Informasi Terpercaya Masa Kini

Bagaimana Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas, Tewas Terbunuh di Iran?

0 19

PEMBUNUHAN terhadap pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Ibu Kota Iran, Teheran, pada Rabu (31/7/2024) mengguncang kawasan Timur Tengah. Peristiwa itu bisa semakin mengacaukan stabilitas kawasan dan membahayakan negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas terkait perang di Gaza.

Media yang berafiliasi dengan pemerintah Iran, Fars, melaporkan bahwa Haniyeh berada di Teheran untuk menghadiri pelantikan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian. Haniyeh menginap ,di kediaman para veteran di bagian utara Teheran.

Baca juga: Siapa Pemimpin Politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang Dibunuh di Iran?

Presiden Pezeshkian dilantik pada Selasa kemarin. Pada hari yang sama, Hamas merilis sejumlah foto yang memperlihatkan Haniyeh bertemu dengan para pejabat Iran di Teheran.

Media pemerintah Iran, IRNA, mengatakan, pada Rabu dini hari, sekitar pukul 02.00 waktu setempat, sebuah proyektil yang kendalikan dari jarak jauh saat meluncur di udara (airborne guided projectile) menargetkan tempat tinggal Haniyeh.

IRNA mengatakan, penyelidikan lebih lanjut sedang dilakukan untuk mengetahui rincian penyerangan itu dan dari mana proyektil itu ditembakkan.

Hamas telah menuding Israel sebagai pelaku serangan tersebut.

“Saudara, pemimpin, mujahid Ismail Haniyeh, kepala gerakan, tewas dalam serangan Zionis (Israel) di markas besarnya di Teheran setelah dia berpartisipasi dalam pelantikan presiden baru (Iran),” kata Hamas dalam sebuah pernyataan.

Garda Revolusi Iran menyatakan, kediaman Haniyeh di Teheran diserang dan dia terbunuh bersama seorang pengawalnya.

“Kediaman Ismail Haniyeh, kepala kantor politik Perlawanan Islam Hamas, dihantam di Teheran, dan sebagai akibat dari insiden ini, dia dan salah satu pengawalnya menjadi martir,” kata Korps Garda Revolusi Iran.

Israel sejauh ini tidak mau berkomentar. Pihak militer Israel mengatakan, mereka “tidak menanggapi laporan di media asing”.

Siapa Haniyeh

Haniyeh lahir dari orang tua Arab Palestina yang mengungsi dari desa mereka di dekat Ashqelon (sekarang masuk wilayah Israel) pada tahun 1948. Dia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi Al-Shati di Jalur Gaza. Dia lahir di kamp itu.

Seperti umumnya anak-anak pengungsi Palestina, Haniyeh dididik di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East/ UNRWA). Lembaga yang sama juga memberikan bantuan makanan dan obat-obatan bagi para penghuni kamp.

Tahun 1981, Haniyeh masuk Universitas Islam Gaza. Di tempat itu dia belajar sastra Arab. Dia juga aktif dalam politik mahasiswa, memimpin perkumpulan mahasiswa Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.

Baca juga: Siapa Saja Para Pemimpin Hamas?

Saat Hamas terbentuk tahun 1988, Haniyeh termasuk salah satu dari anggota pendirinya yang tergolong muda. Dia menjalin hubungan yang dekat dengan pemimpin spiritual kelompok tersebut, Sheikh Ahmed Yassin.

Haniyeh ditangkap otoritas Israel tahun 1988 dan dipenjara selama enam bulan karena partisipasinya dalam Intifada Pertama (pemberontakan melawan pendudukan Israel). Dia ditangkap lagi tahun 1989 dan dipenjara sampai Israel mendeportasinya ke Lebanon selatan tahun 1992 bersama dengan sekitar 400 orang lainnya. Haniyeh kembali ke Gaza tahun 1993 setelah ada Perjanjian Oslo. Sekembalinya ke sana, ia diangkat menjadi dekan di Universitas Islam.

Peran kepemimpinan Haniyeh di Hamas bermula tahun 1997 ketika ia menjadi sekretaris pribadi Yassin. Dia diangkat menjadi kepala kantor pemimpin spiritual Hamas itu. Pengangkatan tersebut memperkuat posisinya.

Dia tetap menjadi orang kepercayaan Yasin hingga pemimpin spiritual Hamas itu tewas dibunuh Israel. Keduanya menjadi target upaya pembunuhan gagal Israel tahun 2003. Yassin kemudian terbunuh beberapa bulan setelah itu.

Haniyeh ditunjuk sebagai perdana menteri Palestina tahun 2006 oleh Presiden Mahmoud Abbas, setelah Hamas memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu nasional. Namun dia diberhentikan setahun kemudian setelah Hamas menggulingkan Partai Fatah pimpinan Abbas dari Jalur Gaza dalam aksi kekerasan mematikan yang berlangsung selama seminggu.

Haniyeh menolak pemecatannya karena dianggap “inkonstitusional”, dan menekankan bahwa pemerintahannya “tidak akan mengabaikan tanggung jawab nasionalnya terhadap rakyat Palestina”, dan terus memerintah di Gaza. Dia terpilih sebagai kepala biro politik Hamas tahun 2017.

Tahun 2018, Departemen Luar Negeri AS menetapkan Haniyeh sebagai teroris. Dia tinggal di Qatar selama beberapa tahun terakhir. Selama bertahun-tahun, Haniyeh berpartisipasi dalam pembicaraan damai dengan mantan Presiden AS, Jimmy Carter, dan bertemu dengan para pemimpin dunia lainnya termasuk Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, dan diplomat China, Wang Kejian awal tahun ini.

Menurut Hamas, pada April lalu, serangan udara Israel menewaskan tiga putra dan empat cucunya. Haniyeh menjadi pemimpin senior Hamas kedua yang terbunuh sejak dimulai perang dengan Israel di Gaza pada Oktober tahun lalu. Januari lalu, Hamas mengatakan wakil kepala biro politik Saleh Al Arouri tewas dalam serangan udara Israel di Ibu Kota Lebanon, Beirut. Arouri dianggap sebagai salah satu anggota pendiri sayap militer Hamas, Brigade Izz ad-Din al-Qassam.

Leave a comment