Cut Nyak Dien, Wanita Perkasa yang Tragis Akhir Hayatnya Harus Jauh dari Rakyatnya
[ARSIP Hai]
Cut Nyak Dien wanita perkasa yang tak rela Aceh yang begitu dicintainya dikuasai Belanda. Akhirnya hayatnya dia dibuang ke pengasingan, jauh dari tanah kelahirannya.
Tayang pertama di Majalah HAI dengan judul ‘Cut Nyak Dien’ pada 1986
—
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-Online.com – Cut Nyak Dien, namanya. Tegas, pantang menyerah dan tak pernah ada kata kompromi dengan penjajah Belanda. Pun ketika usianya mulai uzur, badannya lemah karena rongrongan penyakit.
Kakinya terserang encok. Matanya rabun, makanan sulit didapat dalam pengembaraannya di hutan. Dia tetap memilih tinggal di hutan sambil mengadakan perlawanan.
Seorang tangan kanannya, yang tak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien mencoba meringankan beban junjungannya. Tanpa setahu seorang pun, dia menghubungi Belanda.
Dengan bantuannya, Belanda berhasil menangkap Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien mencabut rencong dan berusaha menusuk seorang serdadu Belanda. Ketika gagal, dia berusaha membunuh diri. Ini pun gagal. Dalam sandiwara kepahlawanan digambarkan dia berhasil membunuh sang pengkhianat.
—
Dia istri dua pahlawan perjuangan Aceh. Dua kali dia menjadi pendamping yang setia pejuang-pejuang Aceh, Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar. Suami pertama gugur dalam perang. Kemudian dia menikah dengan seorang saudara jauhnya, Teuku Umar.
Untuk kedua kalinya dia harus merelakan suaminya, Teuku Umar pun gugur di tangan Belanda. Sejak itu, Cut Nyak Dien, berjuang sendiri, dibantu para pengikut Teuku Umar. Dia dengan penuh semangat keluar masuk hutan, memberi semangat pada rakyat Aceh, untuk meneruskan perjuangan Teuku Umar.
Perang Aceh mulai berkecamuk ketika Belanda mengambil daerah Siak, daerah taklukan kerajaan Aceh, tahun 1857. Baru benar-benar berkobar tahun 1873, ketika Belanda mempunyai kekuasaan penuh menguasai daerah Aceh berkat perjanjian dengan Inggris.
Cut Nyak Dien, putra bangsawan Nanta Setia, ikut mendampingi ayah dan suaminya bertahan terhadap gempuran Belanda.
Ketika daerah mereka berhasil dikuasai Belanda, seluruh keluarga Nanta Setia mundur masuk hutan sambil terus mengadakan perlawanan.
Cut Nyak Dien kemudian pindah dengan suami dan ayahnya. Bersama ibu dan seluruh keluarga, mereka mengungsi ke Montasik. Sejak saat itu dia tak pernah bertemu dengan suaminya, Ibrahim Lamnga. Baru dua tahun kemudian dia bertemu suaminya yang telah menjadi mayat, tahun 1878.
Dua tahun kemudian dia menikah dengan Teuku Umar, yang bergabung melawan Belanda. Baru setahun mereka menikah, Teuku Cik di Tiro mengobarkan kembali perlawanan terhadap Belanda.
Melihat istri Teuku Mayet selalu ada di samping suaminya, Cut Nyak Dien pun mulai melibatkan diri dalam setiap pertempuran. Dia makin yakin akan perjuangannya, ketika tahu istri Teuku Mayet memilih mati syahid daripada diobati Belanda.
Perang sabil di Aceh memang penuh cerita kepahlawanan. Belanda kalang kabut menghadapi perjuangan rakyat Aceh dalam membela agama dan tanah leluhurnya. Satu gugur, akan muncul penggantinya.
Istri, anak, bahkan seluruh keluarga akan muncul menggantikan sang pahlawan.
Teuku Umar yang semula berjuang bahu membahu dengan rakyat Aceh, tiba-tiba berubah arah. Dia mau kerja sama dengan Belanda. Di sini mulai timbul kesulitan bagi Cut Nyak Dien. Dia dan sebagian besar rakyat Aceh mencurigai dan membenci Teuku Umar.
Dia yang berjuang melawan Belanda sekarang harus tinggal serumah dengan seorang pengkhianat, yang suaminya sendiri. Berkali-kali Cut Nyak Dien menyatakan ketidaksetujuannya. Tapi Teuku Umar tetap pada pendiriannya. Sebagai istri dia tak bisa berbuat banyak. Walau tak setuju dia tetap mendampingi Umar
Belanda dengan bantuan Umar berhasil mengusir Pasukan Amin, yang lebih banyak mengganggu daripada melindungi penduduk.
Puncak kebencian Cut Nyak Dien, ketika Umar dengan terang-terangan memihak Belanda. Bahkan dia kemudian diangkat sebagai Panglima Perang Besar oleh Belanda. Dia dipercaya Belanda membersihkan Aceh dari pengacau.
Umar, sejak bergabung dengan Belanda bisa hidup tenang. Keluarga Nanta Setia kembali ke tanah leluhurnya, VI Mukim.
Hasil kerjasama Umar dengan Belanda, sebetulnya, rumah Teuku Umar dikawal seperti layaknya rumah pejabat Belanda. Yang berkunjung di rumahnya pun bukan lagi pejuang Aceh, tapi sekutu Belanda. Umar hidup dalam kemewahan dan kebesaran. Tinggal Cut Nyak Dien yang harus menahan diri, demi suaminya.
Tapi dia tetap tak mau berhubungan dengan tamu-tamu suaminya, orang kapir, begitu anggapan Cut Nyak Dien.
Teuku Umar memang berhasil mengamankan Aceh dari gerombolan pengacau. Ini taktik Umar sebetulnya untuk dapat mengeruk bantuan senjata Belanda. Hanya beberapa orang saja, yang dekat dengannya, mengerti siasat Umar. Untuk mengecoh Belanda, dia kadang mengadakan perang pura-pura, setelah sebelumnya diam-diam menghubungi pejuang-pejuang Aceh.
Belanda makin percaya padanya. Tapi setelah berkali-kali didesak Cut Nyak Dien dan setelah yakin mendapat bantuan senjata cukup banyak, Umar balik menyerang Belanda. Kembalinya Umar ke pihak rakyat disambut penuh kegembiraan. Tapi bagi Belanda, Umar menjadi musuh nomer satu.
Suatu hari, ketika Umar sedang siap-siap melancarkan serangan ke pihak Belanda, ternyata tindakannya tercium mata-mata Belanda. Kedatangannya disambut tembakan-tembakan Belanda. Pertempuran seru pun pecah. Dua peluru menembus dada Umar.
Sekali lagi, Cut Nyak Dien harus melihat pahlawannya meninggal di tangan Belanda.
Wanita yang penuh semangat juang ini bangga suaminya gugur sebagai pahlawan, bukan pengkhianat seperti sangkanya semula. Cut Nyak Dien kemudian bertekad meneruskan perjuangan suami, yang juga cita-cita seluruh rakyat Aceh, menghalau Belanda dari seluruh Aceh.
Enam tahun lamanya Cut Nyak Dien berhasil menghindari sergapan Belanda. Penderitaan pun dijalani dengan tabah, demi agama dan tanah leluhurnya. Usianya sekitar 55 tahun, ketika dia ditangkap Belanda atas petunjuk Pang Laot, justru orang kepercayaan Cut Nyak Dien.
Sesuai dengan perjanjian Belanda dan Pang Laot, Cut Nyak Dien dibawa ke Kutaraja dan diperlakukan dengan baik. Sesuai dengan martabatnya, seorang bangsawan. Matanya yang rabun diobati, begitu juga dengan encok di kakinya. Dia ditempatkan di sebuah rumah lengkap dengan pelayan.
Rumahnya kemudian banyak dikunjungi orang, terutama para pejuang Aceh. Juga orang-orang yang semula menyangka Cut Nyak Dien meninggal ditembus peluru Belanda.
Tapi ternyata tamu yang banyak itu membawa malapetaka bagi Cut Nyak Dien. Belanda mencurigainya membuat permufakatan dengan para pejuang Aceh untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Dia kemudian dibuang ke Sumedang.
Selanjutnya Cut Nyak Dien hidup dalam pembuangan hingga akhir hayatnya. Bahkan jenazahnya pun tak boleh dibawa ke Aceh. Dia dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat. Hingga akhir hayatnya, dia menderita, tak boleh kembali ke Aceh, tanah leluhur yang sangat dicintainya serta rakyat yang selalu dibelanya. Cut Nyak Dien meninggal 6 November 1908, tiga tahun setelah dipisahkan dari rakyatnya.
[…]