Menelusuri Makam Selir Sri Sultan Hamengku Buwono I di Gadingharjo Bantul
YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Suasana sunyi menyelimuti Padukuhan Ngujung, Kalurahan Gadingharjo, Sanden, Bantul, DI Yogyakarta, pada Senin (11/11/2024) siang.
Hanya sebagian kecil masyarakat yang berada di rumah, sementara suara burung dan gesekan dedaunan memecah kesunyian.
Di sudut perkampungan, terdapat makam Bray Asmorowati, salah satu selir Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Baca juga: Bersepeda di Kalimundu, Bantul, Belajar Sejarah hingga Melihat Potensi Keindahan Lokal
Makam tersebut dikelilingi pagar batu bata dengan ketebalan lebih dari 30 cm, namun temboknya sudah tampak lusuh termakan usia.
Di dalam area makam, terdapat jalan kecil yang membelah deretan nisan, mulai dari model kuno hingga modern.
Beberapa makam baru tampak masih basah dengan bunga tabur yang segar.
Suasana rindang pepohonan dan suara hewan liar di sekitar makam memberikan kesan jauh dari keramaian pemukiman.
Di sebelah utara makam, terdapat bangunan yang berisi tiga nisan bertuliskan aksara Jawa.
Juru bersih makam dengan gelar dari Keraton, Mas Agus Budi Prastyo menjelaskan bahwa di dalam bangunan makam tersebut, selain Bray Asmorowati, juga terdapat dua pengawalnya yang dimakamkan di kanan dan kirinya.
“Selir atau jawanya ampean ndalem masuk keraton namanya Bray Asmoro Wati. Kalau sebelum masuk namanya Mbok Temu,” ujar Mas Agus.
Dari cerita turun temurun, Bray Asmorowati diangkat menjadi selir saat ikut ibunya, seorang warga Ngujung, yang berjualan sirih di sekitar alun-alun Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Setelah diangkat menjadi selir, ia memilih untuk pulang ke Ngujung.
“Tidak lama (menjadi selir) dan memilih pulang ke sini (Ngujung),” tambah Mas Agus.
Ia juga menyebutkan bahwa Bray Asmorowati memiliki seorang putra yang kini tinggal di Belanda.
Makam tersebut awalnya dibangun menggunakan kayu jati, dan pada tahun 1983 dipugar.
Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang bertahta dari tahun 1755 hingga 1792, dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi, pendiri Keraton Yogyakarta.
Lahir pada 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono, beliau merupakan putra Sunan Amangkurat IV dari selir Mas Ayu Tejawati.
Sebagai peletak dasar budaya Mataram, Sultan Hamengku Buwono I memberikan warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi juga bagi seluruh masyarakat Yogyakarta.
Sejak kecil, BRM Sujono dikenal cakap dalam olah keprajuritan, mahir berkuda, dan bermain senjata.
Ia juga dikenal sangat taat beribadah sembari menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Baca juga: Kronologi Raden Tewas Dianiaya Prajurit TNI Saat Hendak Melihat Cucu
Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan kebijaksanaan dan kearifan Sultan Hamengku Buwono I, termasuk kecerdasannya dalam ilmu tata kota dan arsitektur.
Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar dapat menyejahterakan dan memberikan keamanan kepada penduduk Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi strategis, dibatasi oleh:
- Kali Code di sebelah timur
- Kali Winongo di sebelah barat
- Gunung Merapi di sebelah utara
- Pantai Laut Selatan di sebelah selatan
Arsitektur Keraton Yogyakarta sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta.