Pleidoi Emirsyah Satar: Jika Waktu Bisa Diputar Saya Pilih Tak Jadi Dirut Garuda
Eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, menjalani sidang pembacaan nota pembelaan (pleidoi) terkait kasus korupsi pengadaan pesawat, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (17/7).
Emirsyah menyampaikan pleidoi pribadinya. Dalam pleidoinya, ia mengaku tak ingin menjadi Dirut PT Garuda Indonesia jika waktu dapat diputar kembali.
“Apabila waktu dapat diputar kembali, maka saya akan memilih untuk tidak menjabat sebagai Direktur Utama Garuda, karena kekhilafan yang saya lakukan telah mengecewakan seluruh rakyat Indonesia dan khususnya keluarga serta kerabat saya,” kata Emirsyah dalam persidangan.
Ia mendapat tawaran Dirut dari Menteri BUMN saat itu, Soegiharto, untuk kembali ke Garuda Indonesia yang tengah di ambang kebangkrutan.
Padahal, saat itu, Emirsyah sudah merasa nyaman dengan jabatannya sebagai Wakil Direktur Utama Bank Danamon.
“Setelah 3 kali diminta oleh Menteri BUMN, maka dengan semangat ingin berbakti kepada negara dan mengembangkan Garuda menjadi perusahaan kelas dunia, saya akhirnya menerima tawaran tersebut,” jelas dia.
Emirsyah menyebut, Garuda pada 2005 dapat dikatakan dalam keadaan praktis bangkrut. Tidak seperti Garuda di saat jayanya dengan nilai miliaran dolar dan mampu IPO di tahun 2011 dengan valuasi USD 1,8 miliar atau Rp 18 triliun di mana negara mendapatkan Rp 4,7 triliun dengan melepas 26% saham ketika IPO.
Pada tahun 2005, lanjutnya, Garuda tengah terlilit utang yang banyak. Bahkan, kas perusahaan pun tidak cukup untuk menutupi operasional. Termasuk, membayar gaji karyawan, serta kreditur mengancam menyita pesawat, artinya nilai Garuda negatif.
“Dari semua penjelasan di atas, dapat saya katakan bahwa pada intinya saya sebagai Direktur Utama Garuda beserta seluruh karyawan Garuda berhasil menyelamatkan Garuda dari kepailitan di tahun 2005 menjadi perusahaan dengan nilai USD 1,8 miliar atau Rp 17 triliun di tahun 2011 pada saat Garuda IPO,” ucap dia.
Emirsyah Bantah Intervensi Pengadaan Pesawat Garuda
Emirsyah membantah melakukan intervensi terkait pengadaan pesawat di Garuda Indonesia. Bahkan, ia juga merasa terkejut dengan tuntutan yang disampaikan jaksa.
Sebelumnya, jaksa menuntut Emirsyah dengan 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Tak hanya itu, Emirsyah Satar dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar USD 86.367.019 atau setara Rp 1,4 triliun (kurs 27 Juni 2024). Nilai yang diyakini jaksa diterima oleh Emirsyah dalam kasus tersebut.
“Tidak ada intervensi maupun pengarahan atau pemaksaan dari saya sebagai Direktur Utama untuk menentukan keputusan dikarenakan semua adalah keputusan Direksi secara kolegial,” imbuh dia.
Ia pun heran dengan dakwaan yang dijerat terhadapnya, lantaran dinilai seolah-olah Garuda Indonesia tidak menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dalam menjalankan operasional perusahaan.
Padahal, pengadaan pesawat ATR72-600 itu juga dilakukan oleh Citilink.
“Bila memang ada kerugian, maka seluruh anggota tim pengadaan, seluruh anggota Direksi, dan seluruh anggota Dewan Komisaris Garuda dan Citilink harus diminta pertanggungjawabannya. Bukan saya sendiri saja,” tutur Emirsyah.
Dia juga menyinggung vonis yang masih dijalaninya pada perkara korupsi pengadaan pesawat Garuda yang ditangani KPK pada 2020. Menurutnya, tuntutan jaksa dalam kasus ini sangat berat.
Emirsyah menegaskan sudah mengembalikan semua pemberian dari Soetikno Soedarjo. Dia berharap Majelis Hakim akan memberikan vonis bebas dalam kasus ini.
“Pleidoi ini saya sampaikan ke hadapan Yang Mulia Majelis Hakim. Semoga asas ne bis in idem dapat diputuskan untuk saya,” tandas Emirsyah.
“Demikianlah pleidoi pribadi ini saya sampaikan, dengan harapan untuk dapat menjadi pertimbangan Majelis Hakim kelak dalam memberikan putusan bebas bagi saya atas tuntutan JPU [Jaksa Penuntut Umum],” pungkasnya.
Dalam persidangan sebelumnya, Emirsyah dituntut 8 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp Rp 1 miliar. Dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Tak hanya itu, Emirsyah Satar juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar USD 86.367.019 atau setara Rp 1,4 triliun (kurs 27 Juni 2024). Nilai yang diyakini jaksa diterima oleh Emirsyah dalam kasus tersebut.
Jaksa menyebut, dalam hal jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti itu, maka dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun.
“Atau apabila terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari kewajiban pembayaran dari uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti kewajiban membayar uang pengganti,” pungkas jaksa.
Dalam kasus ini, Emirsyah Satar didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan pesawat pada PT. Garuda Indonesia tahun 2011-2021.
Pengadaan itu yakni 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011. Serta proses pengambilalihan pengadaan pesawat ATR72-600.
Rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut, baik tahap perencanaan maupun tahap evaluasi, diduga tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia.
Kejaksaan Agung menilai hal ini menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar USD 609.814.504,00. Angka tersebut bila dirupiahkan kurang lebih sekitar Rp 9,3 triliun.
Nilai kerugian tersebut timbul karena pada satu sisi ada yang yang mengambil keuntungan secara ilegal dalam pengadaan pesawat di Garuda tersebut.
Perbuatan ini dilakukan Emirsyah Satar bersama-sama VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012, Setijo Aribowo; VP Treasury Management Garuda Indonesia 2005-2012, Albert Burhan; Executive Project Manager Aircraft Delivery Garuda Indonesia 2009-2014, Agus Wahjudo; Direktur Teknik & Pengelolaan Armada Garuda Indonesia 2007-2012, Hadinoto Soedigno; dan mantan Dirut PT Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo, dalam melaksanakan pengadaan armada pesawat sub-100 seater Bombardier CRJ-1000 dan Turboprop ATR 72-600 dengan melawan hukum.
Atas perbuatannya, Emirsyah Satar didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Emirsyah Satar kini mendekam di Lapas Sukamiskin terkait perkara lain di KPK. Pada kasus tersebut, Emirsyah terbukti menerima suap mencapai Rp 46,3 miliar terkait pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.