Razia Rumah Makan Padang, Pakar Unair Sebut Itu Primordialisme
KOMPAS.com – Beberapa waktu lalu, viral video razia rumah makan Padang di Cirebon.
Banyak warga yang menyayangkan aksi persekusi pencopotan paksa label rumah makan Padang oleh oknum organisasi masyarakat.
Hal ini tentu saja menuai perhatian luas dari masyarakat Indonesia. Dr Listiyono Santoso SS M Hum, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) turut memberikan tanggapannya mengenai peristiwa tersebut.
Menurut Listiyono, peristiwa tersebut merupakan perilaku yang cukup problematik karena telah menyangkut soal identitas primordial suku tertentu.
Bagi orang Minangkabau (suku masyarakat Padang, red), terminologi rumah makan Padang itu tidak hanya mencerminkan soal jenis makanannya. Melainkan juga tata cara makan dan berbagai norma yang melekat di dalamnya.
“Jadi, rumah makan Padang itu bagi orang Minangkabau tidak hanya soal nama. Melainkan soal identitas adat istiadat,” tuturnya, dilansir dari laman Unair.
Baca juga: Beasiswa S1-S2 bagi Mahasiswa UGM, Ada Bantuan Pendidikan Rp 20 Juta
Listiyino menyampaikan bahwa unsur primordialisme menjadi faktor utama yang menyebabkan peristiwa itu terjadi.
Menurutnya, peristiwa ini menggambarkan upaya untuk mempertahankan identitas primordial dari masyarakat Minangkabau.
“Hanya saja, memang perlu kearifan dalam memberikan ruang. Sehingga egoisme sektoral primordial tidak menjadi klaim eksklusif yang melarang orang lain menggunakannya, terutama dalam konteks NKRI. Justru, identitas primordial ini sebaiknya menjadi bagian dari duta budaya yang mempersatukan,” tambahnya.
Wakil Dekan I FIB tersebut juga menekankan bahwa kemungkinan ada pemicu lain dari peristiwa tersebut.
Ia mengatakan, peristiwa ini bisa saja terpicu oleh persaingan bisnis. Namun, pemicu dasar yang paling ia soroti adalah penggunaan identitas suatu suku tanpa kehati-hatian.
“Jika ingin menggunakan identitas suku tertentu, perlu menghormati nilai-nilai yang melekat sebagai identitas. Sebab, identitas itu bagian dari kebanggaan suku. Jika tidak menghormati, suku bangsa tertentu bisa merasa terhina atau tidak dihargai,” ujarnya.
Baca juga: 13 Beasiswa D3, S1-S3 Tanpa Harus Balik ke Indonesia, Termasuk LPDP?
Lebih lanjut, Listiyono menyampaikan bahwa media sosial memainkan peran besar dalam memberikan dampak kepada masyarakat.
Mayoritas masyarakat memperoleh informasi yang tidak lengkap melalui media sosial. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dengan berpotensi menyulut reaksi berlebihan dan mendorong tindakan ‘persekusi’ balik secara verbal terhadap rumah masakan Padang.
“Melalui berbagai analogi sarkastik yang menganggap orang Minang ingin menang sendiri, meminta agar tidak berjualan di daerah lain, dan sebagainya. Ini terjadi karena masyarakat belum memiliki pemahaman yang setara tentang bagaimana mengelola identitas kesukuan di ruang yang berbeda atau di luar daerahnya,” jelasnya.
Listiyono berpendapat bahwa solusi terbaik untuk permasalahan ini adalah dengan meningkatkan kesadaran multikultural di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai adat yang ada.
Dia menambahkan, setiap warga negara Indonesia harus menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beragam dan harus hidup berdampingan.
“Saat ini, setiap suku dalam suatu wilayah akan hidup berdampingan dengan suku lain. Oleh karena itu, sangat perlu sekali memiliki kesadaran penuh mengenai kondisi perbedaan ini,” pungkasnya.