Imam Marcellus Williams Dieksekusi Mati, Tulis Nama Allah di Pesan Terakhirnya
REPUBLIKA.CO.ID, MISSOURI — Imam Marcellus Khalifah Williams dieksekusi mati pada Selasa (24/9/2024) waktu setempat atas pembunuhan terhadap Lisha Gayle, seorang mantan jurnalis yang ditemukan tewas dengan luka tusukan di rumahnya di St. Louis. Marcellus dieksekusi dengan cara disuntik mati.
“Segala puji bagi Allah dalam segala situasi,” demikian kalimat yang tercantum dalam surat pesan terakhir Marcellus yang tertanggal 21 September 2024. Dalam surat itu, tertera nama dan tanda tangan Marcellus Williams.
Berdasarkan laporan ABC, Marcellus wafat pukul 6.00 waktu setempat di penjara Negara Bagian Missouri, di Bonne Terre, Francois County. Mahkamah Agung Amerika Serikat sebelumnya telah dua kali menolak dua permohonan banding untuk menunda eksekusi yang diajukan pada Selasa, satu jam sebelum eksekusi.
“Bersamaan dengan gelapnya hari ini, kami berutang kepada Khalifah untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Kami berterima kasih kepada Kejaksaan St. Louis, atas komitmennya terhadap kebenaran dan keadilan dan upaya mencegah eksekusi ini. Dan untuk jutaan orang yang menandatangani petisi, dan membagikan cerita Khalifah,” kata pengacara Marcellus, Tricia Rojo Bushnell.
Sebelumnya, Gubernur dan Mahkamah Agung Missouri pada Senin (23/9/2024), menolak untuk menghentikan eksekusi terhadap terpidana mati Marcellus Williams yang dijadwalkan pada Selasa meski jaksa percaya mungkin saja ada bukti tidak bersalah, menurut media setempat.
“Williams telah menjalani proses hukum dan semua jalur hukum, termasuk lebih dari 15 sidang, dalam upaya membuktikan dirinya tidak bersalah dan membatalkan hukumannya,” kata Gubernur Mike Parson dalam sebuah pernyataan.
Pada 2001, Williams (55 tahun) dihukum dan dijatuhi hukuman mati dalam kasus pembunuhan Felicia Gayle, mantan reporter surat kabar yang ditemukan tewas ditikam di rumahnya pada 1998. Sejak awal, William mengeklaim dirinya tidak bersalah dan eksekusi hukumannya ditunda pada 2015 dan 2017 untuk melakukan tes DNA tambahan.
Sebelumnya, terungkap bahwa DNA William tidak ditemukan pada senjata tajam yang digunakan dalam pembunuhan. Pada Januari, jaksa mengajukan penangguhan eksekusi dengan alasan bahwa pengujian DNA pada senjata itu bisa membatalkan status Williams sebagai tersangka.
Bulan lalu, argumen itu ditolak setelah uji baru mengungkapkan bahwa senjata itu salah ditangani oleh penyidik sehingga mencemarkan bukti yang bisa dipakai untuk membebaskan Williams. Penasihat hukum kedua pihak menerima laporan yang menunjukkan bahwa DNA pada senjata itu milik asisten jaksa penuntut dan seorang penyidik yang memegangnya tanpa sarung tangan sebelum persidangan.
Tes baru DNA itu melemahkan argumen jaksa dan sepenuhnya mendukung putusan pengadilan wilayah bahwa bukti tersebut tidak menunjukkan adanya pelaku lain, menurut Mahkamah Agung dalam putusannya pada Senin. Sejak putusan itu dikeluarkan, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), organisasi pembela hak sipil dan kebebasan Muslim terbesar di AS, mengeluarkan petisi kepada Gubernur Missouri agar rencana eksekusi itu dibatalkan. Lebih dari 35.000 orang telah menandatangani petisi itu.
Dalam pernyataannya, Wakil Direktur Nasional CAIR Edward Ahmed Mitchell menilai eksekusi “tidak bisa diterima” jika ada bukti kredibel yang menunjukkan bahwa Williams tidak bersalah.
“Gubernur Parson memiliki kewenangan untuk mencegah eksekusi yang salah ini,” kata Mitchell.