Ramai-ramai Ajakan “Frugal Living” dan Kurangi Belanja untuk Memprotes PPN 12 Persen, Apa Dampaknya?
KOMPAS.com – Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen membuat sejumlah warganet menyerukan aksi boikot dengan menerapkan frugal living dan mengurangi belanja.
Ajakan boikot itu menggema di media sosial X atau Twitter dalam beberapa hari terakhir.
“Yang pengen ganti HP tahan, yang pengen ganti motor baru tahan, yang pengen ganti mobil baru tahan. 1 tahun aja, jangan lupa pake semua subsidi, gak usah gengsi dibilang miskin, itu dari duit kita juga kok. Kapan lagi boikot pemerintah sendiri,” tulis @mal***, Rabu (14/11/2024).
“Boikot pemerintah jalur frugal living struktural. Cermat dg pengeluaran, beli di warung tetangga/pasar dekat rumah, buat daftar barang2 berpajak yg bisa dicari alternatifnya, minimalkan konsumsi,” tulis akun @us*** pada Kamis (15/11/2024).
Lantas, apa dampak ajakan frugal living dan mengurangi belanja?
Baca juga: Ekonom Sebut Masyarakat Tidak Siap dan Terbebani PPN Naik Jadi 12 Persen
Rugikan pemerintah
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, aksi boikot PPN 12 persen dengan hemat dan menolak membelanjakan uang selain kebutuhan pokok, akan sangat merugikan pemerintah.
“Karena kenaikan tarif PPN 12 persen akan jelas mengurangi konsumsi rumah tangga. Jadi masyarakat hanya punya pilihan berhemat atau mencari subsitusi barang yang harganya lebih murah,” tutur Bhima saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/11/2024).
Karena masyarakat mencari barang berharga murah, kenaikan PPN justru berpotensi membuat peredaran barang ilegal yang tidak dikenai pajak di dalam negeri semakin banyak.
Pasalnya, semakin tinggi pajak yang diterapkan terhadap barang, akan memicu peredaran barang-barang ilegal.
Baca juga: Apa Itu PPN yang Bakal Naik Jadi 12 Persen Mulai 1 Januari 2025?
Menurutnya, peningkatan barang impor ilegal akan berpotensi menghilangkan pemasukan pajak untuk negara.
“Ketika pemerintah hanya mengejar kenaikan tarif PPN, efek sampingnya masyarakat mungkin membeli barang-barang yang tidak dikenai tarif PPN,” tegasnya.
Di sisi lain, lanjut Bhima, masyarakat yang menghindari tarif PPN 12 persen akan memilih berbelanja di warung-warung kecil.
Tindakan ini akan mendorong underground economy (ekonomi bawah tanah) atau aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki semakin tinggi di Indonesia.
Bhima menambahkan, pemerintah sempat akan memberlakukan pajak terhadap underground economy untuk menambah pendapatan negara dari pajak. Namun, kenaikan PPN justru memperbesar porsi underground economy.
“Pemerintah sebenarnya ingin rasio pajak naik tapi memukul perekonomian, mengubah pola konsumsi masyarakat, memperbesar underground economy,” tegasnya.
Baca juga: PPN Tetap Naik Jadi 12 Persen mulai 1 Januari 2025, Apa Alasannya?
Dampak boikot PPN 12 persen
Bhima melanjutkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen sebenarnya dilakukan pemerintah untuk menaikkan rasio atau pendapatan negara dari pajak dengan target 23 persen pada 2029.
“Sebenarnya enggak perlu diberi seruan-seruan belanja di warung. Otomatis konsumsi masyarakat berubah ketika gaji atau pendapatan tidak sesuai kenaikan harga barang-barang,” jelas dia.
Sayangnya, aksi belanja di warung-warung kecil atau mengurangi belanja selain kebutuhan pokok, akan merugikan perusahaan-perusahaan ritel modern.
Pasar perusahaan ritel modern akan berkurang saat banyak orang memilih belanja di warung kecil. Padahal, perusahaan ritel termasuk penyerap tenaga kerja yang cukup besar di sektor perdagangan.
Bhima menekankan, konsekuensi-konsekuensi ini akan dialami Indonesia kalau pemerintah meneruskan rencana PPN 12 persen.
Baca juga: Berlaku 2025, Ini Daftar Barang yang Kena dan Tidak Kena PPN 12 Persen
Daripada menaikkan PPN menjadi 12 persen, Bhima menilai pemerintah sebaiknya mencari alternatif lain untuk menambah penerimaan pajak untuk negara.
“Celios menyodorkan (saran penerapan) pajak kekayaan atau wealth tax yang bisa capai (pemasukan) Rp 81,6 triliun,” ungkapnya.
Pemerintah juga bisa menerapkan pajak produksi batu bara dan implementasi pajak karbon.
Bhima juga menyarankan pemerintah untuk menutup insentif pajak yang tidak tepat sasaran, demi membantu menyelamatkan potensi pajak yang hilang.
Contoh pajak yang tidak tepat sasaran adalah insentif tax holiday dan tax allowance yang memberikan pembebasan atau pengurangan pajak untuk menarik investasi asing.
Kedua insentif itu dinilai bertentangan dengan Global Minimum Tax atau ketetapan yang menerapkan batas minimum tarif pajak terhadap perusahaan internasional.
“Dampak pemberian insentif pajak ternyata tidak mampu dorong porsi industri terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dan nilai tambah yang dihasilkan kecil,” tandas Bhima.