Informasi Terpercaya Masa Kini

5 Motif Batik Larangan Keraton yang Memiliki Filosofi Mendalam

0 2

Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Karena motifnya yang beragam dan cantik, batik sering dijadikan sebagai pilihan ketika berbusana formal, termasuk oleh kalangan bangsawan di Keraton Yogyakarta.

Namun, kalangan Keraton mengenal istilah motif batik larangan atau Awisan Dalem. Setiap Sultan di Keraton memiliki wewenang dan hak khusus untuk menetapkan motif batik larangan tersebut.

Setelah ditelisik, alasan pelarangan ini berkaitan erat dengan aturan-aturan yang memiliki filosofi mendalam, sehingga tidak semua orang bisa memakainya. Hanya kalangan Keraton lah yang bisa mengenakan motif batik eksklusif tersebut.

Lantas, apa saja motif batik larangan Keraton atau Awisan Dalem yang dimaksud? Simak selengkapnya dalam artikel ini, Ladies!

Motif Batik Larangan Keraton

Merujuk pada jurnal bertajuk Batik Larangan di Keraton Yogyakarta pada Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII susunan Anna Galu Indreswari, berikut beberapa motif batik larangan Keraton yang memiliki nilai falsafah tinggi.

1. Motif Huk

Motif huk tergolong sebagai motif non geometris yang terdiri dari kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, dan sawat. Setiap motif tersebut memiliki makna tertentu yang meliputi:

  • Kerang: Melambangkan dunia air yang bermakna lapang hati.

  • Cakra: Senjata Dewa Wisnu yang menjadi simbol pemelihara dunia.

  • Binatang: Menggambarkan watak aman sentosa.

  • Tumbuhan: Lambang kemakmuran.

  • Sawat: Ketabahan hati.

2. Kawung

Adi Kusrianto dalam buku Motif Batik Klasik Legendaris dan Turunannya menyebut bahwa motif kawung diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo yang menjabat Sultan Mataram tahun 1613-1645. Ornamen motif ini diilhami oleh bentuk buah aren yang lazim disebut kolang-kaling.

Filosofi yang dimuat pada motif kawung merupakan perwujudan dari konsep mandala dalam agama Buddha, sebuah konsep yang menganggap dewa-dewi sebagai representasi iman.

3. Semen Gede Sawat Gruda

Semen gede sawat gruda tersusun dari meru, binatang, tumbuhan, burung dan gruda yang masing-masing memiliki makna berbeda. Setiap kata mengandung arti tersendiri, yakni semen yang berarti semi atau tumbuh, gede berarti besar, sawat berarti sayap, dan gruda yang berarti garuda.

Makna simbolik pada motif semen gede sawat gruda juga dapat dijelaskan lewat unsur-unsur yang meliputi:

  • Meru: Melambangkan puncak gunung yang tinggi. Dalam konteks kepercayaan Jawa, gunung merupakan tempat para dewa.

  • Binatang: Melambangkan keperkasaan.

  • Tumbuhan: Identik dengan pohon hayat yang memiliki makna kemakmuran.

  • Burung: Diartikan sebagai penguasa dunia atas atau langit.

  • Gruda: Melambangkan mahkota yang identik dengan penguasa tertinggi.

4. Udan Liris

Mari Condronegoro dalam buku Memahami Busana Adat Keraton Yogyakarta: Warisan Penuh Makna menjelaskan bahwa udan liris termasuk pola geometris bermotif lereng. Filosofi yang terkandung dalam motif ini yaitu rintik-rintik yang membawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak.

Secara keseluruhan, motif udan liris diartikan sebagai harapan agar si pemakai selamat sejahtera, tabah dan mampu menunaikan tugas dan kewajibannya demi kepentingan bangsa.

5. Cemukiran

Dalam buku Seni Kriya Nusantara oleh Dr. Deni Setiawan, S.Sn., M. Hum, dijelaskan bahwa cemukiran merupakan motif yang berbentuk lidah api atau sinar. Api merupakan salah satu unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian dan ambisi.

Pola ini juga diibaratkan sebagai Syiwa, yakni Dewa yang menjelma dalam diri raja, sehingga motif ini hanya boleh digunakan oleh raja dan putra mahkota. Sebagai titisan Dewa Syiwa, raja harus mempunyai kewibawaan, keberanian, kesaktian dan ambisi untuk menyejahterakan rakyatnya.

Baca Juga: Yayasan Batik Indonesia Gelar Perayaan Khusus Peringati Hari Batik Nasional 2024

Leave a comment