Utang Sritex Tembus Rp 1,11 Triliun, Ini Sikap BCA
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Hal tersebut termaktub dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Sritex dinyatakan pailit, imbas utang jumbo yang menumpuk sebesar 1,6 miliar Dolar AS atau sebesar Rp25,01 triliun. Adapun utang bank menjadi penyebab utama tingginya liabilitas jangka panjang Sritex. Total utang mencapai 809,99 juta dolar AS atau setara dengan sekitar Rp12,66 triliun.
Tercatat, ada 28 bank yang memiliki tagihan kredit jangka panjang terhadap Sritex, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menjadi kreditor terbesar. Utang jangka panjang Sritex kepada BCA mencapai 71,30 juta dolar AS yang setara dengan Rp1,11 triliun.
Menanggapi hal ini, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menegaskan BCA menghormati proses dan putusan hukum dari Pengadilan Niaga. BCA juga menghargai langkah hukum kasasi yang sedang diajukan oleh debitur yang bersangkutan.
Ia juga menambahkan, BCA terbuka untuk berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk pihak kurator yang ditunjuk oleh pengadilan. “Kami berkomitmen untuk mencapai solusi dan/atau penyelesaian terbaik bagi debitur dan seluruh kreditur yang ada,” jelasnya dalam keterangan tertulis kepada Republika, Ahad (27/10/2024).
Hera juga menjelaskan perihal kinerja keuangan BCA. Rasio loan at risk (LAR) mencapai 6,1 persen pada sembilan bulan pertama tahun 2024. Capaian tersebut membaik dari posisi setahun lalu yang berada di angka 7,9 persen.
Sementara rasio kredit bermasalah (NPL) tetap terjaga di tingkat 2,1 persen, dengan pencadangan LAR dan NPL yang memadai, masing-masing sebesar 73,5 persen dan 193,9 persen.
Bila mengingat masa lalu, Sritex yang berdiri sejak tahun 1966 itu sukses mengekspor produknya ke berbagai negara, termasuk membuat pakaian militer di sejumlah negara. Sritex pernah berkibar saat menangani pembuatan seragam tentara di berbagai belahan dunia.
Sepeninggal HM Lukminto pada 2014, perusahaan tersebut dilanjutkan dua anaknya, yakni Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto, yang merupakan generasi kedua dalam keluarga tersebut. Di bawah kepemimpinan kakak beradik ini, Sritex masih solid dan mampu menjaga nama besarnya di pasar global.
Bahkan, pandemi Covid-19 lalu tidak terlalu mengganggu operasional pabrik. Terbukti, PT Sritex mampu mendistribusikan sebanyak 45 juta masker hanya dalam waktu tiga pekan. Selain itu, Sritex juga masih mengekspor produknya ke Filipina meski situasi masih pandemi.
Beberapa lini produksi ada di perusahaan tersebut, mulai dari pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan pembuatan busana. Dengan pengelompokan usaha ini, proses produksi makin cepat dan efisien.
Namun, meski produksi dan penjualan masih berjalan, Sritex ternyata memiliki utang yang terus bertambah selama bertahun-tahun. Dari laporan keuangan terbaru, utang yang dimiliki Sritex sekitar Rp 25 triliun.
Di sisi lain, kerugian yang ditanggung perusahaan tersebut sampai dengan pertengahan tahun ini mencapai Rp 402,66 miliar. Utang dan kerugian ini diperparah dengan lambatnya penjualan akibat pandemi Covid-19 dan persaingan sengit produk tekstil dan produk tekstil (TPT) antarnegara.