Sejarah Museum Sumpah Pemuda, Berawal dari Rumah Tinggal Sie Kong Lian
TEMPO.CO, Jakarta – Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober adalah salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Momen penting itu kini dapat disaksikan melalui Museum Sumpah Pemuda.
Melansir laman resmi Kemdikbud, museum ini awalnya merupakan tempat tinggal milik Sie Kong Liang. Gedung ini beberapa kali mengalami perubahan fungsi.
Pada 15 Agustus 1928, gedung sumpah pemuda ini menjadi tempat diselenggarakannya Kongres Pemuda 2 pada Oktober 1928.
Berikut ini sejarah peruntukan dan fungsi Museum Sumpah Pemuda dari tahun 1908 hingga saat ini:
COMMENSALEN HUIS, 1908
Museum Sumpah Pemuda pada awalnya merupakan rumah tinggal milik Sie Kong Lian. Gedung didirikan pada permulaan abad ke-20.
Sejak 1908 Gedung Kramat disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu dikenal dengan nama Commensalen Huis.
Mahasiswa yang pernah tinggal adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
INDONESISCHE CLUBHUIS/ CLUBGEBOUW, 1927
Sejak 1927 Gedung Kramat 106 digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuni Gedung Kramat 106.
Di gedung ini pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, PPPI. Gedung ini juga menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI.
Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak 1927 Gedung Kramat 106 yang semula bernama Langen Siswo diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
GEDUNG SUMPAH PEMUDA, 1928
Pada 15 Agustus 1928, di gedung ini diputuskan akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928. Soegondo Djojopuspito, ketua PPPI, terpilih sebagai ketua kongres.
Kalau pada Kongres Pemuda Pertama telah berhasil diselesaikan perbedaan-perbedaan sempit berdasarkan kedaerahan dan tercipta persatuan bangsa Indonesia, Kongres Pemuda Kedua diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih maju. Di gedung ini memang dihasilkan keputusan yang lebih maju, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
RUMAH TINGGAL, 1934-1937
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw karena sudah lulus belajar. Setelah para pelajar tidak melanjutkan sewanya pada 1934, gedung kemudian disewakan kepada Pang Tjem Jam selama tahun 1934-1937. Pang Tjem Jam menggunakan gedung itu sebagai rumah tinggal.
TOKO BUNGA, 1937-1948
Kemudian pada tahun 1937-1951 gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga (1937-1948).
HOTEL HERSIA, 1948-1951
Dari tahun 1948-1951 gedung berubah fungsi menjadi Hotel Hersia.
KANTOR INSPEKTORAT BEA & CUKAI, 1951-1970
Pada tahun 1951-1970, Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan penampungan karyawannya.
MUSEUM SUMPAH PEMUDA, 1973-Sekarang
Pada 3 April 1973, Gedung Kramat 106 dipugar Pemda DKI Jakarta. Pemugaran selesai 20 Mei 1973. Gedung Kramat 106 kemudian dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda.
Gedung Kramat Raya 106 dijadikan museum karena memiliki sederet perjalanan sejarah dan menjadi saksi dari proses panjang pembentukan semangat perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia. Di tempat dilaksanaannya Kongres Pemuda Kedua ini, sendi-sendi dasar persatuan Indonesia didiskusikan, dirumuskan, untuk kemudian diikrarkan.
Pilihan Editor: Ragam Reaksi terhadap Keinginan Indonesia Bergabung dengan BRICS