Paus Fransiskus dan Sepatu Hitamnya
“Sepatu Anda adalah kritik .” -Paus Benedictus kepada Kardinal Mario Bergoglio dalam The Two Popes
Dalam film The Two Popes, kalimat di atas disampaikan Paus Benediktus XVI, sebagai responnya terhadap niat Kardinal Mario Bergoglio mengundurkan diri dari jabatan Kardinal Uskup Agung Buenos Aires.
“Jika Anda mengundurkan diri, itu akan terlihat seperti kritik. Cara hidup Anda adalah kritik. Sepatu Anda adalah kritik,” kata Paus Benediktus.
Kardinal Bergoglio memang dikenal sebagai pengkritik Paus Benediktus yang paling keras dan frontal. Dia menolak konservatisme Paus yang berupaya membentengi kedosaan Gereja Katolik — seperti skandal keuangan Vatikan dan skandal seks para imam khususnya pedofilia — dari sorotan dan kecaman publik. “Apakah Yesus membangun benteng,” tanya Bergoglio retoris.
Bergoglio, seorang kardinal yang berpikiran progresif dan reformis, melihat Gereja Katolik sedang “sakit” dan butuh pengampunan.
Kesakitan itu adalah buah dari sikap autoreferensial, keangkuhan Gereja untuk selalu merujuk kepada dirinya sendiri dalam setiap persoalan. Gereja menjadi elitis, membangun jarak atau mungkin tembok dengan realitas sosio-religi di luar sana.
Bagi Bergoglio, Gereja harus kembali pada raison d’etre-nya. Gereja harus merubuhkan temboknya, lalu keluar dari dirinya dan pergi menuju pinggiran, membela mereka yang terpinggirkan baik secara geografis maupun secara sosial, ekonomi, dan politik.
Kelak setelah terpilih menjadi Paus (13 Maret 2013), Bergoglio yang memilih nama Fransiskus segera mengeluarkan anjuran apostolik Evangelii Gaudium (Suka-cita Injil) pada 24 November 2013.
Butir atau pasal 49 anjuran itu menegaskan “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri.”
Anjuran itulah, yang telah diamalkannya saat menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Argentina yang kini menjiwai setiap langkah Paus Fransiskus sebagai Uskup Roma, pemimpin spiritual Gereja Katolik Roma.
Pengamalan anjuran itu ditandai dengan kehadiran atau tampilan Paus Fransiskus yang sangat bersahaja kapan dan di manapun. Mulai dari tempat tinggal, kendaraan, makanan, sampai pada pakaian, termasuk sepatu. Keseluruhan kehadirannya, termasuk atribut yang melekat pada dirinya, adalah artikulasi penyembuhan Gereja dari sakitnya.
***
Ketika Paus Benediktus XVI mengatakan sepatu Kardinal Bergoglio adalah kritik, keduanya sedang mengenakan model sepatu yang berbeda.
Paus Benediktus, selaras tradisi kepausan, mengenakan sepatu kulit berwarna merah rancangan dan tempaan Adriano Stefanelli dan Antonio Arellano, dua orang perajin sepatu asli Italia.
Warna merah sepatu itu adalah simbol kemartiran, sengsara Kristus, sebagai pernyataan kesiapan mati demi Kritus. Pada para Kardinal dan Uskup, warna merah sebagai simbol kemartiran itu berupa ban pinggang berwarna merah. Paus tidak mengenakan ban pinggang merah. Seluruh pakaiannya sampai zucchetto, topi bulat kecil, berwarna putih.
Sementara itu Kardinal Bergoglio menganakan sepatu bot kulit tua berwarna hitam. Paus Benediktus, dalam film The Two Popes menafsirnya sebagai kritik. Sebab pada posisinya sebagai Kardinal dan Uskup Agung Buenos Aires, Bergoglio sebenarnya wajar saja jika mengenakan sepatu yang lebih bagus.
Tapi dia memilih mengenakan sepatu kulit hitam biasa, seperti dikenakan kebanyakan warga biasa di Argentina. Pilihan sepatu itu menunjukkan pemihakannya kepada masyarakat kebanyakan, terutama masyarakat periferal atau mereka yang terpinggirkan.
Sepatu kulit hitam itu berkonotasi kesediaan bekerja di luar ruangan, dalam arti siap bekerja di tempat-tempat kotor yang jauh dari rasa nyaman. Sementara sepatu berwarna merah, kendati itu simbol kemartiran, memiliki konotasi modis, fashionable, hanya cocok dikenakan di tempat-tempat yang eksklusif dan elitis. Sepatu merah mengkilap itu kesannya tidak siap kotor.
Setelah terpilih menjadi Uskup Roma, Paus Fransiskus tetap setia mengenakan sepatu kulit warna hitam dalam setiap kegiatannya, kapanpun dan di manapun. Itu penanda komitmen kuat Paus Fransiskus untuk membawa Gereja Katolik keluar dari dalam dirinya, lalu pergi melayani umat di pinggiran sana, di tempat-tempat yang sulit dan tak nyaman.
Saat pertemuan Paus Fransiskus dengan para Jesuit di Kedutaan Vatikan, Jakarta (4/9/2024), Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo, SJ secara khusus mengamati sepatu hitam yang dikenakan Bapa Paus. “Saya lihat sepatunya itu hitam dan sudah berlekuk-lekuk, tandanya sudah lama dipakai. Itu bukan sekadar kebetulan, itu pilihan,” kata Bapa Kardinal.
Itu pilihan Bapa Paus. Selama sepatu hitamnya masih layak pakai, belum jebol, maka tetap akan dikenakan.
Itu bukan sekadar sikap sederhana tetapi, lebih dari itu, sikap hormat kepada lingkungan. Semakin lama sepasang sepatu dikenakan, semakin berkurang limbah, dan semakin berkurang juga penggunaan kulit hewan.
Sepatu kulit hitam yang sudah tua itu adalah bentuk kritik tajam kepada para pejabat Gereja Katolik, pejabat pemerintahan NKRI, dan kelompok elite sosial di Indonesia. Khususnya kepada mereka yang senang membeli, mengenakan, dan memamerkan sepatu-sepatu branded dengan harga puluhan sampai ratusan juta rupiah per pasangnya.
Pertanyaan kritisnya di sini, ketika Paus Fransiskus sudah berkeliling dunia dengan sepatu hitam tuanya untuk membangun perdamaian umat manusia, lalu apa yang dilakukan para pejabat, pengusaha kaya, dan pesohor dengan sepatu-sepatu mewahnya? Atau secara lebih spesifik, apakah sepatu-sepatu mewah itu telah membawa mereka untuk menguatkan iman, persaudaraan, dan belarasa ke tengah masyarakat Indonesia?
***
Dalam suatu konferensi pers Presiden AS George E. Bush dan PM Irak Nouri Al-Maliki di Bhagdad pada 14 Desember 2008, wartawan Irak Muntazer Al Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Presiden Bush. “Ini ciuman perpisahan dari rakyat Irak, anjing!” teriaknya sambil melemparkan sebelah sepatunya. “Ini dari janda-janda, yatim-piatu, dan semua yang terbunuh di Irak!” teriaknya lagi sambil melemparkan sepatu yang sebelah lagi.
Kedua sepatu itu tak mengenai Presiden Bush. Tapi pesannya jelas tersampaikan: kemuakan dan penolakan terhadap imperialisme Amerika yang menyengsarakan rakyat Irak. lemparan sepatu Zaidi adalah kritik keras sekaligus kepada pemerintah AS dan pemerintah Irak.
Paus Fransikus tidak melemparkan, dan tidak akan pernah melemparkan sepatunya sebagai bentuk kritik kepada pimpinan Gereja Katolik ataupun pimpinan suatu negara.
Bapa Paus cukuplah setia mengenakan sepatu kulit hitam tuanya dalam pertemuan dengan para pemimpin nasional dan pemimpin dunia. Hal itu seharusnya sudah menjadi kritik yang menohok keras kelompok elite agama, pemerintahan, dan sosial-ekonomi yang tidak pernah puas dengan berpasang-pasang sepatu mewahnya.
Dengan mengenakan sepatu kulit hitam tua, Paus Fransiskus sedang mengatakan jika kita datang menggalang persaudaraan dan belarasa ke tengah masyarakat terpinggirkan, maka datanglah secara bersahaja, dengan tampilan yang empatik, sama seperti umumnya tampilan masyarakat itu. Penampilan seperti itu hendaknya menjadi pilihan jalan hidup kepemimpinan, bukan pencitraan sesewaktu demi meraih ambisi-ambisi sosial-ekonomi-politik yang pada ujungnya mencekik balik rakyat pinggiran. (eFTe)