Kelakar Politikus PDIP soal Jokowi: Menyesal Dulu Enggak Tutup Gorong-gorong
TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR fraksi PDI Perjuangan, Deddy Yevri Sitorus menilai Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebagai pembohong. Hal itu ia sampaikan saat menghadiri diskusi publik perihal refleksi demokrasi satu dekade Jokowi.
“Jokowi is totally fake,” katanya di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2024. Kebohongan pertama, ujar Deddy, ketika Jokowi memilih naik andong dibanding mobil anti peluru setelah pelantikan di Senayan pada 2014 silam.
Dahulu, menurut dia, tindakan Jokowi itu dianggap sebagai sesuatu yang dekat dengan rakyat. Sikap merakyat ala Jokowi kala itu yang tidak dimiliki presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
“Ternyata dari awal otaknya sudah feodal. Jangankan rakyat, malaikat pun tertipu dengan Jokowi,” ucapnya.
Politikus PDIP ini menilai, bentuk pembohongan Jokowi terhadap rakyat baru nampak ketika kepala negara itu dilantik di periode keduanya. Ia mengatakan, pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf pada 2019, kemunduran demokrasi mulai terjadi.
“Penyanderaan demokrasi, pembengkokkan hukum, dan segala macam,” katanya. Deddy juga menyoroti ihwal gaya karakter Jokowi di periode kedua yang lebih dekat dengan para konglomerat ketimbang rakyat.
Menurut dia, kinerja Jokowi selama dua periode telah memundurkan cita-cita reformasi Indonesia yang dibangun seusai era Soeharto. Hal itu, katanya, diperkuat dengan upaya Jokowi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK hingga pemanfaatan aparatur ataupun lembaga negara untuk kepentingan pribadi.
Dia mengatakan, menyesal ketika terbuai dengan cara kampanye Jokowi di periode pertamanya. “Di media sosial banyak muncul meme, kenapa dulu tidak kita tutup gorong-gorong? Dulu saya marah, sekarang ikutan, kenapa tidak tutup itu gorong-gorong,” kelakarnya.
Menurut dia, Jokowi bukanlah presiden yang pintar, melainkan presiden paling nekat sepanjang sejarah. Alasannya, kata Deddy, lantaran Jokowi berani menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi aparat penegak hukum dan birokrasi dari atas sampai bawah hingga menggunakan kasus hukum untuk menyandera partai politik yang menjadi oposisi.
“Saya takutnya Pak Jokowi ini terinsipirasi sama mantan Direktur FBI yang menyimpan kasus semua petinggi di Amerika, sehingga bisa dikendalikan,” ujarnya.
Dia menduga, Jokowi menyimpan rentetan kasus para pejabat publik Tanah Air, sehingga bisa berkuasa dengan nekat. Ia menyebut, salah satu indikator dugaannya itu ketika kasus korupsi oleh pejabat publik banyak terungkap di era Jokowi.
Ia mengatakan, hukum hari-hari ini hanya digunakan sebagai alat politik. Berbeda dengan dulu ketika hukum menjadi panglima. Dia mencontohkan kasus Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto yang terseret dalam pemeriksaan KPKdi kasus Harun Masiku.
Pilihan Editor: 18 Dosa Jokowi