Informasi Terpercaya Masa Kini

Jalan Damai Anak-anak Korban Tragedi Berdarah September 1965

0 2

[ARSIP Intisari]

Masa kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, 1965 – 1966, tak mudah dilupakan orang-orang yang langsung mengalaminya. Tapi, tidak semua orang terus meratapinya. Dengan penuh kebesaran jiwa, anak-anak tokoh nasional yang saat itu bertikai, mampu berjabat tangan. Saling memaafkan.

Penulis: Tjahjo Widyasmoro

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Dusun itu bernama Bawuk. Masuk dalam wilayah Kecamatan Minomartani, Kabupaten Sleman, kurang lebih 10 km dari Kota Yogyakarta, jika ditempuh melalui Jalan Raya Kaliurang. Sebuah pedesaan yang hijau asri dengan pemandangan Gunung Merapi di kejauhan. Hawanya terasa sejuk.

Di dusun itulah Amelia Yani, putri ketiga dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Achmad Yani, menetap sejak 1988. Meninggalkan keriuhan Jakarta untuk berdamai dengan segala peristiwa duka dalam sejarah hidupnya. Pembunuhan ayahnya pada 1965, kegagalan perkawinan, dan puncaknya adalah tekanan pekerjaan. Dia pun menjadi petani.

“Sejak di Bawuk saya lebih tenang. Tidak ada lagi yang namanya marah, iri, atau benci,” begitu pengakuan perempuan 55 tahun yang masih terlihat cantik ini, sewaktu Intisari mengunjungi rumahnya yang asri di Dusun Bawuk.

Dari sorot mata dan tekanan kata-katanya, Amelia tampak berkata jujur. Meski mengaku sudah tenang, Amelia tidak bisa melupakan kepedihan yang dialaminya bertahun-tahun yang lalu. Tepatnya Jumat Legi 1 Oktober 1965 dini hari, saat sepasukan tentara beserta sejumlah pemuda, meluruk ke rumahnya di Jalan Lembang Nomor D 58, Jakarta Pusat.

Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, mungkin tidak sampai setengah jam. Sebuah waktu yang singkat namun mempengaruhi perjalanan hidupnya kemudian. Dalam buku biografinya, Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2002) Amelia menuliskan larik-larik kesaksiannya.

Aku melihat sesosok tubuh sedang diseret-seret tanpa belas kasihan. Yang diseret adalah kedua kakinya; tangan, badan, dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah. Jantungku bagaikan terloncat keluar. Bapak! Itu Bapak, hata hatiku. Ya Allah, itu Bapak.

Pagi itu Amelia belum menyadari sepenuhnya yang tengah terjadi. Bunyi rentetan tembakan membangunkan tidurnya. Mata ayahnya yang telah terpejam saat terakhir kali dilihat. Suara derap sepatu lars dan deru kendaraan yang meninggalkan rumah mereka. Semua menjadi potongan-potongan kejadian yang menimbulkan satu pertanyaan besar di dalam benaknya: ada apa sebenarnya?

Kepastian nasib ayahnya didapat Amelia tiga hari kemudian.

Jasad Letnan Jenderal Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat, ditemukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana ditemukan juga lima jasad para stafnya di Markas Besar Angkatan Darat; serta satu jasad seorang perwira pertama, Pierre Tendean, ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution.

Tidak sendirian

Seperti banyak dituliskan dalam literatur sejarah, peristiwa pembunuhan para jenderal memicu kekacauan di pelbagai daerah. Rakyat berduka, lalu marah. Darah tujuh Pahlawan Revolusi yang telah membasahi negeri ini seolah belum cukup.

Diyakini, nyawa ratusan ribu orang akhirnya harus melayang menjadi korban amuk massa. Jutaan orang lainnya harus menanggung luka yang dalam karena dipenjarakan atau kehilangan sanak saudaranya. Negeri ini benar-benar berada di titik nadir.

Tak terkecuali Amelia, yang kala itu berusia 16 tahun, termasuk dalam hitungan jutaan luka itu. Hari-hari yang kemudian dilaluinya, tidak bisa lepas dari derai air mata dan tekanan psikologis. Kesedihannya bukan hanya karena ia menyaksikan peristiwa keji itu secara langsung.

Selama beberapa waktu kemudian, ia selalu bisa merasakan bau kematian karena ia tetap tinggal di rumah di Jalan Lembang.

Jika hari telah gelap, Amelia merasakan rumahnya begitu sunyi mencekam. Sosok ayahnya yang berwibawa, kadang penuh canda, atau kali lain masih sibuk bekerja dengan stafnya hingga larut malam, mendadak hilang.

Taraf kehidupan keluarganya menurun drastis. Segala fasilitas ayahnya dicabut, sehingga harus hidup prihatin. Ia menepis anggapan bahwa keluarga Achmad Yani mendapat fasilitas dari keluarga Soeharto sehingga tetap dapat hidup enak. “Tidak. Ibu selalu menanamkan untuk tidak begini,” kata Amelia dengan tangan menengadah.

Pukulan terberat dirasakan ibunya, Yayu Ruliah Sutodiwiryo, karena saat penculikan terjadi tidak berada di rumah akibat masalah rumah tangga. “Kalau sore, kami mencari di mana ibu. Sering kami jumpai beliau ada di ruangan tempat menggantung semua baju-baju bapak. Beliau sering menangis sambil memegangi baju bapak yang ada bekas darahnya!” kenang Amelia.

Akibat sering menyaksikan itu, Amelia harus berkonsultasi dengan psikiater dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat selama setahun.

Seiring bergulir waktu dan kedewasaannya, barulah Amelia menyadari bahwa ia sebenarnya tidak sendirian. Selain keluarga Pahlawan Revolusi, pada posisi berseberangan, jutaan anak-anak lain juga merasakan duka yang sama.

Orangtua atau sanak saudara mereka menghilang karena dipenjarakan atau bahkan dibunuh tanpa alasan jelas. “Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Rasa kehilangan itu pastilah sama, tapi mereka pastinya lebih berat,” kata Amelia berempati.

Ilham Aidit adalah satu kisah lain dari Amelia. Putra keempat tokoh PKI, DN Aidit, belum lagi berusia tujuh tahun saat keluarganya tercerai berai. Ayahnya tewas tertembak, sedangkan ibunya ditahan. Dua kakaknya sedang bersekolah di Rusia dan tidak pernah bisa pulang.

Dia bersama salah satu kakak dan saudara kembarnya, Irfan, dititipkan pada keluarga Yohanes Mulyono di Bandung, yang masih terhitung paman jauhnya. Keluarga itu pula yang kemudian mengasuhnya hingga besar.

Menurut pengakuan Ilham, suatu hari sekelompok tentara bersenjata lengkap pernah mendatanginya. Ilham yang sedang asyik bermain kelereng tidak terlalu mengacuhkan. Tentara-tentara itu cuma berbisik-bisik dengan pamannya lalu tak lama kemudian pergi. Belakangan hari barulah Ilham mengetahui, mereka sebenarnya berniat menghabisinya.

“Dikiranya saya sudah besar. Kalau umur saya sudah belasan tahun saja, mungkin ceritanya lain,” tutur pria yang masih menjaga jarak dengan publikasi media ini.

Sebagai anak kandung tokoh politik nasional yang dicap berkhianat, tentu bisa dibayangkan kesulitan yang harus ditanggung Ilham. Yang paling berat dirasakan adalah cemoohan masyarakat tentang ayahnya.

Cap “PKI” – sebuah kata yang berkonotasi hina hingga sekarang – seperti tertulis besar di dahinya. Merasa tak tahan, tak jarang ejekan-ejekan itu harus diakhiri dengan adu jotos demi membela nama sang ayah. Karena tubuh Ilham termasuk kecil, kalah dan babak belur sudah jadi risiko biasa.

“Sampai suatu saat sewaktu saya SMA di Jakarta, saya disadarkan Pastor Brouwer. Dia bilang, ‘Kalau kamu terus berkelahi, energimu akan habis di situ. Kamu tidak bisa menyelesaikan sekolahmu”. Dari situ saya sadar dan berhenti,” tutur

Ilham yang akhirnya dapat menyandang gelar insinyur dari Universitas Katolik Parahyangan. Pekerjaan yang kini digelutinya di Bali juga masih berhubungan dengan pendidikannya.

Tekanan masyarakat juga dirasakan Sugiarto, putra ketiga Brigadir Jenderal Supardjo, salah satu petinggi militer yang terlibat Dewan Revolusi. Ejekan dan cemoohan sempat jadi makanan sehari-hari selama kurang lebih setahun.

Satu bekas luka di punggung menjadi kenang-kenangan masa sulit itu. Luka itu didapat saat ia melindungi adiknya dari tombak waktu terjadi amuk massa. “Ah, tapi saya enggak mau cengeng cuma gara-gara itu,” kata Sugiarto yang enggan bercerita lebih lanjut.

Sikap tidak ingin meratapi nasib itulah yang selalu dibawa Sugiarto hingga kini. Bahkan ketika kesulitan demi kesulitan terus menimpa keluarganya, sebagai anak yang sudah beranjak dewasa ia berusaha bertahan. Semua karena ibunya, Triswati, yang selalu bersikap tabah menghadapi kenyataan ini.

“Terima semua ini sebagai takdir,” begitu selalu pesan janda Supardjo kepada anak-anaknya. Sebagai istri tentara, ia sudah terbiasa hidup sendiri tanpa suami. Di sinilah Sugiarto mengagumi kekuatan perempuan dibandingkan dengan lelaki.

Kesulitan yang harus dihadapi Sugiarto sebenarnya tak kalah hebat. Titel dokter gigi yang diperolehnya dengan susah payah tidak bisa dimanfaatkan karena terbentur Surat Keputusan (Instruksi) Menteri Dalam Negeri nomor 32 tahun (1981). Peraturan yang masih berlaku sampai sekarang itu intinya melarang keluarga tahanan politik menjadi pegawai negeri. Tapi lagi-lagi ia tidak mempersoalkannya.

Keengganan Sugiarto mengungkit masa lalu karena orang yang marah atau benci kebanyakan justru adalah mereka yang tidak mengerti permasalahan sebenarnya. Apalagi masih ada orang-orang yang bersikap baik kepada keluarganya meski kedudukannya berseberangan.

Mereka adalah rekan-rekan ayahnya semasa di militer, seperti Ibrahim Adjie, HR Dharsono (aim.), atau keluarga Ibnu Sutowo. “Saat itu mana ada yang berani dekat-dekat dengan keluarga tahanan politik. Takut dianggap berkomplot dan ujung-ujungnya diinterogasi,” kata Sugiarto yang berusia 15 tahun saat peristiwa G30S pecah.

Ibrahim Adjie, mantan Panglima Siliwangi dan salah satu sahabat ayahnya, selalu menolong di saat kesulitan-kesulitan datang tiada henti. Satu tindakan paling berani adalah memberikan uang pensiunnya kepada janda Supardjo, yang masih harus menghidupi 12 putra-putrinya. Ia juga menikahkan salah seorang putranya dengan salah seorang putri Supardjo.

Karena kegundahannya, suatu kali Sugiarto pernah bertanya kepada Ibrahim, yang dipanggilnya Papi, “Pap, apa ayah saya bersalah?” Yang ditanya menggeleng. “Tidak, dia seorang professional army. Dia hanya melaksanakan tugas,” kata Ibrahim tegas. Sebuah jawaban yang benar-benar melegakan Sugiarto.

Wanginya dari bapak

Meski harus menanggung derita akibat posisi politik ayahnya, tak ada sedikit pun di benak Amelia, Ilham, maupun Sugiarto untuk menyesalinya. Mereka justru bangga, orangtuanya telah berbuat sesuatu untuk negeri ini dengan caranya masing-masing. Jikapun ada perasaan berat saat menjalani kehidupan selanjutnya, itu belumlah seberapa dibanding risiko yang harus ditanggung ayah mereka.

Amelia selalu mengenang sosok ayahnya sebagai pria tampan dan gagah, terutama saat berseragam militer. Sikapnya tegas namun tetap sayang dan perhatian kepada tujuh anaknya.

Kekagumannya bahkan membuat ia dan saudara-saudara perempuannya berkeinginan bersuamikan seorang perwira milker, walau tidak kesampaian. Kesan yang mendalam itu diwujudkan dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI yang ditulisnya selama dua tahun, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (1988).

Karena begitu sibuk, Achmad Yani memang jarang memiliki waktu khusus bagi keluarga. Hanya saja Amelia ingat, siang hari menjelang peristiwa penculikan, ayahnya sempat meminta anak-anaknya untuk datang pada peringatan hari ABRI 5 Oktober di Istana Negara. Hari itu anak-anak boleh membolos sekolah. Dalam bahasa Jawa berlogat Purworejo, Yani berkata, “Semua nanti ikut Bapak ke Istana, melihat pawai, ada paduan suara.”

Anak-anak tentu gembira diperintahkan membolos oleh ayahnya sendiri. Kegembiraan itu juga ada di wajah Yani dan tanpa sengaja tangannya menyenggol sebotol parfum di meja. Minyak yang tumpah kemudian diraup dan diusapkan ke anak-anaknya satu per satu.

Katanya kemudian, “Kalau ditanya dari mana wanginya, katakan wanginya dari Bapak.” Amelia kadang merenung, apakah itu semacam pesan terakhir ayahnya?

Sebagai anak seorang perwira militer, Sugiarto juga merasakan kebanggaan seperti Amelia. Di tengah waktu yang terbatas karena sering bertugas menangani pemberontakan di daerah, ayahnya selalu menyempatkan diri memberi perhatian pada keluarga. Sikapnya tegas dan berwibawa.

Setiap ada masalah di antara anak-anaknya, ayahnya akan mengadili setiap anak untuk ditanya alasannya. Bila ternyata bersalah, hukumannya adalah menulis. Menulis tentang apa saja. Bahkan kalau hasilnya bagus, malah diberi hadiah.

Setelah ayahnya menyerahkan diri dan diadili, pertemuan-pertemuan keluarga terakhir dilakukan di penjara. Meski cuma bertemu satu jam, prosesnya tidak gampang. Izinnya bisa berbulan-bulan dan harus bergiliran dengan seluruh anggota keluarga.

Di saat-saat terakhir itulah Sugiarto menyaksikan ketegaran ayahnya sebagai seorang militer yang berjiwa pemimpin. Bahkan hingga Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan hukuman mati, ayahnya tampak tetap tenang.

Sugiarto ingat, 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarga berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat. Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu ayahnya memberi nasihat dengan memegang sebutir apel.

Dia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan. Tentu tidak berhasil. Setelah apel dipotong-potong, gampang dipecahkan. “Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan gampang dihancurkan,” pesan terakhir Supardjo yang diingat betul anak-anaknya.

Semula Supardjo meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan. Saat itu Sugiarto sempat mengajukan permintaan terakhir, yaitu agar ayahnya mati secara gagah. Pagi-pagi sekali setelah pelaksanaan eksekusi, Mr. Suwadji, pengacara Supardjo datang untuk memberi tahu keluarga.

Dia juga khusus menemui Sugiarto. “Ayahmu matinya gagah,” katanya. Sugiarto bangga, meski hingga kini ia mengaku tidak pernah tahu di mana kubur ayahnya. “Tapi di mana pun jasad beliau, doa kita akan sampai juga,” kata pria berperawakan besar ini.

Karena masih kecil, tak banyak yang bisa diingat Ilham tentang sosok DN Aidit. Seingatnya, ayahnya adalah orang yang sibuk bekerja dan tenggelam dalam tumpukan buku di meja kerja.

“Kalau ayah pulang kerja, yang dicari adalah anak-anaknya untuk diangkat tinggi-tinggi,” kata Ilham. Seperti Sugiarto, ia juga mengaku tidak mengetahui tempat pusara ayahnya. “Sebagai orang Timur, ada juga keinginan untuk mengurus kubur orangtua,” katanya pelan.

Saling memaafkan

Era Reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, membawa angin segar bagi iklim politik di Indonesia. Hawa sejuknya berhembus juga di kalangan anak-anak korban konflik masa lalu. Sebagai anak manusia yang sudah merasakan pahitnya menjadi korban konflik, timbul keinginan untuk berkumpul dan melupakan masa lalu yang kelam.

Awalnya beberapa anak korban konflik seperti Sarjono Kartosoewirjo (anak tokoh DI/TII Kartosoewirjo), Nani Nurachman dan Agus Widjojo (anak Brigjen. Sutojo), dan Sugiarto, mulai saling kontak dan menggagas suatu wadah silaturahmi.

Belakangan disepakati namanya Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Perkumpulan ini merangkul keturunan dari pihak yang terlibat konflik-konflik lain seperti DI/TII Aceh dan PRRI/Permesta yang berasal dari keluarga militer, serta keturunan dari tokoh sipil seperti Syarifuddin Prawiranegara, HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan Yap Thiam Hien.

Dalam ikrar perdamaian di Hotel Hilton Jakarta, 5 Maret 2004, FSAB antara lain menyatakan menghargai kesetaraan di antara mereka dan terhadap segenap bangsa Indonesia. Sebuah kesetaraan tanpa diskriminasi diharapkan menjadi upaya awal menuju rekonsiliasi di antara semua pihak yang pemah bertikai. Rekonsiliasi seperti apa? Bentuknya memang masih terus dibicarakan.

FSAB ternyata membawa hikmah tersendiri bagi anak-anak korban konflik 1965 – 1966. Pertemuan-pertemuan rutin forum ini memecahkan kebekuan antara anak-anak Pahlawan Revolusi dengan anak-anak tokoh yang berseberangan, seperti Sugiarto, Ferry Umar Dhani (putra Marsekal Umar Dhani), dan belakangan Ilham Aidit. Mereka mampu duduk semeja, tertawa bersama, berpelukan, dan saling menyemangati. Suatu keadaan yang sungguh sulit dibayangkan terjadi di masa lalu.

Memaafkan dengan tulus memang gampang diucapkan, tapi sungguh bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Namun, Amelia Yani merasa perlu melakukannya karena tidak ingin mewariskan dendam kepada anak cucunya sehingga mereka tumbuh menjadi pembenci.

“Tapi mereka tidak tahu yang dibenci itu apa. Marah tapi tidak tahu marah pada siapa,” tutur ibu dari seorang putra berusia 27 tahun, Dimas Tjahyono Dradjat.

Amelia mengakui belum seluruh anggota keluarganya sanggup melakukan itu. Seorang adiknya, hingga sekarang masih bergetar dan menangis jika berbicara masalah pembunuhan ayahnya. “Semua tergantung kepekaan masing-masing. Saya menghormati sikap adik saya,” katanya.

Sugiarto yang juga sempat mendapat pertanyaan dari keluarga soal keterlibatannya di FSAB, mengakui memang tidak mudah untuk melupakan kepedihan masa lalu. Tapi karena menyadari bahwa semua ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, ia dengan ikhlas bisa melakukannya.

“Saya tidak benci militer. Saya juga tidak ingin hidup ini tersiksa hanya karena dendam,” demikian prinsipnya. la mengaku cukup bahagia jika FSAB bisa menjadi gerakan moral yang mampu mengajak semua berdamai, dan tidak perlu menuntut terlalu jauh.

Hingga hampir 40 tahun sejak peristiwa itu terjadi, tak satu pun anak-anak korban konflik 1965 – 1966 mengetahui latar belakang peristiwa hingga mereka harus kehilangan ayah tercinta.

Tak terkecuali anak-anak Pahlawan Revolusi. Yang mereka tahu hanyalah bentuk-bentuk kekerasan yang disaksikan dengan mata kepala sendiri. Sungguh, suatu luka batin yang tak mudah dilupakan, namun dapat disembuhkan dengan kebesaran jiwa.

Leave a comment