The Guardian: Ini Cara Mencapai Perdamaian di Timur Tengah
KOMPAS.com – Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menjadi tonggak sejarah yang suram bagi warga Gaza Palestina maupun Israel.
Pasalnya, serangan Hamas itu memicu perang di Gaza hingga meluas ke Lebanon dan Yaman. Korban nyawa mencapai puluhan ribu orang.
Peringatan ini juga merupakan kesempatan untuk mengkaji tanggapan terhadap pembantaian pemerintah dan rakyat Israel, serta terhadap teman dan musuh Israel.
Baca juga: Ada Indikasi Hamas Bangun Pasukan, Israel Kepung Jabaliya Gaza Utara
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dituduh memimpin kegagalan keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan badan intelijen juga menghadapi kritik keras.
Netanyahu, yang didesak oleh mitra koalisi sayap kanannya dan takut akan jabatannya, memutuskan hanya darah yang dapat membayar darah.
Karenanya, dia bersumpah secara tidak realistis untuk menghancurkan Hamas. Dari keputusan itu, ternyata lebih banyak pembantaian terjadi di Gaza.
Dikutip dari editorial The Guardian pada Minggu (6/10/2024), invasi militer Israel di Gaza telah menewaskan hampir 42.000 warga Palestina, sebagian besar warga sipil, termasuk sedikitnya 16.000 anak-anak.
Hampir seluruh penduduk wilayah itu mengungsi. Kebutuhan dasar makanan, air bersih, tempat tinggal, obat-obatan sangat terbatas. Generasi muda mereka yang selamat mengalami trauma atau cacat.
Netanyahu dan IDF dituduh melakukan kejahatan perang dan Israel melakukan genosida.
Namun, meskipun Hamas telah menderita kekalahan telak, Hamas belum hancur. Tujuan dasar Netanyahu masih belum terpenuhi. Masih belum ada gencatan senjata.
Baca juga: Jelang Setahun Peringatan Perang, 30 Lebih Serangan Israel Guncang Lebanon
Bahkan Israel juga melancarkan serangannya terhadap kelompok Hizbullah di Lebanon. Setelah Hizbullah ikut meluncurkan roket ke arah Irael utara hingga menyebabkan warga Israel utara mengungsi.
Pasukan Israel menyerang Hizbullah agar warganya yang mengungsi itu dapat kembali ke rumahnya lagi.
Setelah sangat dirugikan dan dapat perhatian dunia, Israel terus-menerus menempatkan dirinya dalam kesalahan. Pemerintahnya menghadapi kecaman global yang keras, seperti yang terlihat di sidang umum PBB bulan lalu.
Para sahabat di Inggris dan Eropa terkejut dan terasing. Hubungan dengan AS, sekutu utama dan pemasok senjata Israel, berada pada titik terendah dalam sejarah.
Perekonomiannya sangat terpuruk. Antisemitisme meningkat di tingkat internasional.
Setahun kemudian, Israel menjadi kurang aman, rakyatnya kurang aman, negara itu menelan korban dan sekarang perang yang berpotensi membawa bencana dengan Iran sudah di depan mata.
Meski demikian, tak seorang dapat membantah bahwa konflik Arab-Israel (yang dieksploitasi oleh Iran non-Arab untuk tujuannya sendiri) merupakan hal yang baru.
Konflik ini bermula sejak kemerdekaan Israel pada 1948, dan akarnya sudah ada sejak jauh sebelum itu.
Terlebih yang relatif baru adalah penolakan pemerintah sayap kanan yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, perdana menteri selama 14 dari 15 tahun terakhir untuk menerima atau bahkan membahas solusi.
Baca juga: Harta Karun Arkeologi dari Jalur Gaza Dipamerkan di Swiss
Yakni apa yang diyakini PBB, AS, Inggris, dan sebagian besar negara sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik di Timur Tengah, yaitu solusi dua negara yang menciptakan negara Palestina yang merdeka.
Namun ketika berbicara di PBB bulan lalu, Netanyahu secara agresif menyuarakan keluhan Israel tetapi gagal membahas masalah Palestina.