Doom Spending, Dua Kata yang Bisa Bikin Dompet Gen Z dan Milenial Jebol
SEMARANG – Akhir-akhir ini sedang ramai di media mengenai istilah Doom Spending yang menjerat Gen Z dan Milenial, konon bisa menjadi penyebab kemiskinan. Lantas apa itu Doom Spending? Simak pembahasan di bawah ini, ya.
Pernah gak sih kamu ngerasa kayak hidup lagi main roller coaster? Naik turunnya emosi bikin kepala pusing. Pas lagi down, tiba-tiba muncul godaan buat belanja seenak udel.
Beli baju baru lah, sepatu baru, atau mungkin gadget canggih yang fiturnya aja kamu belum paham, padahal itu semua tidak terlalu dibutuhkan.
Namun, hal itu tidak seratus persen kesalahan sih. Tapi, hati-hati lho ya, perilaku seperti itu bisa bikin dompet jebol. Apalagi kamu yang belum punya arus keuangan stabil. Iya kamu, siapa lagi?
Gampangnya, doom spending itu adalah bentuk self-reward yang kurang sehat. Ketika lagi sedih atau strees, otak kita kayak ngasih sinyal buat cari kesenangan instan.
Nah, salah satu cara yang paling gampang adalah dengan belanja. Tapi ingat ya, kesenangan yang didapat dari belanja itu biasanya sementara, apalagi ketika beli hanya untuk menuruti ego, ditambah dari hasil pinjol, haduw. Jangan ya dek ya. Penjelasan di atas mungkin sedikit gambaran akan istilah Doom Spending.
Data Ngeri, Apa karena Doom Spending?
Perlu diketahui, menurut data OJK pada tahun 2022, ternyata gen Z dan milenial memiliki hutang yang lebih banyak daripada generasi lain, lho.
Salah satunya terlihat dari data kepemilikan rekening dan jumlah piutang pada layanan jasa keuangan. Ternyata 62% rekening jasa keuangan bersama dimiliki oleh nasabah usia 19-34 tahun.
Selain itu, tidak jauh dari angka tersebut, 60% pinjaman juga disalurkan kepada nasabah usia 19-34 tahun. Artinya, pengguna layanan jasa keuangan bersama didominasi oleh Gen Z dan Milenial. Hayo, jangan-jangan ada namamu di sana.
Tapi, tenang saja. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan Gen Z dan Milenial, kok. Data terbaru pada tahun 2024 menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 65,4 %, sedangkan untuk indeks inklusinya sebesar 75,02%.
Nah, untuk generasi muda mulai dari 18-35 tahun, mempunyai pemahaman literasi 70,19 % – 74,82 %. Sedangkan untuk inklusinya mencapai 79,21% – 84,28 %. Itu tandanya literasi keuangan masyarakat kita kian meningkat. Tapi entah dengan penerapannya, semoga sih sesuai, ya.
Ngomong-ngomong, inklusi itu kondisi ketika ketersediaan akses terhadap berbagai produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Alah, pasti kamu juga sudah tahu dong, iya kamu. Siapa lagi?
Belanja itu Boleh, Tapi Jangan Sampai Candu
Siapa sih, di sini yang tidak tertarik ketika melihat barang branded ada di balik layar gadget atau etalase mall? Tentu itu menjadi sebuah hal yang menyenangkan ketika kita bisa membelinya. Tapi, sewajarnya aja kali, jangan sampai kecanduan.
Apalagi hanya sebatas untuk menuruti gengsi dengan mengesampingkan fungsi, jangan ya dek ya, itu tidak baik untuk kesehatan, dan tentu akan membuat dompet kamu jebol.
Tujuan yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini sebenarnya hanya ingin menumbuhkan dan berbagi sedikit mengenai mindset literasi finansial. Karena hal ini sangat penting untuk digencarkan di tengah-tengah maraknya kehidupan hedonisme.
Jadi, daripada buang-buang sesuatu yang kurang penting, lebih baik kita investasikan uang, energi, dan waktu kita untuk hal-hal jangka panjang yang lebih bermakna.
Di antara tolak ukur kemajuan sebuah negara bisa dilihat dari sektor ekonominya, walaupun hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Akan tetapi itu bisa dimulai dengan mindset kita mengenai uang, perbanyak dulu kolom aset sebelum mengalir deras di kolom pengeluaran. Tentu hal ini akan membawa kita ke dalam kebebasan finansial atau bahasa kerennya financial freedom. Begitulah pemikiran Robert T. Kiyosaki dalam Rich Poor Dad.
Tapi, pembahasan mengenai finansial merupakan hal yang tabu di budaya Indonesia. Dan apa mungkin ini yang menjadikan salah satu penyebab Indonesia menjadi negara berkembang dari dulu sampai sekarang? Tidak lain karena masyarakatnya lebih mengedepankan sifat konsumtif.
Ah, saya rasa ini sudah menjadi ranah pemangku jabatan di sana, agar mampu memecahkan permasalahan, tidak duduk santai saja di bangku kekuasaan.
Di sisi lain, saya sangat senang rasanya jika kamu sudah mengerti mengenai literasi finansial. Namun, yang tidak saya bayangkan bagaimana dengan kondisi teman-teman kita yang belum mengerti akan literasi finansial?
Jangan sampai dong mereka terjerumus dalam perilaku doom spending. Bagaimana jadinya jika Indonesia ke depan masih diisi oleh generasi muda yang lebih mementingkan gaya hidup? Yah, semoga saja tulisan ini bisa tersampaikan kepadanya.
Dalam hal ini kita tidak harus berfikiran sama, tapi mari bersama kita berfikir. Mohon maaf mengganggu waktu kamu, ya. Selamat menjalankan aktivitas selanjutnya.