Separuh Warga RI Doyan Makan Gorengan: Pedagang Cuan, Omzet Puluhan Juta Sebulan
Sudah separuh umur Iwan dihabiskan untuk melakoni profesi sebagai penjual gorengan. Pemuda yang kini berusia 30 tahun itu, sudah mengadu nasib di ibu kota Jakarta dengan berdagang gorengan sejak 2005, 15 tahun silam.
Dalam rentang waktu itu, di tengah berbagai isu ekonomi, pandemi hingga resesi yang melemahkan daya beli, pedagang gorengan tetap eksis.
Bahkan di tengah turunnya daya beli masyarakat, Iwan bilang dagangannya tetap laris dan tidak mengalami penurunan jumlah pembeli. Bakwan dan tahu goreng jadi dua teratas jenis gorengannya yang paling laris.
Sehari-hari, Iwan berjualan gorengan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Iwan mengaku modal yang Ia keluarkan ada di kisaran Rp 800 ribuan. Dengan modal tersebut, Iwan bisa meraih omzet kotor di kisaran Rp 1,3 juta sampai Rp 1,4 juta.
“Omzetnya paling Rp 1.300.000 sampai Rp 1.400.000, modal sekitar Rp 800.000-an,” kata Iwan, penjual gorengan, kepada kumparan.
kumparan juga menemui Budi (48) yang berjualan gorengan di sekitar Kemang, Jakarta Selatan. Tahu pedas jadi menu andalan yang dijajakan Budi.
“Tahu pedas, di sini yang terkenal tahu pedasnya,” kata Budi menceritakan gorengan yang disukai pembeli.
Selama lebih dari 20 tahun berjualan gorengan, Budi bilang dalam sehari dagangannya biasanya dibeli oleh 50 sampai 100 orang. Kebanyakan mereka merogoh kocek sebesar Rp 20.000 untuk membeli berbagai jenis gorengan.
Dengan begitu, Budi dalam kondisi yang tidak terlalu ramai bisa mendapatkan omzet kotor hingga Rp 1,2 juta. Untuk urusan modal, Budi bilang Ia memerlukan Rp 800 ribu sampai Rp 900 ribu guna membeli bahan untuk dagangan.
“Kalau orangnya enggak bisa ditentuin ya, kadang 100 orang, 50 orang, kalau rata-rata yang beli kan Rp 20.000. Kalau Rp 1.200.000 (omzet per hari), kan tinggal kali. Kalau sekarang sih enggak begitu (ramai), standar aja. Rata-rata (omzet) sehari Rp 1.200.000,” ungkapnya.
Tak hanya di pinggir jalan, ternyata gorengan juga dapat dengan mudah ditemui di dalam mal. Salah satu mal yang menyediakan segmen khusus gorengan adalah AEON Mall, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Di sini, pengunjung dapat dengan mudah menemui banyak gorengan di bagian Food Street AEON Mall Tanjung Barat.
Namun, gorengan di sini agak berbeda dengan gorengan biasanya. Jika di pinggir jalan yang biasanya laris adalah tahu, tempe, bakwan dan cireng, maka yang ada di sini adalah berbagai macam gorengan berbau Jepang.
Mulai dari karaage, tempura, dan kakiage atau bakwan Jepang. Harga gorengan di sini pun agak berbeda, ada di kisaran Rp 9.000 sampai Rp 15.000 per item.
Gorengan Jadi Pengganti Makanan Utama
Dalam publikasi berjudul ‘Cerita Data Statistik untuk Indonesia-Kehidupan Sehat dan Sejahtera’ yang dipublikasi pada 30 September 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk yang mengkonsumsi gorengan meningkat hingga 51,7 persen pada tahun 2023 dibanding sebelumnya 45 persen pada 2018.
Tercatat juga bahwa makanan berlemak/berkolesterol/gorengan itu dikonsumsi rata-rata oleh anak usia 3 tahun ke atas yang memakannya sebanyak 1 sampai 6 kali seminggu.
Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi mi instan. Untuk proporsi kebiasaan mengkonsumsi mi intan atau makanan instan lainnya naik sebesar 60,7 persen. Namun kenaikan ini tidak terlalu tinggi dibandingkan pada tahun 2018 yakni 58,5 persen.
Ekonom pangan dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menyebut bagi masyarakat Indonesia, gorengan dapat menggantikan makanan utama seperti nasi, roti, dan mi instan. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh harga gorengan yang terjangkau dan mudah ditemukan.
“Dalam hal pemenuhan makanan, beberapa konsumen menggantikan pangan utama seperti nasi, roti, mi dengan gorengan. Gorengan jadi barang substitusi karena harganya terjangkau, mudah ditemukan dan mengenyangkan,” kata Eliza.
Hal ini juga tercermin dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024. Dalam data tersebut, pengeluaran per kapita masyarakat selama seminggu lebih banyak dikeluarkan untuk gorengan ketimbang mi instan dan roti.
Pengeluaran per kapita masyarakat selama seminggu untuk gorengan mencapai Rp 2.996, lebih tinggi dari pengeluaran untuk mi instan di angka Rp 2.564 atau roti di angka Rp 2.248.
“Gorengan itu lebih tinggi dibandingkan untuk membeli mi instan dan roti. Buat gorengan itu rata-rata spendingnya Rp 2.996 dibulatkan jadi Rp 3.000 per minggu sementara untuk mi hanya Rp 2.564 dan roti manis itu Rp 2.248,” lanjut Eliza.
Selain itu, Eliza juga menunjukkan rata-rata konsumsi per kapita masyarakat dalam sebulan untuk mi instan dan beras terus menurun sejak 2022.
“Rata-rata konsumsi per kapita mi instan sejak maret 2022 itu tren nya terus turun sampai maret 2024. Beras juga menurun,” jelasnya.
Dalam data yang sama, konsumsi beras per bulan pada Maret 2021 di angka 6.700 turun menjadi 6.499 pada Maret 2024. Selain itu, mi instan juga mengalami penurunan dari 4.807 pada Maret 2022 turun menjadi 3.708 pada Maret 2024.
Jajan Gorengan ala Anak Muda
Pengeluaran anak muda untuk jajan gorengan juga sangat beragam. Salsyabilla Sukmaningrum yang merupakan pemudi asal Bogor mengungkap pengeluaran untuk jajan gorengan bersama para temannya ada di kisaran Rp 10.000 sampai Rp 15.000.
“Biasanya kalau membeli gorengan itu bisa Rp 10.000-Rp 15.000, cuma itu untuk ramai-ramai ya, bukan untuk sendiri, mungkin kalau untuk konsumsi sendiri Rp 5.000 sih gorengannya itu juga gorengan kan macem-macem,” cerita Salsya.
Salsya juga mengungkap dirinya tidak hanya menyukai gorengan ‘abang-abang’ yang ada di pinggir jalan. Ia juga bercerita kerap membeli berbagai jenis gorengan, seperti gorengan Korea dan gorengan Jepang.
“Kaya makanan Korea, makanan Jepang, itu kan juga ada varian gorengannya kan, itu juga kadang suka beli. Jadi enggak hanya terbatas gorengan abang-abang aja, gitu,” terus Salsya.
Fhandra Hardiyon mengaku kerap menjadikan gorengan sebagai makanan berat.
“Bukan hanya sekadar camilan atau apa tapi gorengan itu bisa dimakan sebagai makanan berat. Dan yang pertama itu variasinya sih menurut gue, karena di dalam gorengan kan macem-macem jadi enggak hanya satu jenis aja,” kata pemuda asal Bogor itu.
Fhandra mengaku menyukai gorengan karena banyaknya jenis gorengan yang dapat dibeli dalam satu plastik. Untuk sebungkus gorengan yang dimakan sendiri, Fhandra biasanya mengeluarkan uang Rp 10.000.
“Dalam satu hari itu gue mengkonsumsi satu plastik gorengan, dalam satu plastik itu harganya Rp 10.000 paling mahal gue beli Rp 10.000,” cerita Fhandra.
Selaras dengan Fhandra, Mochamad Ericson atau Icon merasa kalau gorengan itu memiliki berbagai nilai menarik, mulai dari murah sampai banyaknya varian.
“Gorengan tuh tergolongnya murah, kalau kita lagi nongkrong bisa beli buat sharing aja. Terus karena gorengan itu variannya banyak. Ada yang gurih lah, terus kalau misalkan kita lagi ngopi ada yang manis juga ada molen, ada pisang goreng, ada ubi,” kata Icon.
Pemuda asal Banten itu biasanya membeli gorengan seminggu sekali atau tiga minggu sekali. Dana yang dikeluarkan Icon untuk jajan gorengan berkisar di angka Rp 15.000 sampai Rp 25.000.
“Paling Rp 25.000 seminggu sekali, atau pas lagi sering Rp 15.000 buat tiga hari (tiga hari sekali), tapi sharing,” lanjut Icon.