhatikan warga yang membutuhkan keadilan,” sambungnya.

Itu mengapa ketika Anies Baswedan gagal bertarung di Pilkada Jakarta 2024, Istikomah dan Ozzy kecewa berat.

Bapak empat anak ini mengaku gregetan dengan elite partai politik yang disebutnya lebih mementingkan diri sendiri ketimbang mengutamakan aspirasi warga.

Sebagai pengingat, nama Anies Baswedan menempati posisi teratas di berbagai lembaga survei, disusul Ahok, dan Ridwan Kamil.

Namun bekas menteri pendidikan di era Jokowi itu tak dilirik oleh koalisi gemuk yang diketuai Prabowo Subianto. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang terdiri dari 12 partai lebih memilih mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono.

Sedangkan PDI Perjuangan terancam tak bisa mengajukan calon untuk bersaing melawan KIM Plus, kalau tak ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.

Baca juga:

  • Ada ‘faktor Prabowo-Jokowi’ di balik keputusan Megawati menolak Anies-Ahok di Pilgub Jakarta?
  • Anies ingin bentuk partai politik usai gagal maju Pilkada 2024 – Apa syarat pendirian parpol dan modal apa yang dibutuhkan?

Beberapa hari jelang pendaftaran cagub-cawagub DKI Jakarta ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), nama Anies Baswedan santer disebut masuk bursa cagub partai berlambang banteng moncong putih itu.

Sebuah unggahan foto Rano Karno dan Anies Baswedan duduk berdampingan dan mengenakan kemeja berwarna merah sempat viral di media sosial—yang dimaknai sebagai pasangan cagub-cawagub.

Tapi apa mau dikata, di menit terakhir pendaftaran, bukan Anies yang datang bersama Bang Doel—panggilan tenar Rano Karno—melainkan Pramono Anung.

‘Pilihannya coblos semua’

Menyaksikan bagaimana elite partai politik “buta” pada aspirasi warga dan kondisi demokrasi yang disebutnya tidak baik-baik saja, Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JRMK) menyuarakan gerakan coblos semua alias gercos!

Koordinator JRMK, Minawati, mengatakan mereka tidak akan mendukung salah satu pasangan calon gubernur-wakil gubernur sebagai bentuk protes.

Sikap itu semakin mantap saat menonton debat terakhir Pilkada Jakarta.

Sepanjang debat berlangsung, katanya, masing-masing calon sesumbar bahwa konflik agraria dan penataan kawasan permukiman kumuh bisa diselesaikan lewat dialog.

Tapi nyatanya sampai sekarang tak ada satupun pasangan calon yang mencoba mendekati mereka dan mengajak bicara, akunya.

Istikomah, warga Gedong Pompa mengiyakan klaim Minawati. Ia bilang hingga Minggu (18/11) belum pernah melihat para cagub-cawagub Jakarta datang ke kampungnya.

“Kalau di Gedong Pompa belum dengar ada calon yang kemari. Padahal saya sering keliling kampung buat dagang… di kampung yang dekat laut juga enggak dengar ada yang datang calon nomor 1, 2, atau 3,” ujar Istikomah.

“Jadi karena kami enggak tahu, ya bisa coblos semuanya biar adil,” sambungnya sembari tersenyum.

Perempuan paruh baya ini lagi-lagi membandingkan dengan Anies Baswedan yang saat kampanye pilkada 2017 menemui warga kampung.

“Pak Anies dulu berbaur sama kami, ngajak ngobrol bareng. Jadi mendengarnya enak dan nyaman… duduk sama-sama rendah, itu sebelum pencoblosan. Begitu terpilih, dibuktikan bener.”

Baca juga:

  • Kotak kosong dalam Pilkada 2024 terbanyak dalam sejarah – Bagaimana jika kotak kosong yang menang?
  • Gerakan coblos semua paslon bergaung di Pilkada 2024, apa pemicunya dan apa bedanya dengan golput?

Warga lainnya, Ozzy juga setuju.

“Coblos semua, enggak ada keraguan meski serangan fajar kanan kiri, enggak bakal goyah,” katanya sambil terbahak-bahak.

Sebagai wujud ekspresi atas pilihan mereka itu, JRMK sempat memasang spanduk bertuliskan: tolak pilkada tidak demokratis, coblos semua paslon.

Spanduk berlatar ungu itu dipasang di sepanjang jalan Muara Baru dan Gedong Pompa, tapi umurnya cuma bertahan sehari atau dua hari.

“Banyak dicopot, kami pasang hari ini besok pagi sudah hilang,” sebut Ozzy.

Apa visi cagub-cawagub soal permukiman kumuh di Jakarta?

Debat pamungkas Pilkada Jakarta yang digelar oleh KPU DKI pada Minggu (17/11) mengusung tema perkotaan dan iklim.

Salah satu pertanyaan panelis dalam sesi tanya jawab itu adalah soal apa strategi dan langkah konkret para cagub-cawagub mengatasi konflik agraria dan permukiman kumuh di Jakarta.

Cawagub nomor urut 1, Suswono, memaparkan masih banyak warga Jakarta yang belum terpenuhi haknya terhadap hunian sehat dan berkualitas.

Untuk itu kalau terpilih, dia berjanji bakal mendorong warga Jakarta mendapatkan tempat tinggal yang murah, terjangkau, dengan mendirikan bangunan vertikal.

Dia kemudian menekankan “takkan lagi ada penggusuran kepada warga Jakarta”.

Ia bersama Ridwan Kamil akan membangun dialog agar ada titik temu dan win-win solution.

Tapi soal nasib kampung-kampung kumuh, politikus PKS ini berkata akan memindahkannya ke hunian baru yang diklaim layak. Sementara ruang-ruang kumuh itu, bakal dijadikan ruang terbuka hijau.

Harapannya warga Jakarta bisa menikmati banyak taman.

“Karena itu kami akan memberikan semacam kemudahan-kemudahan, di antaranya BUMD yang ditugaskan membangun hunian tidak mengambil untung, agar rakyat bisa menjangkau hunian,” ucapnya dalam debat.

“Cicilan diperpanjang agar nominalnya lebih kecil sehingga mereka bisa mendapatkan hunian yang layak.”

Baca juga:

  • Mengungkap jejak digital tiga cagub Jakarta – Dari candaan seksis hingga teori konspirasi
  • Koalisi ‘gemuk’ resmi usung Ridwan Kamil-Suswono di Pilgub Jakarta, kans Anies ‘pupus’

Cawagub nomor urut 2, Kun Wardana, juga sesumbar tentang pentingnya dialog dalam menuntaskan konflik tanah di Jakarta sehingga tak perlu terjadi penggusuran.

“Kami ingin warga berpartisipasi dan menyampaikan aspirasi karena kami ingin ada keadilan. Kami juga cek legalitas kepemilikan [tanah] dan berkonsolidasi dengan warga,” paparnya.

Dia juga menjanjikan penambahan jumlah hunian di Jakarta meski tak merinci caranya.

Cawagub nomor urut 3, Rano Karno, mengatakan penataan kampung-kampung kumuh adalah dengan menghilangkan kumuhnya, bukan kampungnya.

Penataan pun harus melibatkan warga dan tak boleh menjauhkan mereka dengan mata pencahariannya.

Rano mengambil contoh penataan Kampung Akuarium.

“Kemudian kami akan tingkatkan keamanan di kampung, pasang kamera CCTV di setiap RT/RW dan internet gratis,” katanya.

“Kami berkeyakinan di saat perkampungan kumuh hilang, maka ekonomi akan naik.”

‘Tidak ada yang paham soal Jakarta’

Koordinator JRMK, Minawati, mengaku masih sangsi dengan janji-janji para pasangan calon gubernur-wakil gubernur. Karena setiap kali mendengar kata penataan, yang terbayang olehnya adalah penggusuran.

Praktik yang sudah-sudah pemprov mengusir paksa begitu saja atau memindahkan warga kampung ke hunian yang sudah disiapkan pemprov.

Hunian baru tersebut sudah pasti tidak gratis alias sewa dan lokasinya jauh dari tempat mereka semula mengais rezeki.

Bagi Minawati cara-cara seperti itu tidak menyelesaikan masalah. Yang mereka butuhkan adalah legalitas tanah atas kampung.

Sayangnya hal itu tak keluar dari mulut para pasangan calon saat debat.

“Kalau menata dengan memindahkan warga ke rusun yang jauh, malah menambah kemiskinan. Mereka hidupnya di laut, tapi tinggal di darat.”

“Makanya kami takut sama kata-kata penataan.”

Sementara itu pengamat isu perkotaan, Elisa Sutanudjaja, menilai ketiga pasang calon kelihatan kurang paham soal Jakarta dan cenderung bermain aman.

Ia mencontohkan solusi ketiga cawagub ketika membahas persoalan konflik agraria di perkotaan adalah: berdialog.

“Semuanya bilang dialog, itu cara paling aman… tapi dialog apa maksudnya? Karena pengadilan pun termasuk dialog, di sana ada hakim sebagai mediator,” tegas Elisa.

Baca juga:

  • Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
  • ‘Mereka yang banyak bicara itu tidak kena dampaknya’ – ‘Hidup dan mati’ di wilayah investasi Morowali di tengah minimnya wewenang gubernur dan bupati

Kalau ketiganya memang mengerti masalah dan berpihak pada masyarakat miskin kota, maka jawaban yang tepat menurutnya: memberikan rekomendasi kepada Badan Pertanahan Nasional untuk mengeluarkan hak guna bangunan atau hak milik kepada warga.

Mekanisme itu, kata Elisa, dimungkinkan dalam UU Agraria maupun Pergub tentang Gugus Tugas Reforma Agraria.

“Jadi gubernur itu bisa memberikan rekomendasi keluarnya HGB, sama kayak pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 di pulau C dan D.”

“Contoh kampung Lodan di kecamatan Pademangan, itu tanah negara. Mereka cuma butuh rekomendasi gubernur ke BPN supaya bisa dikasih hak sesuai peruntukan dan tata ruang. Tinggal urusannya nanti bayar pajaknya, gitu doang.”

Tapi mengapa hal itu tak dilakukan Pemprov Jakarta?

Ia menilai ada beberapa faktor.

Seperti masih kuatnya stigma bahwa orang miskin akan menjual tanahnya, tidak ada pendapatan berupa pajak yang akan diperoleh daerah atau ada semacam gestur “ketidakrelaan memberikan tanah gratis kepada orang miskin,” klaimnya.

Terlepas dari itu, dia meyakini siapa pun yang terpilih nanti penggusuran akan tetap ada namun dengan cara yang berbeda-beda.

Entah karena alasan penataan kota atau dorongan dari pengembang besar yang ingin meluaskan bisnisnya.

Pilkada Jakarta: satu putaran atau dua putaran?

Sejumlah lembaga survei memperlihatkan bagaimana dua paslon Ridwan Kamil-Suswono dan Pramono-Rano saling adu kuat.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang melakukan survei terhadap 1.210 orang di Jakarta pada 31 Oktober-9 November lalu menunjukkan elektabilitas Pramono-Rano lebih unggul, yakni 46%, dari Ridwan Kamil-Suswono yang sebesar 39,1% dan Dharma-Kun 5,1%.

Adapun survei Litbang Kompas yang dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 800 responden pada 20-25 Oktober silam menghasilkan Pramono-Rano berada di posisi teratas dengan 38,8%, kemudian Ridwan Kamil-Suswono 34,6%, dan Dharma-Kun 3,3%.

Terbaru, Indopolling Network menggelar simulasi pencoblosan pilkada Jakarta dengan menggunakan kertas suara kepada 800 responden pada 6-15 November.

Ratusan responden itu diberi pertanyaan: jika pilkada dilaksanakan hari ini, siapa yang akan ibu/bapak pilih?

Hasilnya sebanyak 48,4% memilih Pramono-Rano, lalu 38,4% memilih Ridwan Kamil-Suswono, dan 4% mencoblos Dharma-Kun.

Direktur riset Indopolling, Dewi Arum Nawang, mengatakan jarak elektoral paslon Ridwan Kamil-Suswono dan Pramono-Rano terpaut signifikan yaitu 10%.

Melihat angka-angka itu, sejumlah pengamat politik mengaku sulit memprediksi apa yang terjadi saat pencoblosan 27 November nanti lantaran kandidat nomor urut 1 dan 3 bersaing sangat ketat.

Meskipun perkiraan mereka sampai Kamis (21/11), Pilkada Jakarta kemungkinan berlangsung dua putaran.

Baca juga:

  • Pilkada Aceh: Perempuan dibilang ‘haram’ jadi pemimpin, syariat atau politik praktis?
  • Pilkada rasa pilpres – Pertarungan ‘mati-matian’ PDIP melawan pengaruh Jokowi di kandang banteng

Tapi yang mengejutkan, kata Teuku Harza Mauludi selaku peneliti dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia, pasangan Pramono-Rano mampu melewati elektabilitas pesaingnya Ridwan Kamil-Suswono.

Seperti diketahui ketika nama Pramono diumumkan PDIP sebagai calon gubernur, popularitasnya paling buncit.

Harza menilai keunggulan Pramono ada pada cara bertuturnya yang jarang blunder dan pandai menempatkan diri di depan publik dan media.

Berbeda dengan Ridwan Kamil yang, menurutnya, sering melontarkan gimmick politik. Masalah lain, koalisi KIM Plus di Jakarta tidak total mendukung jagoannya.

Ditambah di media sosial, dipenuhi komentar-komentar warganet soal program-program Ridwan Kamil di Jawa Barat yang disebut tidak berjalan.

Itulah mengapa elektabilitasnya di Jakarta, mandek.

“Karena dia bukan berasal dari Jakarta dan karakteristik warga Jakarta lebih kritis sehingga politik gimmick yang sering digunakan RK ya enggak laku,” papar Harza kepada BBC News Indonesia.

‘Jokowi turun gunung’

Harza menyebut stagnannya elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono menjadi faktor dominan penyebab mantan Presiden Joko Widodo meninggalkan masa pensiunnya untuk mendukung pasangan itu.

“Atas dasar itulah kenapa Jokowi turun gunung,” kata Harza.

Sokongan Jokowi pada Ridwan Kamil berlangsung dalam pertemuan keduanya dengan para relawan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, pada Senin (18/11).

Jokowi mendukung RK karena dianggap memiliki rekam jejak sebagai wali kota dan gubernur.

“Mengenal kota tak mudah. Beliau punya pengalaman itu. Dalam lingkup manajemen lebih besar provinsi beliau punya pengalaman sebagai Gubernur,” ucap Jokowi.

Tapi Harza menilai pengaruh Jokowi di Jakarta tidak signifikan atau tidak sebesar di Jawa Tengah.

Ini karena kalau mencomot hasil peroleh suara Prabowo yang didukung Jokowi melawan Anies saat pilpres kemarin di Jakarta, jaraknya tipis.

Sementara itu pada Rabu (20/11), Anies Baswedan sudah menyatakan dukungannya kepada Pramono-Rano, yang sudah pasti bakal meningkatkan elektabilitas paslon tersebut dalam waktu-waktu ke depan.

Harza menilai mantan gubernur Jakarta itu seperti sedang memainkan peran “king maker” di tingkat lokal.

“Kalau Jokowi meng-endorse paslon di Jawa, maka Anies merespons dengan hal yang sama,” katanya.

Kini, hari-hari mendekati waktu pencoblosan 27 November, segalanya menjadi genting. Maka wajar jika para kandidat akan semakin sering menemui tokoh-tokoh publik.

Namun yang perlu diwaspadai, menurutnya, adalah politik uang.

“Saya yakin di level masyarakat juga akan terjadi money politics sehingga menjadi tugas publik untuk mengawasi supaya pemilu tetap adil.”

‘Jangan menggusur’

Kembali ke warga kampung Gedong Pompa.

Istikomah dan Ozzy berharap siapapun yang terpilih menjadi gubernur Jakarta mau berpihak pada rakyat miskin kota dengan melegalkan tanah tempat mereka lahir dan besar.

Entah dalam bentuk hak guna bangunan atau yang diimpikan berupa hak milik.

“Kalaupun tidak sepenuhnya berpihak, seenggaknya jangan menggusur,” kata Ozzy.

“Yang kami takutkan [gubernur yang terpilih] bukannya melindungi masyarakat kecil, justru melindungi pengembang besar.”

Istikomah juga minta agar tidak diusir dari tanah yang sudah ditinggalinya selama 40 tahun.

“Biarkan kami punya tempat yang aman, nyaman, bersertifikat. Walaupun kami sebagian enggak memilih Anda, tapi kami warga Jakarta juga.”

“Kami memang bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohin.”

Leave a comment