Kesuksesan Raja Jawa tanpa Mahkota
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seperti dilansir dari laman resmi Kemendikbudristek RI, Sarekat Dagang Islam (SDI) berdiri pada 16 Oktober 1905. Pemrakarsanya adalah Haji Samanhudi (lahir 1868), seorang pengusaha batik dari Laweyan, Solo.
Bukan sekadar asosiasi kelompok pedagang Muslim. SDI pada akhirnya berubah menjadi organisasi nasional pertama yang keanggotaannya cukup kompleks di Indonesia–waktu itu bernama Hindia Belanda.
Langkah awal H Samanhudi sebagai ketua SDI Solo adalah melakukan “operasi bawah-tanah” dibantu oleh Tirto Adi Soerjo. Hasilnya, SDI berkembang hingga ke Purwokerto, Madiun, dan Surabaya.
Dalam perkembangan selanjutnya, yang menjadi anggota SDI bukan hanya berasal dari pedagang, tetapi banyak juga yang berasal dari petani, buruh, kalangan bangsawan dan pegawai pemerintah. Pada titik ini, SDI menjadi satu-satunya organisasi dengan penataan modern dan mempunyai massa relatif banyak.
Dalam kondisi demikian, H Samanhudi berjumpa dengan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Pada saat itu, profil tokoh kelahiran Madiun tahun 1882 ini sudah begitu terkenal. Sosoknya juga karismatik di tengah publik Hindia Belanda, terutama masyarakat pribumi.
Para penulis Belanda sampai-sampai menjulukinya “De Ongekroonde van Java.” Artinya, ‘Raja Jawa tanpa Mahkota.’ Sebab, begitu besar pengaruh HOS Tjokroaminoto di tengah rakyat Jawa.
Pada 1913, Samanhudi merasa tidak mampu lagi menangani organisasi yang jumlah anggotanya banyak. Ia pun menyerahkan posisi ketua SDI ke tangan HOS Tjokroaminoto dan menjadi Ketua Centraal Comite.
Sukses memimpin SI, HOS Tjokroaminoto ….
Sejak itu, kantor pusat SDI berpindah ke Surabaya. Nama organisasi ini juga berubah menjadi Sarekat Islam (SI) sehingga kian menegaskan inklusivitasnya bagi seluruh pribumi Muslim, apa pun latar pekerjaan mereka.
Selama memimpin SI, HOS Tjokroaminoto mengarahkan organisasi ini agar berhaluan nasionalisme yang merangkul seluruh suku bangsa di Tanah Air. Langkah ini tentu saja merupakan terobosan pada zamannya.
Dalam Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam pada 1916, diserukannya para anggota SI untuk mengedepankan prinsip persatuan di atas keberagaman.
Gagasan nasionalisme yang dikibarkan HOS Tjokroaminoto tidak untuk dibentur-benturkan dengan keislaman. Dalam sebuah artikel pada harian Fadjar Asia pada 1924—seperti dikutip Aji Dedi Mulawarman dalam buku Jang Oetama (2015: 35)— Tjokroaminoto menegaskan bahwa nasionalisme yang diyakininya bukanlah semacam Nasionalisme Turki, yang menghendaki kemerdekaan dari ruh Islam dan menggantikannya dengan ruh berwajah Barat.
Dengan memisahkan Islam dari negara (nation-state), menurutnya, maka hal itu justru telah menyalahi substansi nasionalisme. Nasionalisme bagi Tjokroaminoto tidak boleh menjadi penyebab kebencian suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Demikian pula, nasionalisme jangan menjadi rintangan menuju cita-cita tauhid.
Dalam memimpin SI, HOS Tjokroaminoto dinilai sukses. Ia berhasil membesarkan organisasi ini, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
Pada 25 Januari 1913 di Surabaya, pertemuan besar SI dimulai. Hadir dalam acara itu, sebanyak 13 perwakilan cabang SI, yakni dengan jumlah anggota mencapai 80 ribu orang.