Informasi Terpercaya Masa Kini

Kisah Orang Betawi Menggandrungi Naskah-Naskah Melayu Klasik

0 5

Berbeda dengan kebanyakan suku di Indonesia, mula etnik Betawi yang mendiami Jakarta sampai sekarang masih menjadi perdebatan banyak ahli. Etnik yang selama periode kemerdekaan Indonesia sebagai masyarakat asli ibu kota Jakarta ini minim sekali disebut dalam sumber-sumber historis dari periode pra kemerdekaan.

Lance Castles dalam Profil Etnik Jakarta (2014) berpegangan bahwa kemunculan etnik Betawi di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kolonial sejak zaman VOC sampai dengan masa Hindia Belanda. Hal ini lantaran kebijakan transmigrasi yang dilakukan oleh pihak kolonial terhadap berbagai macam etnik di Nusantara ke Jakarta untuk keperluan perekonomian mereka.

Orang Betawi baru benar-benar tercatat dalam register Belanda pada akhir abad ke-19, saat muncul istilah “omong Jakarta” yang mungkin sekali berkaitan dengan bahasa Melayu Betawi saat ini.

Ahli bahasa, H.N. van der Tuuk, dalam Kawi Balineesch-Nederlandsch Woordenboek (1897) percaya bahwa bahasa Bali tingkat rendah merupakan dasar dialek Jakarta. Tetapi C. Lekkerkerker dalam De Baliers van Batavia (1908) yakin bahwa dialek Jakarta adalah bahasa Melayu dengan beberapa bentuk serapan kata dari bahasa Bali, Jawa, Sunda, Arab, Tionghoa, dan Belanda.

Terlepas soal asal-usul orang Betawi, beberapa bukti filologis dari Jakarta rupanya telah lama menjadi bahan kajian para filolog. Naskah-naskah yang ditemukan di beberapa daerah di Jakarta ini ditulis dalam bahasa Melayu serta dianggap sebagai produk literasi asli anak Betawi.

Beberapa naskah itu mengandung cerita klasik Melayu yang penuh makna, sedangkan beberapa lainnya menyiratkan adat istiadat Betawi yang kiwari sulit dijumpai lagi.

Baca juga:

  • Sejarah HUT Jakarta & Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?
  • Siapakah Pribumi Asli Jakarta?

Naskah-Naskah “Betawi” Naskah klasik Melayu di Betawi pertama kali disinggung oleh P. Voorhoeve dalam tulisannya yang berjudul “A Malay Scriptorium” (1964). Dalam tulisannya, Voorhoeve menyebut keberadaan beberapa naskah Melayu yang dimiliki oleh orang-orang berpenutur bahasa Melayu yang terdiri dari berbagai golongan.

Golongan-golongan itu meliputi orang pribumi, peranakan Tionghoa, peranakan Arab, dan orang Indo (campuran Indonesia-Eropa). Beberapa di antara mereka merupakan pengarang dan ada juga yang hanya menjadi penyalin.

Di luar orang-orang yang memiliki naskah tersebut, naskah-naskah Melayu Klasik juga “diproduksi” oleh badan yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda, yakni Algemeene Secretarie yang didirikan pada 1819. Badan ini didirikan oleh Belanda untuk kepentingan kesekretariatan dan pencatatan dokumen, khususnya yang bersinggungan dengan urusan masyarakat pribumi.

Menurut Maria Indra Rukmini dalam tesisnya Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada abad XIX Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari Segi Kodikologi (1997), badan ini juga menjadi basis dalam penyalinan naskah-naskah Melayu. Pasalnya, kadang kala Pemerintah Kolonial juga perlu mengetahui adat istiadat kerajaan-kerajaan lokal (khususnya yang berbudaya Melayu) untuk menyusun dokumen perjanjian, surat-menyurat atau kontak-kontak tertulis lainnya.

Tugas ini juga termasuk penyusunan kamus-kamus bahasa asli Nusantara untuk digunakan pejabat kolonial dalam berkomunikasi dengan para elite lokal. Rukmini mencatat bahwa setidaknya Algemeene Secretarie telah mengumpulkan naskah-naskah Melayu sejak tahun 1821, terutama pasca jatuhnya Palembang ke tangan Hindia Belanda.

Selanjutnya, Algemeene Secretarie juga membeli beberapa naskah Melayu koleksi Kesultanan Banten pada 1830. Naskah-naskah yang terkumpul itu antara lain Tajussalatin, Hikayat Nabi Miraj, Hikayat Kumala Bahrin, Hikayat Kromong, Hikayat Iskandar Zulkarnain dan sebagainya. Beberapa salinan naskah hikayat yang disebut itu ada yang menjadi sangat populer di kalangan orang Jakarta.

Di luar lembaga Algemeene Secretarie, salah satu pengarang sekaligus penyalin naskah yang paling produktif ialah Sapirin bin Usman dari Pecenongan. Mamlahatun Buduroh pada disertasinya Hikayat Pandawa: Transmisi Cerita Mahabharata dalam Tradisi Penyalinan Naskah Melayu di Betawi pada Abad ke-19 (2018), menyebutkan bahwa Pecenongan merupakan daerah yang paling banyak memproduksi naskah di Jakarta.

Penulisan naskah awalnya dilakukan oleh Sapirin bin Usman yang di dalam tradisi lisan masyarakat Betawi di Pecenongan disebut sebagai Guru Cit. Buduroh mengatakan bahwa Guru Cit memproduksi naskah sekitar tahun 1858 hingga tahun 1885.

Ilmu penyalinan naskah yang ia miliki kemudian diturunkan pada anaknya, Ahmad Beramka, dan keponakannya, Muhammad Bakir. Guru Cit dalam karier kepenulisannya berani membuat teks baru yang ceritanya ia sadur langsung dari epos Mahabharata, yaitu Hikayat Pandawa.

Dalam teks yang menceritakan mulai dari sayembara Pangeran Dewabrata (Bisma) dari Astinapura sampai dengan perpisahan antara Gatotkaca dan Antareja ini, diakui oleh Guru Cit ia sadur dari naskah berbahasa Jawa. Namun, di dalamnya banyak nilai-nilai budaya Betawi yang ia masukkan dari segi kebahasaan dan alur penceritaan.

Dari unsur kebahasaan, misalnya, penggunaan kata belon, meminping atau pegimana. Dari segi nilai adat istiadat yang terkandung pada naskah, misalnya terlihat dari penggambaran punakawan yang berguyon seperti dalam lenong dan penempatan makam Pandu yang tidak berjauhan dari istana.

Aspek kedua yang disebut sebelumnya hingga sekarang masih berlangsung di kalangan orang Betawi—walau sangat jarang, mereka mengubur kerabat yang telah wafat di pekarangan rumah atau di area yang tidak begitu jauh dari rumah.

Baca juga:

  • 13 Hari Pembantaian Orang Cina di Jakarta
  • Akhir Riwayat Batavia di Utara Jakarta

Penyewaan Naskah Fenomena yang cukup menarik di era gencarnya penyalinan naskah Melayu di Betawi adalah kegiatan penyewaan naskah. Aktivitas ini dapat dilacak dari keterangan beberapa naskah Melayu-Betawi, misalnya seperti pada Hikayat Maharaja Garebeg Jagat sebagai berikut: “dikasi tau wang sewanya sehari semalam sepulu sen sebab saya miskin ada mempunyai anak dan istri, tiada mempunyai pekerjaan lain melainkan mengharapkan belas kasihan yang sewa hikayat.

Walau digaji hanya dengan upah yang terbilang sedikit, profesi penyalin sekaligus penyewa naskah rupanya memang demikian dianggap sebagai pekerjaan yang lumrah. Bahkan, beberapa penyalin naskah Betawi justru berlomba-lomba membuat naskah yang indah, baik dari segi alur penceritaan, kualitas naskah, dan ilustrasi visual yang dimunculkan.

Muhammad Bakir yang disebut di atas misalnya menurut Mu’jizah pada “Naskah Betawi: Skriptorium dan Dekorasi Naskah” (2018), berusaha membuat ilustrasi sekreatif mungkin demi meraup pelanggan lebih banyak. Hal ini paling terlihat dari tanda tangannya dalam aksara Arab Jawi yang berbentuk seperti gitar.

Dalam naskahnya yang berjudul Syair Buah-buahan, setiap buah yang ia singgung dalam naskah akan ia gambar secantik mungkin dengan warna-warna yang terang. Karya seni lain dari Muhammad Bakir juga muncul di Syair Ken Tambuhan, ia menggambarkan burung kakaktua yang dibuat dalam bentuk kaligrafi Arab Jawi.

Di luar aspek-aspek yang disebutkan tersebut, keberadaan penyewaan naskah menggambarkan bahwa orang Betawi pada abad ke-19 dan 20 merupakan orang-orang yang kaya akan literasi. Keberadaan penyewaan naskah membuktikan kebiasaan gemar membaca di kalangan orang Betawi, sehingga rela menyewa naskah demi ilmu pengetahuan.

Leave a comment