Penampakan Harvey Moeis dan Helena Lim saat Dilimpahkan ke Kejari Jaksel
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI kembali melimpahkan berkas tersangka dan barang bukti atau Tahap II kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah periode 2015-2022 ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Kali ini, ada dua tersangka yang akan dilimpahkan. Mereka adalah pengusaha yang juga suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan ‘crazy rich PIK’, Helena Lim.
Dalam pantauan kumparan di lokasi, keduanya tampak tiba sekitar pukul 10.50 WIB, Senin (22/7). Keduanya datang dengan diantar mobil tahanan menuju Kejari Jaksel.
Saat berjalan memasuki Kejari Jaksel, Harvey dan Helena juga tampak mengenakan rompi merah muda khas tahanan Kejagung. Keduanya juga terlihat diborgol.
Informasi pelimpahan itu juga sempat disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar.
“Tersangka yang diserahkan penyidik ke penuntut umum adalah tersangka HM selaku swasta dan yang kedua tersangka HL selaku manajer PT QSA,” kata Harli Siregar di kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/7).
Sebelumnya, Kejagung telah melakukan pelimpahan Tahap II terhadap 16 orang tersangka dalam kasus tersebut ke Kejari Jakarta Selatan.
Adapun Kejagung juga telah menyiapkan 30 jaksa penuntut umum (JPU) untuk menangani perkara korupsi yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun ini.
“Berdasarkan informasi mungkin ada sekitar 30 jaksa yang akan dilibatkan dalam penanganan perkara ini,” kata Harli di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (13/6) lalu.
Puluhan jaksa yang bakal menangani perkara tersebut berasal dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Harli memastikan, terhadap para jaksa itu bakal diberikan pengamanan khusus.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menjerat total 22 tersangka, satu di antaranya dugaan perintangan penyidikan. Mereka yang dijerat sebagai tersangka termasuk pengusaha sekaligus suami Sandra Dewi, Harvey Moeis; bos Sriwijaya Air, Hendry Lie; serta sejumlah mantan direksi PT Timah.
Megakorupsi ini disebut menimbulkan kerugian perekonomian dan keuangan negara hingga Rp 300 triliun. Secara garis besar, modus korupsi kasus ini yakni pengumpulan bijih timah oleh sejumlah perusahaan yang diambil secara ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. Upaya itu melibatkan pejabat di PT Timah, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara.
Kerugian negara ini dihitung dari adanya kemahalan pembelian smelter, pembayaran biji timah ilegal oleh PT Timah kepada perusahaan penambang, hingga kerugian keuangan negara karena kerusakan lingkungan.