Sejarah Suku Baduy Jadi Perdebatan Seru Rano Karno Vs Dharma Pongrekun di Debat Pilkada Jakarta 2024
TRIBUNJAKARTA.COM – Simak sejarah Suku Baduy yang menjadi perdebatan seru antara calon Gubernur Jakarta nomor urut 2, Dharma Pongrekun dengan calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 3 Rano Karno.
Perdebatan itu terjadi dalam debat kedua Pilkada Jakarta 2024 di Beach City International Stadium (BCIS), Pademangan, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (27/10/2024).
Dharma Pongrekum mempertanyakan kebijakan kunjungan wisatawan ke Baduy kepada Rano Karno semasa menjabat sebagai Gubernur Banten.
Pasalnya, Dharma Pongrekun mengungkapkan Suku Baduy sebenarnya menolak wilayahnya dijadikan destinasi wisata.
“Penduduk Baduy menolak untuk tempatnya dijadikan destinasi pariwisata. Kalau saya melihat bahwa Bapak selama ini adalah orang yang menjaga ketahanan budaya, maka ada sesuatu yang contrary effect, dengan yang Bapak lakukan,” ujar Dharma.
Rano Karno membantah pernyataan Dharma Pongrekun. Politikus PDI Perjuangan itu mengungkapkan masyarakat Baduy telah membuka diri.
Ia mencontohkan Suku Baduy melakukan kunjungan ke pemerintahan yang disebut Seba.
“Seba itu kunjungan masyarakat Baduy ke pemerintah daerah. Kalau saya menolak, enggak mungkin mereka berkunjung,” kata Rano kepada Dharma.
Namun, hal itu juga dibatasi dengan syarat yang ditentukan oleh masyarakat Baduy itu sendiri, salah satunya tidak ada handphone atau ponsel.
“Tidak boleh ada BTS, supaya HP tidak masuk ke kampung mereka, tapi anak baduy luar punya HP. Mereka tidak ingin punya sekolah tapi mereka berpendidikan, mereka punya sekolah sendiri,” kata Rano Karno.
Lalu bagaimana sejarah Suku Baduy?
Dikutip dari Tribunnews.com, Suku Baduy merupakan kelompok etnis yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Suku ini dibagi menjadi dua yaitu Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Suku Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan dengan baik. Sementara Suku Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar antara lain penggunaan barang elektronik dan sabun serta menerima tamu dari luar negeri dan memperbolehkan mereka menginap.
Perbedaan lain terlihat dari cara berpakaian mereka.
Dalam keseharian, Suku Baduy Dalam menggunakan baju berwarna putih yang melambangkan kesuician dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar.
Sedangkan Suku Baduy Luar mengenakan pakaian serba hitam.
Suku Baduy Dalam mendiami tiga kampung yaitu Kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo yang dipimpin oleh seorang tetua adat yang disebut Pu’un.
Pu’un dibantu oleh Jaro sebagai wakilnya dan bertugas menentukan masa tanam dan masa panen, juga menerapkan hukum adat serta mengobati penduduk yang sakit.
Sementara Suku Baduy Luar tinggal di 50 kampung yang berada di kawasan Pegunungan Kendeng.
Penyebutan Baduy berasal dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan antara masyarakat di Kanekes dengan masyarakat Badowi di Arab.
Versi lain menyebutkan, nama Baduy diambil dari nama sungai yang terletak di bagian utara Desa Kanekes yaitu Sungai Cibaduy.
Masyarakat Suku Baduy bermata pencaharian sebagai petani atau penggarap ladang.
Alam yang subur mempermudah suku ini dalam menghasilkan berbagai komiditas pangan.
Dalam praktik berladang dan bertani, Suku Badut juga tidak menggunakan sapi atau kerbau untuk mengolah lahan.
Suku Badut juga melarang keras anjing masuk ke kawasan tempat tinggal mereka dengan alasan menjaga kelestarian alam. Masyarakat Suku Baduy juga gemar memelihara ayam.
Namun, mereka hanya akan menyembelih ayam pada hari-hari tertentu saja misalnya saat upacara adat ataupun hari pernikahan.
Rumah Suku Baduy terbuat dari kayu dan bambu serta dibangun dengan batu kali sebagai pondasi.
Rumah Suku Baduy terdiri dari tiga ruangan dengan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Bagian depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah diperuntukkan untuk ruang keluarga dan tidur.
Sedangkan bagian belakang digunakan untuk tempat menyimpan hasil panen. Semua ruangan dilapisi dengan alas yang dibuat dari anyaman bambu.
Untuk bagian atap menggunakan serat ijuk atau daun kelapa.
Rumah Suku Baduy dibuat saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan.
Berbeda dengan masyarakat modern, kekayaan Suku Baduy Dalam tidak dilihat dari bentuk dan ukuran rumah.
Seluruh masyarakat Suku Baduy Dalam memiliki rumah dengan bentuk dan ukuran yang sama. Kekayaan mereka dilihat dari kepemilikan benda seperti tembikar.
Semakin banyak jumlah tembikar yang dimiliki, maka semakin tinggi derajat orang tersebut.
Tidak hanya peralatan elektronik, Suku Baduy juga tidak menggunakan perabotan rumah tangga seperti piring atau gelas yang terbuat dari logam atau kaca.
Mereka lebih memilih memanfaatkan bahan dari alam. Misalnya, untuk gelas mereka memakai potongan bambu.
Setiap perempuan Suku Baduy diwajibkan bisa menenun.
Kain tenun yang bertekstur lembut digunakan untuk bahan membuat pakaian sedangkan yang kasar untuk ikat kepala atau ikat pinggang.
Selain digunakan sendiri, kain tenun karya Suku Baduy juga diperjualbelikan sebagai oleh-oleh untuk para wisatawan yang berkunjung.
Selain kain, Suku Baduy juga membuat tas dari kulit pohon terep yang bernama koja atau jarog.
Tas ini digunakan untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan saat beraktivitas atau dalam perjalanan.
Masyarakat Suku Baduy juga masih menjunjung teguh budaya perjodohan. Seorang gadis berusia 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang juga berasal dari suku tersebut.
Selama perjodohan, orangtua laki-laki bebas memilih wanita yang akan dijadikan menantunya.
Orang Baduy juga dikenal sangat gemar berjalan kaki. Mereka akan berjalan kaki kemanapun meski jarak yang ditempuh cukup jauh.
Debat Seru
Sedangkan dalam perdebatan Dharma Pongrekun dengan Rano Karno, pasangan Pramono Anung menyebutkan pihaknya memberikan fasilitas membantu warga Baduy. Ia mencontohkan tradisi Seba Baduy masuk dalam acara pariwisata.
Saat menjadi Gubernur Banten, wisatawan yang mengunjungi wilayah Baduy mencapai 6 ribu orang.
“Akhirnya apa? dengan ini masyarakat Baduy dikenal lebih luas itulah memang membuat mereka ketakutan karena kunjungan wisata membludak,” katanya.
Pernyataan Rano Karno mendapatkan reaksi dari Dharma Pongrekun. Ia mengungkapkan Suku Baduy Dalam tidak ingin nilai luhurnya tergerus acara wisata.
Dharma berjanji bila terpilih memimpin Jakarta maka akan
menjadikan Taman Mini sebagai miniatur Indonesia untuk menjaga kelestarian budaya Suku Baduy.
Rano lalu menyinggung pembangunan Museum Multatuli di Lebak serta berbagai upata meningkatkan kesejahteraan Suku Baduy.
Ia menuturkan masyarakat masih melihat Suku Baduy berjalan kaki ke Jakarta untuk berjualan hasil tenun dan madu. Rano mengaku telah memfasilitasi membuat koperasi agar kesejahteraan masyarakat Baduy meningkat. (TribunJakarta/Tribunnews/Kompas.com)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya