Pulau Buru Dalam Ingatan Pram: Penjara Untuk Mereka yang Dianggap Pengkhianat Negara
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-online.com – Pulau Buru, sebidang tanah di Maluku yang dipagari lautan biru, menyimpan kisah pilu yang terukir dalam tinta sejarah Indonesia.
Di balik keindahan alamnya yang menawan, tersembunyi luka mendalam masa lalu, ketika pulau ini menjadi saksi bisu pembuangan ribuan jiwa yang dicap sebagai “pengkhianat negara”.
Pada dekade 1960-an, Indonesia dilanda badai politik yang dahsyat. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi titik balik yang menorehkan luka mendalam bagi bangsa ini.
Ribuan orang yang dituduh terlibat atau berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap, dipenjara, bahkan dihilangkan tanpa jejak.
Di tengah kekacauan politik tersebut, Pulau Buru dipilih sebagai tempat pengasingan bagi para tahanan politik. Mereka yang dianggap “berbahaya” bagi rezim Orde Baru diasingkan ke pulau terpencil ini, jauh dari keluarga, sahabat, dan kehidupan yang mereka kenal.
Perjalanan Menuju Pengasingan
Perjalanan menuju Pulau Buru adalah sebuah tragedi tersendiri. Para tahanan politik diangkut dengan kapal laut dari berbagai penjuru Nusantara.
Kondisi kapal yang penuh sesak, minimnya makanan dan air bersih, serta perlakuan kasar dari aparat membuat perjalanan ini menjadi mimpi buruk yang tak terlupakan.
Salah satu saksi bisu perjalanan ini adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang juga menjadi tahanan politik di Pulau Buru.
Dalam tetralogi Pulau Buru-nya, Pram menggambarkan dengan detail penderitaan yang dialami para tahanan selama perjalanan menuju pulau pengasingan.
“…kapal itu bagaikan peti mati raksasa yang mengapung di lautan. Bau anyir keringat, muntahan, dan kotoran manusia bercampur menjadi satu, menyesakkan dada. Kami seperti binatang ternak yang diangkut ke tempat pembantaian…” (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer)
Kehidupan di Pulau Buru
Setibanya di Pulau Buru, para tahanan politik ditempatkan di barak-barak yang sederhana dan penuh sesak. Mereka dipaksa bekerja keras di ladang-ladang, membangun infrastruktur, dan membuka hutan belantara.
Kondisi hidup di Pulau Buru sangatlah keras. Makanan yang minim, penyakit yang merajalela, dan perlakuan kasar dari aparat menjadi makanan sehari-hari para tahanan.
Namun, di tengah segala keterbatasan dan penderitaan, mereka tetap berusaha untuk bertahan hidup dan menjaga semangat juang.
Pram, dalam bukunya “Arus Balik”, menggambarkan kehidupan di Pulau Buru sebagai “neraka dunia”.
“…Pulau Buru adalah tempat di mana manusia dilucuti dari segala martabatnya. Kami dipaksa bekerja seperti budak, dihina, disiksa, dan dibunuh tanpa ampun. Namun, di tengah kegelapan itu, kami tetap berusaha untuk menjaga api harapan tetap menyala…”
Karya Sastra Lahir dari Penderitaan
Di tengah segala kesulitan dan penderitaan, para tahanan politik di Pulau Buru tetap berusaha untuk berkarya. Mereka menulis puisi, cerita pendek, novel, dan drama, sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang menindas mereka.
Pram sendiri berhasil menyelesaikan tetralogi Pulau Buru-nya selama masa pengasingan. Karya sastra ini menjadi bukti nyata bahwa semangat kreativitas tidak dapat dipadamkan, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.
Selain Pram, banyak tahanan politik lain yang juga menghasilkan karya sastra yang luar biasa selama di Pulau Buru. Karya-karya ini menjadi warisan berharga bagi bangsa Indonesia, sebagai pengingat akan perjuangan dan penderitaan para korban Orde Baru.
Pulau Buru: Luka yang Menganga
Pulau Buru adalah luka yang menganga dalam sejarah Indonesia. Kisah pilu para tahanan politik di pulau ini menjadi pengingat akan kekejaman rezim Orde Baru dan pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Meskipun masa kelam itu telah berlalu, namun kenangan akan Pulau Buru tetap hidup dalam ingatan para korban dan keluarganya. Mereka menuntut pengakuan dan keadilan atas penderitaan yang telah mereka alami.
Pulau Buru, dengan segala keindahan alamnya, menyimpan kisah pilu yang tak boleh dilupakan. Kisah ini harus menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang, agar tragedi kemanusiaan seperti ini tidak terulang kembali.
Sumber:
Pramoedya Ananta Toer. (1980). Bumi Manusia. Hasta Mitra.
Pramoedya Ananta Toer. (1981). Anak Semua Bangsa. Hasta Mitra.
Pramoedya Ananta Toer. (1982). Jejak Langkah. Hasta Mitra.
Pramoedya Ananta Toer. (1985). Rumah Kaca. Hasta Mitra.
Pramoedya Ananta Toer. (1995). Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Lentera Dipantara.
Pramoedya Ananta Toer. (1998). Arus Balik. Lentera Dipantara.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—