Fakta-Fakta Ekonomi Kian Melemah: Warga RI Makan Tabungan, Daya Beli Tertekan
Bisnis.com, JAKARTA — Mayoritas rekening yang berada bank merupakan simpanan dengan saldo di bawah Rp100 juta. Mirisnya, rata-rata tabungan masyarakat di kelompok itu terus turun, mencerminkan fenomena makan tabungan ketika daya beli semakin tertekan.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah rekening masyarakat Indonesia dengan saldo di bawah Rp100 juta mencapai 580,01 juta rekening. Jumlahnya setara 98,8% dari total 586,95 juta rekening yang tercatat hingga Juli 2024.
Jumlah rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta itu bertambah 4,9% secara tahun berjalan (year to date/YtD) atau 11,8% secara tahunan (year on year/YoY). Pertumbuhannya menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok-kelompok simpanan lain.
Baca Juga : Masyarakat Bawah ‘Makan Tabungan’ saat Simpanan Kelas Atas Makin Tebal
Total simpanan di kelompok rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta tercatat sebanyak Rp1.057,79 triliun. Nilai simpanan itu hanya naik 0,4% (YtD) atau 4,9% (YoY).
Di sisi lain, jumlah rekening masyarakat dengan saldo di atas Rp5 miliar tercatat sebanyak 142.324 rekening per Juli 2024, tumbuh 3,6% (YtD) atau 8,6% (YoY). Dari sisi jumlah simpanan, pertumbuhannya lebih moncer lagi, total saldo kelompok itu mencapai Rp4.671,31 triliun, tumbuh 3% (YtD) atau 10,4% (YoY).
Baca Juga : : Benarkah Terjadi Fenomena ‘Makan Tabungan’? Begini Penjelasan LPS
Artinya, jumlah saldo di kelompok rekening lapis terbawah tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan penambahan jumlah rekeningnya. Sementara itu, jumlah rekening maupun jumlah saldo orang-orang super kaya tercatat sama-sama tumbuh pesat. Kenapa?
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) atau BCA menemukan adanya fenomena ‘makan tabungan’ oleh nasabah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Tren itu selaras dengan data LPS yang menunjukkan adanya penurunan rerata saldo tabungan masyarakat Indonesia belakangan.
Baca Juga : : Kabar Baik dari Penjualan Mobil LCGC, Sinyal Daya Beli Membaik?
Direktur BCA Santoso mengatakan bahwa nasabah menengah ke bawah menjadi segmen yang paling terdampak fenomena ini.
“Kita lihat tantangannya di menengah bawah, itu karena jumlah average balance mereka relatif enggak banyak tumbuh. Bahkan di segmen-segmen tertentu adalah average-nya cenderung lebih rendah 6 bulan terakhir,” ujar Santoso, dikutip pada Kamis (26/9/2024).
Santoso bahkan menyebut bahwa banyak nasabahnya yang berada dalam survival mode atau sedang bertahan hidup. Hal itu menurutnya akibat dari kondisi ekonomi yang lemah, sehingga terjadi penurunan lapangan kerja yang berimplikasi pada penurunan daya beli.
“Mungkin juga ada yang terkena PHK [pemutusan hubungan kerja]. Atau mungkin bisnisnya lagi sepi. Jadi, memang itu adalah realita,” ujarnya.
Selain itu, Santoso juga mengungkap bahwa pelambatan pertumbuhan tabungan turut terjadi di segmen nasabah menengah ke atas. Sebagian nasabah di segmen itu memang merupakan pebisnis, tetapi karena kinerja bisnis melambat, nilai simpanan mereka pun turut terdampak.
Wanti-Wanti Turunnya Daya Beli
Selain jumlah simpanan yang turun, deflasi beruntun ditengarai sebagai sinyal tekanan perekonomian, yang mencerminkan turunnya daya beli masyarakat.
Pada Agustus 2024, Indonesia mengalami deflasi selama empat bulan beruntun. Kondisi itu dinilai cukup dipengaruhi oleh penurunan jumlah masyarakat kelas menengah, sebagai salah satu penopang perekonomian.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat bahwa deflasi yang terjadi ini merupakan fenomena yang tidak biasa di perekonomian Indonesia.
Pada dasarnya, perlu ditelisik lebih lanjut fenomena masyarakat yang menahan belanjanya. Berbeda dengan fenomena deflasi yang terjadi selama tiga bulan beruntun pada 2020 lalu kala pandemi Covid-19 menghantam.
“Kenapa sekarang [masyarakat menahan belanja] di 2024, kenapa tidak di tahun-tahun sebelumnya? Itu perlu dicari tahu. Saya melihat deflasi yang empat bulan berturut-turut ini jelas tidak biasa kita alami setelah krisis, setelah 2020,” ungkap Faisal, belum lama ini.
Faisal menuturkan, seandainya masyarakat melakukan aksi hemat alias menahan belanja untuk kebutuhan sekunder maupun tersier, seharusnya terjadi peningkatan dana pihak ketiga.
Kenyataannya, dana pihak ketiga di perbankan menunjukkan pertumbuhan yang melambat pada Mei 2024. Utamanya setelah berakhir momen Pemilu, Puasa, dan Lebaran. Pada saat yang sama, deflasi juga mulai terjadi pada Mei 2024.
Per Agustus 2024, deflasi bulanan tercatat sebesar 0,03% atau lebih rendah dari Juli 2024 yang mencapai 0,18%. Terutama terjadi pada kelompok harga bergejolak (volatile goods) yang mengalami deflasi hingga 1,24%, sementara termoderasi dengan inflasi pada kelompok inti (core inflation) sebesar 1,52% dan harga yang diatur pemerintah (administered price) sebesar 0,7%.
Faisal menegaskan pemerintah perlu mewaspadai hal tersebut karena walaupun deflasi juga dapat disebabkan oleh sisi suplai, tetapi sisi tersebut tak menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan.
“Jadi yang perlu diwaspadai justru adalah memang daya belinya menurun, terutama dari kelas menengah ke bawah,” tuturnya.
Kalangan pengusaha juga sudah mewanti-wanti pelemahan daya beli masyarakat. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) misalnya, yang meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%. Kenaikan PPN 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 itu sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 7/2021.
Kendati demikian, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani meyakini pemerintah tetap bisa menunda pelaksanaannya seperti ketika tunda pemungutan pajak karbon yang seharusnya efektif per 1 April 2022.
Alasannya, tak lain dan tak bukan karena daya beli masyarakat sedang mengalami tren penurunan. Ajib mengingatkan jutaan penduduk kelas menengah telah turun kasta menurut temuan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI.
Tidak hanya itu, data makro ekonomi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih ditopang kurang lebih sebanyak 60% oleh konsumsi rumah tangga. Oleh sebab itu, Ajib khawatir kenaikan tarif PPN malah akan membenahi pemerintahan presiden selanjutnya, Prabowo Subianto.
“Kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo-Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif akan menghadapi kendala,” katanya, Senin (12/8/2024).