Informasi Terpercaya Masa Kini

China Akan Devaluasi Yuan sebagai Senjata Perang Dagang dengan AS?

0 19

NEW YORK, KOMPAS.com – Yuan China offshore (di pasar luar negeri) melemah ke titik terendah sepanjang masa di angka 7,4287 terhadap dollar AS di awal pekan ini. Sementara itu, yuan onshore (di pasar domestik) pada hari Kamis (10/4/2025) melemah ke 7,3509 per dollar AS — level terendah sejak tahun 2007, menurut data dari LSEG.

Hal itu setelah Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBoC) menetapkan titik tengah (midpoint rate) yuan pada level terlemah sejak tahun 2023.

Langkah tersebut memicu spekulasi bahwa Beijing akan membiarkan mata uangnya melemah lebih jauh guna meredam dampak tarif impor yang dikenakan Presiden AS Donald Trump. Benarkah?

Para analis memperingatkan bahwa pelemahan signifikan yuan dapat menimbulkan efek domino, termasuk arus keluar modal (capital outflows), sesuatu yang sangat ingin dihindari oleh para pembuat kebijakan. Faktanya, yuan telah kembali menguat baik di pasar onshore maupun offshore.

Baca juga: Harga Emas Dunia Capai Rekor Tertinggi Imbas Perang Dagang AS-China dan Pelemahan Dollar

Dari 11 analis yang disurvei CNBC, mayoritas tidak melihat yuan akan melemah secara signifikan dalam jangka panjang. Sebaliknya, para ekonom memperkirakan bahwa bank sentral akan merekayasa depresiasi yang teratur dan bertahap.

“Devaluasi RMB (Renminbi ) tidak akan menjadi bagian dari strategi balasan China terhadap tarif AS,” kata Joey Chew, Kepala FX Asia di HSBC, merujuk pada nama lain dari yuan China.

“Bahkan, depresiasi yang cepat bisa melemahkan kepercayaan konsumen dan memicu pelarian modal,” ujarnya kepada CNBC.

Pada tahun 2015, pelarian modal meningkat pesat ketika China mendevaluasi yuan. Saat itu, menurut data dari Institute of International Finance, terjadi pelarian modal senilai hampir 700 miliar dollar AS (sekitar Rp 11.760 triliun).

Bukan Senjata yang Efektif

Dengan kondisi ekonomi China yang sudah melambat dan lonjakan tarif AS yang mengancam ekspor, arus keluar modal secara cepat akan semakin menyulitkan pekerjaan para pembuat kebijakan.

“Devaluasi bukan lagi senjata perdagangan yang efektif,” kata Dan Wang, Direktur China di Eurasia Group, yang menambahkan bahwa langkah itu “seperti mengundang krisis keuangan sendiri.”

“Pelarian modal adalah kekhawatiran utama Beijing,” lanjutnya.

Menurut dia, Cihna akan melakukan segala cara untuk meyakinkan pasar bahwa mereka mampu mempertahankan yuan dari sanksi AS. “Dan bahwa tidak ada pihak yang seharusnya mengambil posisi short terhadap yuan,” sebut dia.

Manfaat dari pelemahan yuan juga kini terbatas, mengingat tarif AS terhadap barang impor dari China telah mencapai 145 persen.

“Bagaimana mungkin sebuah negara mendevaluasi mata uangnya sebesar itu tanpa memicu ketidakstabilan finansial? Sangat sulit,” kata Jianwei Xu, ekonom senior di Natixis.

Baca juga: Tarif Trump Turun Jadi 10 Persen, Kecuali untuk China yang Naik Lagi

Berbeda dengan dollar AS dan yen Jepang yang memiliki rezim kurs mengambang bebas, China mengatur nilai yuan dengan ketat dalam pasar domestiknya.

Setiap pagi, PBoC menetapkan nilai tengah harian (midpoint) berdasarkan nilai penutupan hari sebelumnya dan input dari pelaku pasar antarbank.

Yuan onshore hanya diizinkan untuk diperdagangkan dalam kisaran sempit 2 persen di atas atau di bawah nilai tengah tersebut.

“Saya pikir China ingin dilihat sebagai pusat stabilitas dalam segala hal, termasuk nilai tukar,” kata investor David Roche.

Menurut dia, Yuan yang lebih lemah juga bisa dianggap “mempermudah” posisi AS, karena China adalah pemasok barang terbesar bagi AS.

“Cara terbaik membuat AS membayar akibat kebijakan mereka adalah dengan menjaga mata uang tetap stabil,” ujarnya.

Komitmen pembuat kebijakan China terhadap stabilitas diperlihatkan lewat serangkaian langkah untuk menopang yuan awal tahun ini ketika lonjakan dollar AS menyebabkan banyak mata uang dunia merosot. Upaya ini bertujuan mencegah para pelaku pasar melakukan spekulasi satu arah terhadap penurunan yuan.

Menurut Kepala Strategi FX Asia di Mizuho,Ken Cheung, bank sentral China saat ini memang memandu depresiasi yuan secara bertahap melalui penetapan kurs, namun devaluasi tajam tampaknya tidak mungkin terjadi,

Ia memprediksi nilai tukar USD/CNY akan berada di 7,12 (sekitar Rp 119.616) pada akhir tahun — yang paling optimis di antara analis yang disurvei.

Daripada menggunakan depresiasi mata uang untuk mengimbangi tarif AS, Cheung mengatakan PBoC kemungkinan besar akan memperkenalkan volatilitas dua arah dalam nilai tukar untuk menyesuaikan dengan kondisi pasar yang tidak stabil.

Christopher Wong, ahli strategi FX di OCBC, menyatakan bahwa dalam waktu dekat bank tidak menutup kemungkinan terjadinya “fluktuasi liar” dalam nilai tukar, dengan kisaran perdagangan yuan antara 7,20 hingga 7,50 (sekitar Rp 120.960 – Rp 126.000) baik di pasar onshore maupun offshore.

Baca juga: Bank Sentral China Desak Perbankan Kurangi Pembelian Dollar AS, Kenapa?

Namun tidak semua analis yang disurvei CNBC yakin bahwa Beijing akan tetap menjaga kestabilan yuan. Jika tarif tinggi dari AS dan China tetap diberlakukan, Capital Economics memperkirakan yuan akan terdepresiasi signifikan.

Jonas Goltermann, wakil kepala ekonom pasar di Capital Economics, memperkirakan bahwa nilai tukar USD/CNY akan mencapai 8 (sekitar Rp 134.400) pada akhir tahun. Namun ia menambahkan, mengingat perkembangan perang dagang belakangan ini, level itu bisa lebih cepat tercapai.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa bahkan depresiasi ke level itu tidak akan sepenuhnya mengimbangi kenaikan tarif AS.

China kemungkinan besar akan lebih memilih untuk menggunakan stimulus domestik guna mengatasi hilangnya perdagangan dan menciptakan stabilitas pasar, kata Kamil Dimmich, manajer portofolio di North of South Capital LLP. Termasuk di dalamnya adalah menjaga kestabilan yuan, bahkan mungkin memperkuatnya dengan memulangkan modal dari pasar surat utang AS.

Pada hari Jumat, PBoC juga menegaskan kembali rencananya untuk menerapkan kebijakan “longgar secara moderat” saat Beijing bersiap menghadapi ketidakpastian yang meningkat dalam perang dagang global yang semakin intensif.

Baca juga: Soal Tarif Impor Trump Picu Perang Dagang, Bahlil: Biasa Saja, Itu Dinamika

Leave a comment