Menteri Pigai Gagal Fokus, Komitmen HAM Pemerintah Makin Buram
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, diminta berhenti melontarkan wacana kontroversial dan kontraproduktif terhadap pemajuan HAM di Indonesia. Pasalnya, ada sederet kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menanti komitmen pemerintah untuk dituntaskan.
Hanya dengan mengupayakan penuntasan kasus-kasus itulah Pigai bisa membuktikan klaimnya sendiri bahwa dirinya paham betul ihwal HAM.
Polemik yang mengitari Menteri Pigai bermula dari permintaannya agar pemerintah pusat menambah kucuran dana ke Kementerian HAM menjadi Rp20 triliun. Dia menilai bahwa alokasi tahun ini yang sebesar Rp64 miliar untuk Kementerian HAM masih tergolong cekak untuk menjalankan program-program yang direncanakan.
Pigai mengaku bahwa anggaran jumbo itu dibutuhkan Kementerian HAM untuk mendirikan Universitas HAM bertaraf internasional. Dia mengklaim bahwa universitas spesialis HAM itu akan menjadi satu-satunya di dunia dan bakal melejitkan citra Indonesia di panggung HAM dunia.
Lewat cuitan di X, Pigai bercerita bahwa Universitas HAM bakal dipimpin oleh putra Indonesia berkelas dunia di bidang HAM. Dia juga menyatakan bahwa anggaran Rp20 triliun akan digunakan untuk membangun program kesadaran HAM di 78 ribu desa.
“Saya mau bangun Universitas HAM bertaraf International terpadu dengan Pusat Studi HAM (Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia dan Kawasan Amerika), Laboratorium HAM termasuk forensik, Rumah Sakit HAM dll,” tulis Pigai lewat cuitan X tertanggal 23 Oktober 2024.
Cuitan Pigai itu ditujukan untuk menanggapi gelombang protes atas permintaan tambahan anggaran sebesar Rp20 triliun untuk Kementerian HAM. Dia merespons cuitan bernada protes dari mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal, yang menyebut permintaannya “tidak masuk akal dan tidak mungkin dikabulkan” oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Pak Dino sebaiknya perlu belajar HAM dan pahami kontek pernyataan Sy bahwa ‘saya si maunya 20 T kalau negara sanggup’,” sambung cuitan Pigai.
Gelombang protes terhadap wacana Pigai membangun universitas HAM lantas datang bertalu-talu. Masyarakat sipil menilai bahwa sebagai Menteri HAM, Pigai gagal fokus dalam menjalankan agenda pemajuan HAM di Indonesia. Alih-alih menyelesaikan sengkarut kasus-kasus HAM yang mandek, Pigai malah berfokus pada hal-hal seremonial dan komersial.
Baca juga: Natalius Pigai: Saya Mau Bangun Universitas HAM Bertaraf Dunia
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang bahwa pendekatan Pigai dalam melihat pemajuan HAM di Indonesia sangat keliru. Pigai dinilai tidak akan mampu menyelesaikan kasus-kasus HAM berat masa lalu yang menjadi pekerjaan rumah peninggalan pemerintahan Joko Widodo bila berfokus pada pelembagaan HAM.
“Seolah-olah pelembagaan studi HAM lewat pembangunan universitas dianggap semua persoalan HAM itu dapat selesai,” kata pria yang akrab disapa Castro itu kepada reporter Tirto, Selasa (29/10/2024).
Seharusnya, Kementerian HAM berfokus menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu yang gagal dibereskan pemerintahan Jokowi. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa lahirnya Kementerian HAM memang betul-betul ditujukan untuk pemajuan HAM di Indonesia.
Pasalnya, kegagalan pemerintah membereskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi citra buruk Indonesia di mata dunia.
Castro menilai, pendirian universitas HAM bukanlah langkah konkret pemajuan HAM. Alih-alih, itu jelas hanyalah sebuah gimik yang sia-sia belaka. Bagi para korban kasus HAM berat masa lalu, keseriusan pemerintah mewujudkan komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM justru lebih penting.
“Komitmen penyelesaian dan pengungkapan itu yang kita tagih pada pemerintah, bukan membangun universitas,” ucap Castro.
Pemerintahan Jokowi pada 2023 lalu sebenarnya sudah mengakui dan menyesali 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus HAM berat yang diakui pemerintah itu meliputi Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Namun, pengakuan tersebut dipandang tidak sepenuhnya memberikan rasa keadilan bagi korban. Pasalnya, pemerintah lebih mengedepankan penyelesaian nonyudisial yang sarat membawa masalah baru bagi kelompok keluarga korban.
Selain itu, dalang dari kasus-kasus tersebut juga belum diseret ke meja hijau untuk dimintai pertanggungjawaban.
Pengajar hukum dari STH Indonesia Jentera, Asfinawati, juga melontarkan komentar senada dengan Castro, bahwa Pigai tidak perlu membangun kampus khusus bidang HAM. Pasalnya, HAM seharusnya menjadi pola pikir universal yang dijalankan sebagaimana mandat Undang-Undang HAM, tanpa mesti dilokalisasi sebagai lembaga pendidikan formal.
“Yang diperlukan justru setiap kampus perlu diwajibkan mengajarkan HAM,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto, Selasa.
Menurut Asfinawati, Kementerian HAM seharusnya mendorong Kejaksaan Agung untuk selaras dengan Komnas HAM dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini agar pengadilan HAM bisa dilangsungkan dan dapat mengungkap dalang serta aktor negara yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Asfinawati menilai bahwa DPR seharusnya berperan proaktif menjadi penyeimbang kekuasaan di saat pemerintah melayangkan gagasan-gagasan yang ngawur. Sayangnya, harapan kepada wakil rakyat di Senayan juga tampaknya semakin berat dilakukan.
DPR RI sudah buka suara merespons polemik yang bergulir dari Menteri Pigai. Ketua Komisi Bidang HAM DPR, Willy Aditya, menyatakan berencana menggelar rapat kerja (raker) bersama Pigai untuk membahas permintaan anggaran tambahan tersebut.
Menurut Willy, permintaan tambahan anggaran dari Kementerian HAM itu perlu terlebih dahulu dikaji secara mendalam. Alasannya, HAM merupakan hak mendasar yang harus dipahami dalam kehidupan bernegara.
Kendati demikian, Willy melemparkan sinyal positif pada program pemerintahan Prabowo yang diklaimnya sejalan dengan pemajuan HAM. Menurut dia, urusan HAM punya spektrum yang luas. Oleh karena itu, Willy menilai bahwa pendirian Kementerian HAM secara khusus merupakan bukti dari political will progresif dari pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Ya kalau dari perspektif HAM, semua HAM ya. [Program] Makan bergizi juga HAM, pendidikan 20 persen juga HAM, kesehatan juga HAM. HAM kan menjadi fundamental right,” kata Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (28/10/2024).
Baca juga: DPR Akan Gelar Raker dengan Pigai, Bahas Anggaran HAM Rp20 T
Gagal Fokus Urusan HAM Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, sudah memprediksi bahwa DPR justru akan mengamplifikasi wacana yang dilayangkan pemerintah. Hal ini, menurut Dimas, tidak lepas dari konteks koalisi besar di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran dan konstelasi politik fraksi parpol di parlemen yang menghadirkan kehampaan oposisi.
“DPR bukan mitra kritis eksekutif dalam hal check and balances, tapi justru mengafirmasi tindakan-tindakan yang menyimpang dari eksekutif, termasuk ide Natalius Pigai sebagai Menteri HAM soal program hak asasi manusia,” kata Dimas kepada reporter Tirto, Selasa.
Dimas menilai bahwa cara berpikir Menteri Pigai amat delusional sebagai seorang pejabat publik. Menurutnya, Pigai seharusnya memperkuat instrumen pendidikan HAM yang sudah ter-install di beberapa kampus ketimbang mendirikan universitas baru.
Menurut Dimas, sudah banyak kampus yang mengajarkan materi HAM sebagai mata kuliah. Maka daripada membuang anggaran besar untuk menciptakan kampus baru, pemerintah lebih baik memaksimalkan pengajaran HAM yang sudah ada di kampus saat ini.
Terlebih, dana besar untuk mendirikan kampus HAM ala Pigai berpotensi menciptakan korupsi serta nepotisme dan penyalahgunaan anggaran negara. Rencana tersebut juga bertentangan dengan keinginan Presiden Prabowo yang tidak mau ada kebocoran anggaran negara yang dilakukan oleh anak buahnya.
“Ini interpretasi yang salah soal HAM. Lebih baik pemerintah fokus memperkuat instrumen-instrumen pendidikan HAM yang ada,” ucap Dimas.
Di sisi lain, wacana Pigai membuat kampus HAM dinilai justru sarat kehendak bisnis. Kampus HAM bertaraf internasional justru membuat komitmen HAM pemerintah jadi sebatas barang dagangan atau komodifikasi. Dimas menilai, wacana itu merupakan sesat pikir dari figur yang kerap mengaku paling memahami HAM.
Terlebih, kata dia, Kementerian HAM hingga saat ini belum memiliki daftar tugas pokok dan fungsi dengan payung hukum yang jelas. Sebagai sebuah kementerian anyar pecahan dari Kemenkumham, tugas dari Kementerian HAM masih belum jelas, apakah memiliki misi baru dalam bidang HAM atau sekadar meneruskan kerja-kerja Dirjen HAM.
“Dari pidato Menteri HAM, seolah malah mengomodifikasi HAM di ruang yang seharusnya tidak perlu dipaksakan,” ucap Dimas.
Saat dikonfirmasi Tirto, Natalius Pigai bersikukuh ingin menambah anggaran Rp20 triliun demi mewujudkan wacananya membangun universitas HAM bertaraf internasional yang dilengkapi laboratorium HAM dan rumah sakit.
Langkah itu, kata dia, merupakan upaya agar Indonesia punya ikon HAM, yang bahkan menjadi satu-satunya di dunia.
“Termasuk forensik, rumah sakit HAM, dan lain-lain,” kata Pigai saat dikonfirmasi Tirto, Jumat (25/10/2024).
Sementara itu, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosari, memandang bahwa Kementerian HAM semestinya berfokus pada prinsip-prinsip pembangunan HAM sebagai bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi warga negara.
Misalnya, Kementerian HAM mulai aktif menangani penyempitan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat sipil.
Pembangunan HAM juga dilakukan melalui penguatan kapasitas dan pemahaman aparat keamanan serta aparatur negara dalam menangani masyarakat sipil. Dalam kerangka tersebut, kata Ikhsan, sebagai orang yang juga pernah di Komnas HAM, Pigai semestinya paham bahwa urgensi isu-isu pembangunan HAM di Indonesia tidak dapat dijawab dengan pembangunan Universitas HAM.
“Persoalannya bukan hanya salah fokus, tetapi pendekatan dalam pembangunan HAM yang tidak berbasis pada memastikan pengarusutamaan prinsip-prinsip dalam HAM,” kata Ikhsan kepada reporter Tirto, Selasa.
Kondisi ini, menurut Ikhsan, dapat memicu pertanyaan penting terhadap komitmen pembangunan HAM yang dibawa oleh Kementerian HAM. Sebab, sejak awal publik sudah menduga bahwa isu HAM, terutama berkaitan dengan persoalan HAM berat masa lalu, bakal menghadapi jalan berliku di pemerintahan Prabowo.
Baca juga: Jalan Berliku Komitmen HAM Pemerintahan Prabowo
“Dapat diduga fokus pembangunan HAM tidak diarahkan pada pengarusutamaan prinsip HAM serta penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM warga negara. Tetapi justru hanya dilakukan dalam kerangka HAM sebagai ilmu pengetahuan semata,” ungkap Ikhsan.