Informasi Terpercaya Masa Kini

Kisah Penerbangan Aloha Airlines 243, Atap Pesawat Robek di Udara, 1 Pramugari Terlempar ke Angkasa

0 5

KOMPAS.com – Para penumpang Aloha Airlines yang melakukan penerbangan dari Hilo menuju Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 28 April 1988 tak menduga akan mengalami perjalanan yang menguras adrenalin.

Pasalnya, atap pesawat Boeing 737 Aloha Airlines dengan kode penerbangan 243 yang mereka naiki itu tiba-tiba robek dan terlepas di udara.

Dikutip dari History, saat itu pesawat sedang membawa 95 orang yang merupakan penumpang dan kru.

Beruntung seluruh penumpang berhasil selamat dari peristiwa mengerikan itu dengan sebagian besarnya mengalami luka-luka.

Namun sayang, salah satu kru tidak dapat terselamatkan. Seorang pramugari senior bernama Clarabelle “CB” Lansing ikut terbawa bersama puing-puing pesawat yang terbang ke angkasa.

Adapun robek ini terjadi pada bagian atap belakang kokpit pilot. Tepatnya, di atas lima baris pertama kursi penumpang pesawat tersebut.

“Ini adalah salah satu peristiwa penerbangan paling luar biasa dalam sejarah. Tidak ada pesawat yang pernah mendarat dengan kerusakan seperti ini,” ungkap penyelidik kecelakaan udara, Greg Feith.

Penyelidikan Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) menyatakan bahwa kru pemeliharaan maskapai tidak mendeteksi adanya kerusakan yang signifikan pada sambungan kulit pesawat.

Baca juga: Kronologi Teknisi Pesawat di Bandara Iran Meninggal Usai Tersedot ke dalam Mesin Jet

Kronologi kejadian

Dilansir dari Independent, kejadian bermula ketika pesawat Aloha Airlines yang dipiloti oleh Kapten Robert Schornstheimer lepas landas dari Bandara Hilo pada pukul 13.25 waktu setempat.

Setelah 20 menit penerbangan, ketika pesawat berada di ketinggian 24.000 kaki atau sekitar 7.300 meter di udara, tiba-tiba terdengar suara “whoosh”.

“Tiba-tiba saya mendengar suara keras, dentuman, tapi bukan ledakan, dan merasakan perubahan tekanan yang kuat,” ucap seorang penumpang, Eric Becklin, yang duduk di bagian belakang pesawat.

Saat itu, Becklin melihat bagian depan kiri atas pesawat robek menjadi berkeping-keping dan potongan-potongannya beterbangan di udara. Awalnya, bagian atap pesawat yang robek hanya kecil, namun lama-kelamaan semakin besar.

Saat itu, penumpang dan pramugari yang berada di kabin pesawat berjuang untuk menenangkan diri secara fisik dan mental.

“Saya ingat memikirkan hal-hal seperti, ‘Saya tidak memiliki cukup asuransi jiwa’. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa mengenai hal itu,” imbuh Becklin.

Tragisnya, pramugari Lansing yang saat itu berdiri di sekitar kursi baris kelima ikut terbawa terbang bersama puing-puing pesawat.

“Dia baru saja memberikan minuman kepada istri saya,” ujar seorang penumpang lain, William Flanigan.

“Dia berhenti dan memberi tahu kami bahwa ini adalah panggilan terakhir. Kami akan turun. Lalu wusss, dia telah pergi. Tangan mereka baru saja bersentuhan saat itu terjadi,” sambungnya.

Baca juga: Kronologi Roda Pesawat United Airlines Copot Saat Lepas Landas di LA

Terjadi dengan cepat

Kapten Schornstheimer pun sama-sama terkejut dengan pesawat Aloha Airlines 243 yang ia piloti tersebut.

Saat peristiwa itu terjadi, Schornstheimer mendengar suara seperti kanvas berat yang robek dengan cepat.

“Itu terjadi hampir seketika. Tidak ada peringatan,” kata dia.

Schornstheimer mengaku bahwa kontrol pesawat menjadi terasa renggang dan pesawat bergerak sedikit ke kiri dan kanan.

“Anda hanya seperti orang linglung. Saya berbalik ke kanan dan mengenakan masker oksigen seperti yang telah dilatih. Saya memberi isyarat kepada co-pilot saya bahwa saya mengambil alih kendali pesawat,” papar dia.

Pramugari bernama Jane Sato-Tomita pingsan dengan keadaan berdarah tergeletak di lantai pesawat karena terkena puing-puing yang beterbangan.

Michelle Honda yang juga pramugari di pesawat itu mengira bahwa Sato-Tomita sudah meninggal. Namun, rupanya ia pingsan.

“Pertama kali saya melihatnya, saya pikir dia sudah meninggal,” ungkap Honda.

Honda sendiri juga terjatuh ke lantai, namun masih tersadar dan hanya menderita luka ringan akibat peristiwa itu.

Ia pun mencoba menyelamatkan diri dengan cara merangkak dan menyeret Sato-Tomito ke tempat lebih aman.

Baca juga: Sederet Insiden Pesawat Garuda Indonesia Selama Musim Haji 2024

Pesawat berhasil mendarat

Pilot Schornstheimer yang merupakan seorang veteran Angkatan Udara AS segera mendaratkan pesawat itu di bandara terdekat.

“Saya benar-benar fokus untuk berhasil. Saya tidak punya waktu untuk memikirkan apa yang akan terjadi jika saya tidak melakukannya,” terang dia.

Pesawat Aloha Airlines 243 pun berhasil mendarat di Bandara Kahului Maui, Hawaii dengan selamat tanpa adanya korban jiwa yang bertambah.

Sebanyak 65 orang di pesawat terluka dengan delapan di antaranya mengalami luka serius.

Sayangnya, tim tanggap darurat tidak siap menghadapi besarnya insiden tersebut. Saat itu, ambulans tidak cukup, sehingga korban-korban diangkut dengan kendaraan perusahaan tur untuk mendapatkan perawatan.

Baca juga: Penerbangan Delay Berjam-jam, Penumpang Qatar Airways Terjebak dalam Pesawat dengan AC Mati

Penyebab atap pesawat robek

Pesawat itu mengalami dekompresi eksplosif sebagai akibat dari kerusakan struktural atau rangka karena sudah memiliki jam terbang terlalu banyak.

Menurut laporan NTSB, pesawat tersebut telah mengumpulkan 35.495 jam terbang dan 89.680 siklus penerbangan (pendaratan).

Jumlah itu menjadi siklus penerbangan tertinggi kedua untuk armada Boeing 737 di seluruh dunia.

“Ketika Anda naik ke ketinggian, tekanan udara di luar berkurang, sehingga pesawat memiliki sistem yang menjaga udara di dalam pesawat tetap memiliki tekanan yang sama dengan tekanan udara ketika Anda berada di dekat permukaan tanah,” ungkap Kepala Rekomendasi Keselamatan NTSB, Jeff Marcus.

Ketika kulit pesawat pecah, maka semua udara di dalam pesawat tiba-tiba terbang keluar, karena tekanan di luar sangat lambat.

Ia menyampaikan, dekompresi eksplosif ini terjadi dengan sangat cepat dan memengaruhi integritas struktur bagian pesawat lainnya.

“Kami tidak pernah memiliki pesawat yang terbang selama bertahun-tahun, atau siklus penerbangan sebanyak itu, dalam situasi seperti ini,” tutur Marcus.

“Dan sayangnya, sering kali, pembelajaran justru dipetik, itulah alasan mengapa NTSB ada, Anda melakukan investigasi setelah terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan, dan Anda belajar darinya,” lanjutnya.

Baca juga: Kronologi Pesawat Korean Airlines Tujuan Taiwan Terjun Bebas 8.000 Meter

Leave a comment