Informasi Terpercaya Masa Kini

Sosok Fathul Wahid Rektor UII Tak Ingin Dipanggil Profesor,Minta Gelar Tak Ditulis Kecuali Ijazah

0 37

TRIBUNSUMSEL.COM- Mengenal sosok Fathul Wahid, rektor Universitas Islam Indonesia (UII) jadi sorotan karena meminta gelar akademiknya tak perlu ditulis dalam korespondensi kampus serta dokumen-dokumen selain ijazah dan transkrip nilai.

Ia pula meminta agar orang yang mengenalnya tak memanggil dengan sebutan “prof.”

Diketahui, Fathul Wahid memiliki sederet gelar akademik yakni, Prof., S.T., M.Sc., Ph.D.

Namun, Fathul Wahid menerangkan latar belakang gelar akademik yang disandangnya tidak perlu dituliskan dalam surat edaran yang ditujukan untuk pejabat struktural di lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII).

Baca juga: Viral 2 Doktor Universitas di Palembang Bersaing Jadi Ketua RT, Berstatus Wakil Dekan & Wakil Rektor

Setelah lulus SD, ia pun melanjutkan pendidikan menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kudus, kemudian lulus pada 1989.

Fathul Wahid mengenyam pendidikan menengah atas di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah I Yogyakarta dan lulus pada 1992.

Selepas SMA, ia menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Fathul Wahid menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di Jurusan Teknik Informatika ITB dan lulus pada 1997.

Usai mendapat gelar Sarjana Teknik (S.T.) dari ITB, ia pun melanjutkan pendidikan magister atau Strata Dua (S2) di Department of Information Systems, University of Agder, Kristiansand, Norwegia.

Fathul Wahid lulus pada 2003 dari University of Agder dan mendapatkan gelar Master of Science (M.Sc.).

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan doktor atau Strata Tiga (S3) di Department of Information Systems University of Agder dan lulus pada 2013.

Karier Prof. Fathul Wahid

Sebelum menjadi Rektor UII, Fathul Wahid sudah pernah menempati jabatan sebagai Sekretaris Pusat Studi Kebijakan dan Pengembangan Teknologi, Fakultas Teknologi Industri, UII periode 1998-1999.

Kemudian pada periode 1999-2000, ia menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kebijakan dan Pengembangan Teknologi, Fakultas Teknologi Industri, UII.

Lebih lanjut, pada periode 2004-2005, Fathul Wahid menjabat sebagai Kepala Laboratorium Sistem Informasi dan Rekayasa Perangkat Lunak, Jurusan Teknik Informatika, UII.

Pada 2005-2006, ia menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Informatika UII.

Fathul Wahid juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknologi Industri UII periode 2006-2010.

Kala itu, ia tercatat sebagai dekan termuda di UII.

Adapun pada 2014 sampai April 2016, ia menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan Akademik, UII.

Usai mengemban tugas sebagai Kepala Badan Pengembangan Akademik, ia menjabat sebagai Kepala Badan Sistem Informasi, UII, pada Mei 2016.

Barulah pada 2018 ia resmi dilantik menjadi Rektor UII untuk periode 2018-2022. Kemudian, pada Maret 2022, ia kembali terpilih menjadi Rektor UII untuk periode 2022-2026.

Atas jabatannya sebagai Rektor, Fathul Wahid tercatat sebagai Rektor UII termuda kedua, setelah Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir yang dilantik sebagai Rektor UII paling muda di jajaran pimpinan Sekolah Tinggi Islam (STI) atau UII dari masa ke masa.

Selama mengabdi di UII, Fathul Wahid juga mendapatkan sejumlah penghargaan, meliputi Dosen Terproduktif Kedua 2004, Dosen Berprestasi Terbaik Kedua 2015, dan Dosen Berprestasi Terbaik Kedua 2017.

Selain itu, ia juga menerima penghargaan dari Brunel University, Inggris, kategori Best Paper Award, Transforming Government Workshop 2012

Fathul Wahid pun dinobatkan sebagai nominasi The Most Compelling, Critical Research Reflection, EGOV 2012 Conference tahun 2012 oleh The International Federation for Information Processing (IFIP) Working Group 8.5 University of Washington.

Pada 2015, ia juga kembali dinobatkan sebagai nominasi The Most Compelling, Critical Research Reflection, EGOV 2015 Conference oleh 2015 IFIP Working Group 8.5.

Baca juga: Heboh Rektor Universitas Riau Laporkan Mahasiswa yang Protes Kenaikan UKT Mahal, Dugaan UU ITE

Berkarier di kancah akademik, Fathul Wahid pun tergabung dalam asosiasi atau organisasi profesi, baik nasional maupun internasional.

Sejak 2012, ia bergabung sebagai anggota Association for Information Systems (AIS), AIS SIGs: Electronic Government (SIGe-Gov), dan AIS SIGs: ICT and Global Development (SIGGlobDev).

Kemudian sejak 2014, Fathul Wahid menjabat sebagai editor senior The Electronic Journal of Information Systems in Developing Countries (EJISDC).

Di tahun yang sama, ia juga tergabung dalam asosiasi editor Communications of the Association for Information Systems (CAIS).

Lebih lanjut, sejak 2017, Fathul Wahid menjadi anggota IFIP Working Group 9.4 Social Implications of Computers in Developing Countries.

Minta Gelarnya Tak Perlu Ditulis di Dokumen Kampus

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, meminta gelar akademiknya tak perlu ditulis dalam korespondensi kampus serta dokumen-dokumen dan produk hukum selain ijazah dan transkrip nilai.

Selain itu, pada unggahan akun Instagramnya, Kamis, (18/7/2024), Fathul meminta agar tidak perlu memanggilnya dengan panggilan ‘profesor’.

“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.”

Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun.

Para sahabat profesor yang setuju, ayo kita lantangkan tradisi yang lebih kolegial ini. Dengan desakralisasi ini, semoga jabatan profesor tidak lagi dikejar oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara.”  tulis Fathul Wahid dalam unggahan Instagramnya.

Sebelumnya, pada surat edaran tersebut disampaikan seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap “Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.” agar ditulis tanpa gelar menjadi “Fathul Wahid”.

Hal itu tertuang dalam surat edaran (SE) No 2748/Rek/10/SP/VII/2024.

Surat edaran tersebut ditandatangani oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid pada 18 Juli 2024.

Saat dikonformasi, Rektor UII Fathul Wahid membenarkan surat edaran yang ditandatanganinya tersebut.

Fathul Wahid kemudian menerangkan latar belakang agar gelar akademik yang disandangnya tidak dituliskan.

Diakui Fathul Wahid, upaya ini dilakukan gelarnya tidak dituliskan sudah dilakukanya sejak lama. Bahkan sejak dirinya diangkat sebagai profesor.

“Sebetulnya upaya itu sudah saya lakukan sejak lama. Sejak saya diangkat profesor, karena kami menganggap itu kan terkait dengan jabatan akademik, yang lebih punya tanggungjawab daripada berkah,” ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/07/2024).

Fathul mengungkapkan gelar memiliki tanggungjawab akademik dan moral.

Sehingga menurutnya tidak relevan untuk dicantumkam di dalam dokumen-dokumen termasuk di kartu nama.

“Tapi ini pendapat personal ya. Artinya saya tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti Saya. Saya mencoba menjadikan ini sebagai gerakan kultural, kalau ini bersambut maka itu akan sangat baik. Sehingga jabatan profesor ini lebih dianggap sebagai amanah,” tandasnya.

Terkait hal ini, Fathul berharap ke depan tidak ada orang yang mengejar gelar profesor hanya untuk status.

“Kita tidak ingin ke depan di Indonesia, sekelompok orang termasuk para politisi dan pejabat mengejar-ngejar jabatan ini, karena yang dilihat tampaknya lebih ke status ya, bukan sebagai tanggungjawab amanah,” tandasnya.

Terkait di struktural UII, Fathul Wahid membebaskan jika ada yang mengikuti langkahnya.

Namun dirinya juga tidak melarang jika ada yang tetap akan menuliskan gelar.

“Cuma kalau yang saya lakukan yang kecil ini diikuti saya akan sangat berbahagia dan kalau ini menjadi gerakan kolektif banyak kita mendesakralisasi jabatan profesor dan lebih menekankan profesor sebagai tanggungjawab amanah akademik, kita berharap profesi ini menjadi terhormat,” urainya.

Fathul Wahid berharap gerakan kecil yang dimulainya ini bisa terus bergulir.

Sehingga kemudian diikuti oleh banyak orang.

“Terus kemudian ke depan jadi profesor itu ya tanggungjawab amanah tidak sesuatu status yang kemudian diglorifikasi, kemudian dianggap suci, sakral,” pungkasnya.

(*)

Baca juga berita lainnya di Google News

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Leave a comment