Faisal Basri Sebut Defisit 2024 Bengkak Imbas Pembangunan IKN
Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyebut pembangunan IKN di Kalimantan Timur menjadi salah satu faktor membengkaknya defisit APBN 2024.
Adapun, pemerintah menaikkan outlook defisit menjadi 2,70 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara dengan Rp 609,7 triliun. Angka ini lebih tinggi dari target pemerintah dalam UU APBN 2024 sebesar 2,29 persen dari PDB atau secara nominal Rp 522,8 triliun.
Tak hanya pembangunan IKN, belanja tambahan seperti biaya pembayaran bunga utang, tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan anggaran tambahan subsidi energi juga memicu bengkaknya defisit tahun ini.
“Ada belanja tambahan misalnya PMN kemarin mereka rapat di hotel minta tambahan PMN, bayar bunganya naik, ini jadi upacara 17 Agustus di IKN itu biayanya mahal banget, tambahan subsidi,” kata Faisal kepada wartawan di Kompleks Parlemen RI, Rabu (10/7).
Faisal melanjutkan, faktor utama bengkaknya defisit APBN karena turunnya penerimaan negara termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurutnya, penurunan penerimaan PNBP disebabkan oleh volatilitas harga komoditas.
“Profit dari perusahaan komoditas juga turun karena harganya turun. Saya tidak terlalu tahu persis, tapi PPN PPnBM itu kemungkinan juga turun,” ungkap Faisal.
Membengkaknya defisit APBN 2024 terjadi karena outlook penerimaan negara dari perpajakan tidak akan mampu mencapai target yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, perpajakan hanya akan mencapai Rp 2.218,4 triliun atau 96 persen dari target.
Sementara belanja negara diproyeksikan akan melebihi target 103,7 persen dari pagu atau mencapai Rp 2.558,2 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku akan menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp 100 triliun. Rencananya, tambahan SAL tersebut digunakan untuk membiayai melebarnya defisit APBN 2024.
Sri Mulyani menjelaskan penambahan penggunaan SAL tersebut merupakan langkah strategis pemerintah menjaga penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tetap rendah. Meski defisit melebar ke level 2,7 persen dari PDB.
“Meskipun defisitnya naik, penerbitan SBN-nya tidak naik, malah justru lebih rendah Rp 214,6 triliun,” katanya.