Informasi Terpercaya Masa Kini

Perjuangan Santoso Anak Petani Asal Jember Sukses Jadi Dosen ITB,Dulu Cita-cita Dokter tapi Gagal

0 2

SURYA.CO.ID – Terlahir dari keluarga petani membuat Imam Santoso, pria asal Jember, Jawa Timur (Jatim), bertekad mengangkat derajat orang tuanya.

Perjuangan Imam pun tak mudah.

Ia sempat mengalami kegagalan, seperti saat ingin kuliah di Fakultas Kedokteran di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

“Waktu itu, saya sangat ingin menjadi dokter, tetapi tidak kesampaian,” kenang Imam.

Kegagalan itu membuatnya harus tinggal sementara di rumah pamannya di Trenggalek.

“Gak keterima jadi dokter kan setahun tuh.”

“Ngapain kalau di desa, kan jadi omongan tetangga, isin (malu) ‘Imam pengen jadi dokter gak lolos’.”

“Akhirnya yang udah diungsikan aja lah biar tenang, sambil jualan kaca, jualan paku di Trenggalek uangnya dikumpulin buat daftar beli formulir SPMB lagi,” ceritanya, dikutip dari laman LPDP.

Meski begitu, keinginan Imam untuk kuliah masih membara. 

Suatu hari ia diajak ayahnya membayar arisan ke rumah tetangga yang kaya raya.

Ternyata, orang tersebut berprofesi sebagai satpam di perusahaan tambang.

“Saya langsung berpikir, “apakah saya harus pindah ke jurusan tambang saja ya? Kok mereka jadi tajir-tajir?”,” lanjutnya.

Hal itu yang mendorongnya memilih jurusan Teknik Pertambangan (Metalurgi) di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pada 2003, Imam diterima di Program Studi Teknik Metalurgi ITB.

Perjuangannya pun tak berhenti di sini. Lagi-lagi ia mengalami kendala. Kali ini terkait biaya kuliah yang cukup mahal.

Ia memutar otak untuk bisa tetap kuliah dan hidup di Bandung, yakni dengan mendapatkan beasiswa.

“Ketika kuliah, saya juga mendapatkan banyak beasiswa, mulai dari perusahaan minyak, Bank BRI, hingga Supersemar dan banyak lagi,” terang pria yang lulus SMA di 2002 itu.

Sebenarnya bukan kali pertama Imam mendapatkan beasiswa.

Sejak masuk SMA, ia sudah mendapat beasiswa.

Baca juga: Kisah Santoso Anak Petani Asal Jember yang Sukses Jadi Dosen di ITB, Perjuangannya Tak Main-main

Setiap 6 bulan sekali dia harus ke kantor pos untuk mengambil uang beasiswa agar SPP-nya bisa terbayar.

“Kita harus proaktif mencari beasiswa karena memang banyak sekali kesempatan.”

“Tapi kita juga harus memantaskan diri untuk mendapatkannya. Saya dulu rajin mencari info beasiswa, baik di dalam maupun luar negeri,” terangnya. 

Lulus dari ITB, Imam merasa terpanggil untuk menjadi dosen. Cita-citanya berada di persimpangan jalan, menjadi dosen artinya ia harus studi lanjut dan tidak bekerja, sedangkan nafkah keluarga tak bisa ditunda.

Memutar otak, Imam akhirnya bertemu dengan sebuah perusahaan asing yang bersedia menyekolahkannya ke Australia dengan jaminan uang saku selama studi dan kesempatan karier. Tahun 2009 Imam berangkat ke University of South Australia.

“Jadi aku nyari waktu itu sekolah yang ada uangnya, akhirnya aku disekolahkan oleh perusahaan asing waktu itu. Tahun 2009 aku berangkat ke Australia.

Tapi di tengah jalan bangkrut perusahaannya, bayangin aku sudah di Australia, belum selesai, masih persiapan bahasa gitu, pulang tanpa gelar,” kenangnya.

Meski pulang tanpa gelar, Imam kembali teringat didikan keluarga agar tetap bersyukur dan berprasangka baik terhadap takdir.

Kembali bangkit, Imam mendaftar Beasiswa Australia Awards, usahanya tersebut kembali membawanya ke Australia.

Ia melanjutkan kuliah di University of Queensland dan jurusan Metalurgi yang jadi topik kegemarannya.

“Ya mungkin Allah ingin aku di UQ, sesuai dengan yang aku sukai.”

“Kalau di Adelaide, karena waktu itu dari industri, si industri ini punya topik sendiri yang waktu itu agak setengah hati aku sebenarnya, akhirnya ini (metalurgi di UQ) yang pas banget dengan passion, jadi oh mungkin ini ya hikmahnya,” jelasnya.

Lulus dari UQ, Imam sadar bahwa dirinya harus segera S3 agar bisa menjadi dosen.

Pada tahun 2014, Imam mendaftarkan diri, tujuan studinya pun kini lebih jauh, sebuah perguruan tinggi dengan profesor yang masyhur di bidang metalurgi, Aalto University di negeri seribu danau, Finlandia.

“Dulu ketika di Australia itu (menulis status) masih ada di facebook, ya Allah aku ingin lihat aurora, ya Allah aku ingin lihat salju, aku ingin ke kutub utara, dan kebetulan ketika di Australia ada mahasiswa (percobaan) dari Finlandia, kemudian eh aku dikenalin lah oleh profesor di sana.

Dan memang waktu itu aku mencari metalurgi yang bagus di mana setelah dari UQ, yang bagus tuh Aalto.

Semuanya kayak gak tau lah mestakung (semesta mendukung) gitu ya,” ceritanya.

Imam juga menceritakan bahwa dirinya sering menyarankan anak didiknya untuk menempel dinding kamar dengan gambar-gambar seperti Menara Eiffel atau daftar target/cita-cita yang ingin dicapai di masa depan.

Sadar bahwa hidupnya berubah drastis karena pendidikan, Imam tergerak untuk menebar semangat yang sama.

Sejak masih S1, Imam sering “blusukan” ke sekolah-sekolah pelosok memberikan informasi bahwa ada kesempatan bagi anak-anak yang ingin berkuliah dengan Beasiswa Bidikmisi.

Sambil tersenyum mengingat kenangan, Imam mengungkap bahwa kegiatan “jemput bola” tersebut ternyata menarik perhatian para pewawancara saat ia melakukan seleksi LPDP sepuluh tahun lalu.

“Mungkin dia (blusukan) yang membuat aku diterima,” ujarnya.

Sukses berkarier sebagai dosen ITB, Imam masih melanjutkan kegiatan “jemput bola” menjaring talenta-talenta dari keluarga kurang mampu justru semakin masif, bahkan difasilitasi oleh ITB.

Dalam setahun, Imam mengaku rutin mengalokasikan waktu dan mengajak rekan-rekan sesama dosen untuk “roadshow” di berbagai daerah hingga di luar Jawa menyebarkan informasi, inspirasi, dan dampak yang lebih besar kepada anak-anak SMA untuk berkuliah.

 

Ikuti berita selengkapnya di Google News Surya.co.id

Leave a comment