Informasi Terpercaya Masa Kini

Jenderal IDF Bongkar Aib Panglima Perang Israel: Tumpuk Senjata Tak Berguna,Pangkalan Udara Rentan

0 33

Jenderal IDF Bongkar Aib Panglima Perang Israel: Tumpuk Senjata Tak Berguna, Pangkalan Udara Rentan Kena Rudal Hizbullah

TRIBUNNEWS.COM – Jenderal IDF Israel yang pernah bertugas di Korps Lapis Baja sebagai komandan brigade, Yitzhak Brick melontarkan kritik keras terhadap Kepala Staf tentara pendudukan Israel, Herzi Halevi, Kamis (11/7/2024).

Brick yang memimpin divisi dan pasukan serta menjabat sebagai komandan perguruan tinggi militer IDF membuka ‘aib’ Herzi Halevi sembari mengatakan Panglima Perang Israel itu menyebabkan keruntuhan IDF karena kelalaian dan kesalahannya.

Baca juga: Investigasi Israel Soal Operasi Banjir Al-Aqsa 7 Oktober: Tank IDF Bunuh Puluhan Pemukim Sendiri

“Dia adalah contoh seseorang yang kehilangan harga dirinya agar tetap pada posisinya,” kata Brick dilansir Khaberni dari Maariv, dikutip Sabtu (13/7/2024).

Brick yang juga veteran Perang Yom Kippur dan dianugerahi Medali Keberanian mengatakan kalau Herzi Halevi tidak menyiapkan pangkalan dan landasan Angkatan Udara Israel untuk menghadapi rudal presisi dan drone yang mungkin diluncurkan ke pangkalan Israel.

Rentannya pangkalan udara dari serangan ini, kata dia, dapat mengganggu kemampuan pesawat tempur Israel untuk lepas landas atau mendarat dari misi mereka. 

Mengenai angkatan darat, purnawirawan jenderal itu menyalahkan Kepala Staf IDF karena tidak berencana mengompensasi kekurangan personel yang terjadi setelah pengurangan 6 divisi, termasuk dalam 20 tahun terakhir.

Baca juga: Perang Para Jenderal di Tentara Israel Mulai Terungkap, Herzi Halevi Mengadu ke Tembok Ratapan

“Hal ini membuat mustahil untuk menang di Jalur Gaza, apalagi memenangkan perang regional yang mengharuskan seseorang berperang di berbagai medan perang pada saat yang bersamaan,” kata Brick merujuk pada rencana IDF menginvasi Lebanon guna memukul mundur Hizbullah dari garis perbatasan.

Brick juga mengkritik persiapan tentara IDF yang dipimpin Halevi sebelum tanggal 7 Oktober lalu.

Ketidaksiapan ini, mengarah pada apa yang dianggapnya sebagai “kegagalan terburuk dalam sejarah Israel,”.

DIa juga menekankan kalau jika Hizbullah memutuskan untuk melancarkan serangan simultan dengan Hamas, Israel akan mengalami kondisi mengerikan.

“Situasinya akan sangat buruk. Berkali-kali lebih buruk,” ujarnya.

Pensiunan jenderal tersebut menuduh Kepala Staf berkontribusi terhadap peningkatan disiplin dan verifikasi perintah di kalangan prajurit IDF.

“Kepemimpinannya (Halevi) menyebabkan kurangnya kredibilitas dalam penyelidikan dan penyebaran budaya kebohongan,” katanya.

Senjata Tidak Berguna

Herzi Halevi juga dituduh Brick menginvestasikan bantuan AS sebesar 18 miliar dolar AS selama sepuluh tahun terakhir untuk membeli lebih banyak pesawat tempur, yang menurut Brick “tidak akan relevan dalam perang yang akan datang pada dekade berikutnya.”

Brick menyerukan agar Israel lebih memperbanyak dan mengandalkan “alat pertahanan yang lebih efisien dan lebih murah, seperti laser,” mengingat sistem pertahanan macam David’s Sling dan Iron Dome tidak praktis.

Brick  mengatakan bahwa Halevi tidak memahami “karakteristik perang dan membeli drone yang dibutuhkan Israel.”

Pensiunan jenderal tersebut menyatakan bahwa Halevi “sedang mencoba untuk menunda akhir masa jabatannya” untuk tetap pada posisinya sebagai kepala staf, dan dengan demikian mempercepat berakhirnya angkatan bersenjata.

Kebodohan Berulang

Terkait kelemahan IDF dalam perannya bagi keamanan Israel, Jenderal tinggi Pentagon, Selasa (21/5/2024) silam juga mengkritik strategi militer tentara Israel dalam upaya mereka memberantas gerakan Hamas di Gaza.

Jenderal tersebut menilai, Israel melakukan kebodohan berulang karena tidak menduduki wilayah yang telah mereka kuasai di Gaza.

Alih-alih menetap, tentara Israel memilih untuk mundur dan menarik pasukan dari wilayah tersebut setelah “membersihkan” wilayah tersebut dari pejuang Perlawanan Palestina, kata sang jenderal menurut laporan Politico.

Baca juga: Israel Salah Langkah di Jabalia, Al Qassam Robohkan 30 IDF Sekali Tepuk, Jenderal Ambruk di Zaytoun

“Anda tidak hanya harus benar-benar masuk dan menyingkirkan musuh apa pun yang Anda hadapi, Anda juga harus masuk, mempertahankan wilayah tersebut, dan kemudian Anda harus menstabilkannya,” kata Jenderal Charles Brown, komandan kepala staf gabungan pasukan AS , berdasarkan pengalaman sebelumnya di Timur Tengah.

Patut dicatat, pasukan Israel berulang kali dipaksa mundur dari wilayah yang mereka klaim telah mereka kuasai karena serangan dari milisi Perlawanan Palestina.

Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah

Brown mengatakan, taktik perang Israel yang meninggalkan suatu daerah setelah “mengusir pejuang Hamas” pada kenyataannya memberikan peluang kepada milisi Perlawanan untuk menggalang ulang kekuatan.

Hal ini jelas mempersulit IDF untuk menstabilkan situasi di lapangan wilayah yang mereka klaim sudah bisa ‘dibersihkan’.

Dia juga mengklaim kalau langkah IDF menarik mundur pasukan dan keluar dari wilayah yang sudah dikuasai tersebut “merusak upaya kemanusiaan” di Gaza.

Setelah pasukan pendudukan Israel membersihkan lokasi para petempur milisi perlawanan, mereka tidak bertahan (menetap), sehingga memungkinkan musuh untuk menetap kembali di daerah tersebut jika Anda tidak berada di sana,” kata komandan tertinggi militer AS tersebut.

“Harus kembali ke tempat yang sama berkali-kali “membuatnya menjadi tantangan [bagi Israel] dalam mencapai tujuan mereka untuk menghancurkan dan mengalahkan Hamas secara militer,” tambah Brown.

Hamas Bukan Sekadar Organisasi

Ia juga membahas tantangan pendudukan Israel dalam memerangi kelompok Perlawanan Palestina.

“Hamas bukan sekadar organisasi, tapi sebuah ideologi,” katanya.

Secara gamblang, Brown menjelaskan kalau Hamas adalah partai penguasa utama di Gaza sejak tahun 2005.

“Jadi, Anda harus memikirkan keseluruhan upaya untuk memberikan keamanan tidak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi seluruh wilayah di dunia,” katanya.

Perang di Gaza sudah mendekati bulan ke-8, namun tidak ada satu pun tujuan militer yang ditetapkan Israel telah tercapai.

Sementara itu, ketegangan internal di Israel, pada tingkat pemerintahan, kabinet perang, dan masyarakat, semakin meningkat karena kurangnya visi dan strategi baik selama perang maupun mengenai “The Day After”.

Netanyahu Enggan Bahas ‘The Day After’

The New York Times mengatakan dalam sebuah laporan pekan lalu bahwa kegagalan untuk mencapai rencana pada topik ‘The Day After’ telah memaksa pasukan pendudukan Israel untuk kembali menyerang wilayah di Gaza utara, yang sebelumnya diklaim telah mereka kuasai setidaknya dua kali.

Para pejabat militer Israel semakin frustrasi terhadap pemerintah, kata surat kabar itu, dan menambahkan bahwa mereka menjadi lebih vokal dalam menyampaikan kritik mereka, terutama setelah peluncuran invasi “skala terbatas” Rafah awal bulan ini.

Baca juga: 3 Hal di Balik Remuknya Israel di Jabalia: IDF Salahkan Politisi, Qassam Kini Kuasai Jurus Hizbullah

Menurut mereka, keengganan Netanyahu untuk terlibat dalam diskusi ‘The Day After War” telah memfasilitasi kemampuan Hamas untuk membangun kembali kekuatannya, khususnya di daerah seperti Jabalia di Gaza utara – di mana militer IDF terpaksa melancarkan serangan lagi.

Baca juga: Operasi Gabungan Al-Qassam, Al-Quds, DFLP di Rafah-Jabalia Bingungkan Tentara Israel: IDF Mandi Bom

Setelah hampir mencapai kesepakatan gencatan senjata awal bulan ini ketika Hamas mengumumkan kalau mereka telah menerima kesepakatan yang diusulkan, Netanyahu menyabotase perundingan tersebut, dengan mengumumkan bahwa perang di Gaza akan berlanjut hingga “kemenangan mutlak.”

Hal ini terjadi meskipun kesepakatan yang disetujui Hamas telah disetujui sebelumnya oleh entitas tersebut dan Amerika Serikat.

“Gaza membutuhkan “demiliterisasi berkelanjutan oleh Israel” terlebih dahulu, karena “tidak ada seorang pun yang akan datang sampai mereka tahu bahwa Anda telah menghancurkan Hamas, atau Anda akan menghancurkan Hamas,” kata Netanyahu dalam sebuah wawancara Senin lalu.

Para ahli strategi Israel pada awalnya mengantisipasi pasukan memasuki kembali wilayah tertentu di Gaza pada tahap akhir perang.

Namun, mengutip dua pejabat Israel, NYT mengatakan memulai pembentukan badan pemerintahan baru di Gaza akan menimbulkan tantangan dan berpotensi meringankan beban militer Israel.

(oln/khbrn/almydn/*)

Leave a comment