Menyelami Dubai Tempo Dulu Saat Masa Sulit di Al Shindagha Museum
KOMPAS.com – Dubai di Uni Emirat Arab (UEA), saat ini dikenal sebagai tempat dengan gedung-gedung tinggi dan bergelimang kekayaan.
Namun, ternyata masa lalu Dubai tidaklah demikian. Dubai saat itu hanya semacam kota kecil di tengah padang pasir.
“Waktu saya sampai di Dubai 22 tahun lalu, kota ini belum ada apa-apa. Hanya padang pasir. Jalan-jalan ini, gedung-gedung tinggi itu, semua belum ada,” kata Said Jamil Usman Shah, seorang pria asal Pakistan yang bekerja di sebuah perusahaan agen wisata di Dubai.
Baca juga: Aroma Parfum Favorit di Dubai Ternyata Berasal dari Indonesia
Jamil menjadi saksi begitu cepatnya Dubai melakukan pembangunan. Pria yang sehari-hari membawa turis-turis asing itu bahkan kerap terkaget-kaget akan gedung-gedung pencakar langit baru, jalan-jalan besar baru yang terus bermunculan setiap saat.
Jika melihat ke belakang, tidak ada yang menyangka bahwa kota ini dulunya melewati masa-masa sulit. Bahkan, saat Indonesia merdeka, UEA belum menjadi sebuah negara yang diperhitungkan. Popularitas Dubai sama sekali belum terdengar.
Ketika itu, Dubai hanyalah kota kecil di pesisir pantai yang hanya diisi para nelayan dan penyelam mutiara.
Dubai yang bergelimang kekayaan
Namun dalam kurang dari 50 tahun, Dubai bertransformasi begitu masif menjadi sebuah kota metropolis dan pusat perdagangan penting bagi dunia internasional.
Di kota dengan 3,7 juta penduduk ini, segala rekor dunia diciptakan. Gedung tertinggi, pulau reklamasi terbesar, shopping mall terbesar, hotel berbintang 7 pertama, akuarium terbesar, dan sebagainya. Bagi Dubai, tidak ada yang tidak mungkin.
Baca juga: Ridwan Kamil Ingin Kembangkan Wisata di Kepulauan Seribu Jadi ala Maldives dan Dubai
Saat Kompas.com menginjakkan kaki di Dubai pada 26 Oktober 2024, kemegahan dan kecanggihan Dubai International Airport langsung menyambut saya dan rekan.
Setelah melakukan perjalanan udara 8 jam dari Jakarta, kami pun memulai perjalanan di Dubai pada malam hari.
Gedung-gedung pencakar langit dengan berbagai arsitektur yang tak jarang bergaya futuristik tampak memukau.
Saya pun bertanya-tanya, bagaimana Dubai menjadi kota semaju ini hanya dalam waktu cepat? Bagaimana pula Dubai mengubah wajahnya dari sebuah kota beretnis Arab menjadi kota multi-etnis di mana 90 persen penduduknya adalah ekspatriat?
Semua pertanyaan itu akhirnya terjawab saat kami mengunjungi Al Shindagha Museum.
Baca juga: Video Viral Perempuan Memesan Uber Unta di Gurun Dubai, Warganet Tak Percaya
Al-Shindagha Museum, Potret dubai melawan masa sulit
Di hari kedua di Dubai, kami mengunjungi Al Shindagha Museum. Di museum inilah kami melihat bagaimana perjuangan Dubai menjadi kota elite seperti sekarang ini.
Tak ada yang instan. Masa sulit harus dilewati untuk mendorong manusia mencari kehidupannya yang lebih baik.
Determinasi dan imajinasi meraih kemakmuran menjadi kunci bagi Dubai. Al Shindagha Museum membawa kita kembali ke Dubai tempo dulu. Melalui arsip foto, ruang multimedia, instalasi, hingga artefak, perjalanan Dubai terurai dengan begitu indah.
Saat memasuki bangunan utama Al Shindagha Museum, pengunjung langsung ditampilkan pada sebuah instalasi seni yang memiliki makna perubahan tanpa henti yang terjadi di kota ini.
Setelah melalui ruangan ini, pengunjung akan dibawa mengenali awal mula kota ini lahir hingga maju seperti saat ini. Pengunjung kemudian dibawa ke sebuah ruang teater di mana sebuah film diputarkan.
Berabad-abad lalu, Dubai diceritakan hanyalah sebuah padang pasir gersang. Mata air sulit ditemukan. Mereka memproses air laut untuk dijadikan air minum dengan keterbatasan teknologi yang ada. Kelaparan dan kematian kerap menghantui.
Baca juga: Apa Itu Knafeh? Bahan Dasar Cokelat Dubai Viral
Namun, kondisi alam yang ekstrem itu tak membuat penduduk Dubai menyerah. Pada abad ketiga hingga kelima, warga di sana menemukan mutiara-mutiara indah dengan menyelam ke bawah laut.
Mutiara inilah yang menarik perhatian dunia dan mengubah kehidupan penduduk Dubai. Dengan cepat, penduduk asli menggantungkan hidupnya dengan laut.
Pesisir Dubai Creek menjadi nadi bagi kehidupan mereka. Perdagangan di sepanjang Dubai Creek saat itu berkembang pesat. Saudagar-saudagar dari Eropa mencari mutiara Dubai.
Mutiara itu kerap digunakan penduduk Dubai untuk ditukar dengan pakaian, bumbu-bumbu, hingga alat memasak. Mutiara telah menghidupi penduduk Dubai selama berabad-abad, meski mereka harus menyelam 25 meter dengan alat seadanya.
Namun, peristiwa The Great Depression (1929-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945) mengubah segalanya. Krisis ekonomi terjadi, pasar mutiara langsung “drop”.
Dubai pun kembali dihantui kelaparan karena mutiara mereka sulit dijual. Kapal-kapal asing mulai jarang terlihat, menyisakan Dubai Creek yang kembali sepi.
Baru pada tahun 1966, Dubai bangkit setelah minyak ditemukan. Eksplorasi pun langsung dilakukan besar-besaran, yang sekaligus dengan cepat mengisi pundi-pundi kekayaan wilayah ini. Menariknya, kejayaan Dubai lewat minyak ini dimanfaat dengan sangat baik untuk pembangunan kota.
Semua itu tak lepas dari sosok penting Keluarga Al-Maktoum yang menjadi penguasa Dubai.
“Leadership” Penguasa Dubai
Al Shindagha Museum dulunya adalah kediaman Sheikh Saeed Al-Maktoum, mantan pengusa Dubai. Kediaman ini kini terbuka bagi publik untuk memelajari sejarah dan kultur Dubai.
Ada salah satu bagian dari Al Shindaga Museum yang memampang peran penting keluarga Al-Maktoum. Dia lah Sheikh Rashid bin Saeed Al-Maktoum yang berperan memulai pembangunan drastis bagi kota ini.
Setelah minyak ditemukan pada tahun 1966, Sheikh Rashid yang memimpin Dubai ketika itu langsung membangun bandara dan membangun pelabuhan laut dalam untuk mengirimkan berton-ton minyak ke negara lain.
Dia juga berperan penting memodernisasi Dubai untuk menjadi “hub” bagi perdagangan internasional. Kota ini mengoperasikan dua pelabuhan terbesar di dunia yang semakin menguatkan ekonomi Dubai. Ribuan perusahaan asing pun membuka cabang dan pabrik mereka di kota ini.
Perlahan namun pasti, sektor perdagangan ini yang kemudian berperan penting membuat Dubai kaya raya. Ini sekaligus mematahkan stigma bahwa negara-negara Arab hanya bisa bergantung pada minyak.
Dari pemikiran-pemikiran inovatif Sheikh Rashid ini pula yang membawa Dubai yang awalnya diisi oleh para emarati (istilah penduduk asli), kini berubah menjadi sebuah kota metropolis dunia.
Dubai membuka diri selebar-lebarnya bagi dunia. Arsitektur gedung pencakar langit dan masuknya teknologi canggih tak lepas dari kerja sama Dubai dengan berbagai ahli dunia.
Bahkan, kini emirati bukanlah penduduk mayoritas di Dubai. Dubai menjadi rumah bagi lebih dari 200 kebangsaan, dengan ekspatriat dari India yang paling banyak jumlahnya di kota ini.
Sheikh Rashid memiliki visi jauh ke depan. Berbagai teknologi digunakan untuk menciptakan perubahan ekstrem sekaligus mengantarkan Dubai mencetak berbagai rekor dunia dalam pembangunan yang dilakukannya.
Soal perubahan ini, Sheikh Rashid memiliki sebuah kutipan yang begitu terkenal. Kutipan ini tak sengaja saya lihat ketika menjelajah bagian lain Dubai, Palm Jumeirah, sebuah pulau buatan terbesar di dunia.
“Opportunities are made, they do not just lie around waiting for someone to grab them”. Perubahan nyatanya harus dibuat, karena perubahan tak akan menunggu seseorang untuk mendatanginya.
Sheikh Rashid meyakini bahwa tak ada yang tak mungkin untuk dilakukan selama manusia memiliki keyakinan dan kegigihan. Semakin besar visinya, maka akan semakin besar pula yang akan dicapai. Dan, saat ini Dubai sedang membuat gunung buatan untuk menciptakan kota hujan! Akankah berhasil?
Tentang Al-Shindagha Museum
Harga tiket masuk Al Shindagha Museum adalah 50 AED. Ada harga spesial bagi pelajar atau pengunjung yang datang berkelompok.
Sebaiknya melakukan reservasi sebelum datang ke lokasi.
Museum ini juga bisa dicapai menggunakan Metro. Pengunjung bisa turun di Al Ghubaiba Metro Station dan berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke museum.