Informasi Terpercaya Masa Kini

Budaya Bantik di Tengah Perubahan Zaman

0 3

Oleh:

Jashinta Pricilia Angela Tuela

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

KEBERADAAN dan kehidupan orang Bantik hampir tidak pernah menjadi pokok pembicaraan khusus di tengah masyarakat. Mungkin karena mereka bukanlah pendatang baru atau orang asing di tengah masyarakat Sulawesi Utara. Mereka merupakan bagian utuh dari masyarakat di sekitarnya. 

Tulisan tentang budaya orang Bantik ini dibuat berdasarkan studi atas beberapa literatur dan wawancara dengan Ibu Vivi, Bapak Alex dan Bapak Wahyu. Mereka adalah orang-orang yang memahami kehidupan orang Bantik.

Orang Bantik

Orang Bantik kadang dikelompokkan sebagai satu suku tersendiri dan kadang dianggap sub-suku atau bagian dari Suku Minahasa. Dari segi warna kulit, orang Bantik memang kelihatan agak berbeda dari orang Minahasa pada umumnya. 

Asal-usul orang Bantik tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan bahwa orang Bantik adalah penduduk asli Manado dan sekitarnya, tetapi pada suatu waktu – entah karena alasan apa – mereka berpindah ke sebuah pulau di kepulauan Sangir. Akan tetapi pulau itu tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Sebelum pulau itu tenggelam sepenuhnya, orang Bantik kembali ke daerah Manado dan sekitarnya.

Informasi lain mengatakan bahwa orang Bantik adalah penduduk asli sebuah pulau di kepulauan Sangir. Pada suatu waktu di sana terjadi perang antar-suku. Orang Bantik melarikan diri dan kemudian menetap di daerah Manado dan sekitarnya.

Tidak bisa diketahui dengan pasti informasi mana yang benar karena tidak ada atau belum ditemukan sumber-sumber sejarah yang meyakinkan mengenai asal-usul orang Bantik. Yang ada adalah tradisi lisan yang diceritakan turun-temurun.

Sekarang ini kebanyakan orang Bantik tinggal di Malalayang, Singkil, Bailang, Molas, Meras, Buha dan Bengkol (semuanya di Kota Manado), Kalasey (Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa), Talawaan Bantik (Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara), dan Tanamon (Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow). Banyak dari antara mereka sudah kawin-mawin dengan orang-orang dari sub-suku Minahasa lainnya atau dengan suku bangsa lain. 

Orang Bantik yang menjadi pahlawan nasional adalah Wolter Mongisidi. Oleh orang Bantik, dia sangat dihormati. Pada peringatan hari kematiannya, yaitu 5 September, diadakan acara khusus untuk menghormatinya.

Di bawah ini akan ditunjukkan beberapa elemen kebudayaan Bantik. 

Kebudayaan, menurut Harsojo, adalah hasil keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, yang akan dipaparkan di bawah ini adalah bahasa Bantik, tradisi Bantik dalam siklus kehidupan (kelahiran, perkawinan dan kematian) dan beberapa hal khusus dalam kehidupan sehari-hari orang Bantik.

Bahasa Bantik

Bahasa Bantik lebih memiliki kemiripan dengan bahasa Sangir daripada dengan bahasa Minahasa. Contohnya, bahasa Bantik bu’ha memiliki arti yang sama dengan bahasa Sangir buha, yang berarti ‘gosok’ atau ‘menggosok’.

Bahasa Bantik memang tidak diajarkan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Akan tetapi di rumah, orang tua masih berbicara bahasa Bantik. Dengan sendirinya anak-anak masih sering mendengar bahasa Bantik, akan tetapi hanya sedikit anak yang berbicara bahasa Bantik. Mereka bisa mengerti isi pembicaraan dalam bahasa Bantik tetapi mereka sendiri tidak lagi fasih berbahasa Bantik.

Tradisi Bantik dalam Siklus Kehidupan

Dalam siklus kehidupan manusia, ada tiga peristiwa penting, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian.

Pertama, kelahiran. Pada zaman dulu, seorang ibu yang sedang hamil tua sampai sekitar satu minggu sesudah kelahiran anaknya dijaga dan dirawat oleh Biang Kampung. Biang Kampung itu tidak sakedar menjaga atau mengawasi tetapi juga merawat orang ibu yang sedang menanti kelahiran anaknya, membantu proses kelahiran, kemudian merawat ibu dan bayinya. Sesudah bayi berumur sekitar satu minggu, Biang Kampung menggendong bayi itu dan membawanya ke sanak-saudara dan tetangga sekitarnya. Ibu si bayi mengikutinya. Tujuannya ialah menunjukkan dan memberitahukan bahwa si ibu telah melahirkan dan anaknya dalam keadaan sehat.

Sekarang ini di kampung-kampung sudah ada puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), ada bidan yang profesional, dan bahkan ada rumah sakit yang menangani proses kelahiran bayi. Biang Kampung lalu diberi pelatihan kesehatan agar dapat membantu menangani kelahiran bayi secara profesional menurut standar ilmu kesehatan dan kedokteran. Peran Biang Kampung disatukan dengan fungsi dokter dan perawat yang bekerja di puskesmas.

Kedua, perkawinan. Proses menuju perkawinan diawali dengan keinginan seorang laki-laki untuk memperistri seorang perempuan. Laki-laki  itu akan minta tolong pada teman dari perempuan yang ditaksirnya. Teman dijadikan perantara yang dalam bahasa Bantik disebut Salrra. Si laki-laki minta Salrra untuk memberi tahu perempuan yang ditaksirnya bahwa dia (laki-laki itu) menyukainya. Pihak perempuan akan memberi jawaban dan Salrra akan menyampaikan jawaban itu kepada pihak laki-laki.

Apabila kedua belah pihak bersedia untuk menjadi suami-istri, maka pihak laki-laki akan memberi tahu orang tua pihak perempuan lewat seorang perantara. Perantara itu disebut Makitaton. Dengan pengantaraan Makitaton, orang tua pihak laki-laki akan mendatangi rumah orang tua pihak perempuan. Ketika sampai di rumah pihak perempuan, Makitaton akan mengetuk pintu. Kalau orang tua pihak perempuan membuka pintu dan mempersilakan masuk, itu merupakan tanda-tanda bahwa lamaran akan diterima. Kalau lamaran diterima, kedua calon nikah itu memasuki masa pacaran yang resmi. Sebagai tanda ikatan resmi, pihak laki-laki akan menyerahkan uang ringgit yang dibungkus dengan sapu tangan kepada pihak perempuan.

Walaupun sudah terjalin ikatan resmi secara adat, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Bila pihak perempuan mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan hubungan itu ke jenjang perkawinan, maka pihaknya akan mendatangi rumah pihak laki-laki, mengetuk pintu, dan setelah pintu dibuka, dia tidak masuk ke dalam rumah dan langsung menyerahkan kembali uang ringgit yang dibungkus sapu tangan. Sesudah itu dia langsung pulang.

Bila keputusan datang dari pihak laki-laki, maka dia akan memberitahukan ke pihak perempuan dan harus menyerahkan semacam denda atau ganti rugi karena dianggap telah mempermalukan pihak perempuan.

Menjelang hari pernikahan akan diadakan pertemuan keluarga kedua belah pihak. Sebelum pertemuan diadakan, pihak laki-laki akan mengutus seorang wakil untuk mendatangi keluarga pihak perempuan. Utusan itu dalam bahasa Bantik disebut Ralraampang. Ralraampang akan menyampaikan atau memberi tahu bahwa keluarga pihak laki-laki meminta waktu untuk membicarakan acara perkawinan. Apabila menyetujuinya dan menentukan hari dan tanggal pertemuan, pihak perempuan akan memberitahukannya kepada Ralraampang dan kemudian Ralraampang akan menyampaikannya kepada keluarga laki-laki. Sesudah itu baru diadakan pertemuan kedua keluarga untuk membicarakan hal-ikhwal perkawinan.

Puncaknya adalah upacara perkawinan. Upacara perkawinan adat dipimpin pemangku adat. Dalam perkawinan adat itu, mempelai perempuan mengenakan kebaya dan mempelai laki-laki akan mengenakan kaiya.

Akan tetapi sekarang ini tradisi yang terkait dengan perkawinan tersebut sudah hampir tidak pernah dipraktikkan. Tradisi tersebut hampir punah dan hanya diingat oleh orang-orang tua yang masih mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap budaya Bantik.

Ketiga, sakit dan kematian. Sakit dan penyakit bisa menimpa siapa saja tanpa kecuali. Dalam kehidupan orang Bantik, ada orang yang berfungsi sebagai tukang obat. Dalam bahasa Bantik, tukang obat itu disebut Lrlran. Apabila ada orang yang sakit, Lrlran itu akan mencari dan mengambil obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Umumnya, obat itu berupa tumbuh-tumbuhan tertentu. Ada yang diambil daunnya, pohonnya, bunganya, akarnya atau bunganya. Pada saat di kampung ada orang yang meninggal, Lrlran tidak boleh mengambil obat untuk orang yang sedang sakit.

Tradisi yang terkait dengan orang sakit dan Lrlran tersebut juga sudah punah. Orang sakit tidak lagi ditangani oleh Lrlran. Orang sakit atau keluarganya akan membeli obat di apotek, berobat di puskesmas, di tempat dokter berpraktik atau di rumah sakit.

Sekalipun sakit-penyakit tertentu bisa diobati, tetapi pada akhirnya kematian tetap tidak terhindarkan. Bagi orang Bantik, kematian merupakan peristiwa yang sakral. Kesakralan peristiwa kematian itu ditunjukkan oleh suasana yang diciptakan. Keluarga dan orang sekampung tidak akan memutar musik, menari atau bernyanyi. Orang tidak akan melakukan aktivitas yang bersifat hiburan atau rekreatif.

Orang yang meninggal disemayamkan di rumah hanya satu malam saja. Sehari kemudian, jenazahnya harus dikuburkan.

Sebelum jenazah dikubur, ada acara adat yang disebut Mabem. Orang menyanyikan lagu duka sambil berdiri dan kepala tertunduk. Syair lagu itu bersifat keramat, dan tidak boleh diucapkan sembarangan di luar peristiwa kematian.

Selama 40 hari sejak hari kematian seseorang, keluarganya akan mengenakan pakaian berwarna hitam. Pakaian warna hitam itu merupakan tanda duka cita karena ditinggalkan oleh orang yang merupakan bagian dari keluarga dan hidup mereka.

Ketika di kampung ada orang meninggal, Lrlran akan pergi ke hutan. Bila di hutan dia berjumpa dengan seseorang, maka Lrlran itu akan membunuhnya. Sesudah itu dia akan kembali ke kampung dan memberitahukan orang-orang di kampung bahwa dia sudah mendapatkannya. Maksudnya, dia akan memberi tahu orang kampung bahwa dia sudah membalas kematian orang kampung itu dengan membunuh orang yang ditemuinya di hutan. 

Tradisi yang terkait dengan kematian tersebut juga hampir punah atau tidak lagi dipraktikkan. Hanya Mabem yang kadang masih dipraktikkan. Sekurang-kurangnya, pada tanggal 5 September, yaitu hari wafatnya Wolter Mongisidi, orang Bantik yang menjadi pahlawan nasional. Namanya kadang secara keliru ditulis: Wolter Monginsidi.

Terkait dengan kematian, orang Bantik tidak memiliki pemahaman tersendiri tentang surga dan neraka. Bagi mereka, apabila orang sudah mati, jiwanya masih hidup di antara mereka. Hanya saja jiwa itu tidak terlihat. Akan tetapi sekarang ini semua orang Bantik sudah beragama. Hampir semua orang Bantik beragama Kristen, terutama Kristen Prostestan. Oleh karena itu, pemahaman mereka tentang hidup dan kematian lebih diwarnai oleh ajaran agama Kristen.

Kehidupan Sehari-hari Orang Bantik

Orang Bantik menjalani hidup sehari-hari seperti orang lain pada umumnya. Anak-anak sekolah dan bermain. Orang dewasa bekerja dan mencari nafkah. Ada yang bertani, ada yang menjadi tukang ojek. Ada bekerja sebagai guru di sekolah, bekerja sebagai perawat. Ada yang menjadi aparat pemerintah, entah di tingkat kelurahan atau di tingkat di atasnya (kecamatan, kabupaten, provinsi) dan lain-lain. Kehidupan sehari-hari mereka tidak ada bedanya dengan orang dari suku lain.

Mereka juga beragama seperti halnya warga masyarakat lainnya. Kebanyakan dari mereka beragama Kristen, yaitu Kristen Protestan atau Kristen Katolik. Agama dan ajaran Kristen mau tidak mau memengaruhi dan membentuk pandangan mereka tentang hidup dan maknanya, tentang Allah dan kehidupan sesudah kematian.

Akan tetapi mereka juga memiliki warisan kultural yang khas Bantik. Mereka memiliki 4 macam nyanyian dan tarian, yaitu:

Tumahak, yaitu tarian dan nyanyian yang dulu dilakukan di kebun dan berfungsi sebagai acara perpisahan.

Sumohok, yaitu tarian dan nyanyian yang bercorak rekreatif, dan digunakan sebagai acara hiburan.

Matungkobey, yaitu tarian dan nyanyian yang bisanya dilombakan.

Mabem, yaitu nyanyian duka yang hanya boleh dinyanyikan di depan jenazah. Secara rutin, Mabem dilakukan setiap tanggal 5 September di lapangan Bantik Malalayang untuk memperingati kematian Wolter Mongisidi.

Untuk menjalani kehidupan sehari hari, orang Bantik memiliki semboyan 3 H. Semboyan itu menjadi filosofi atau ajaran moral dasar. Semboyan 3 H itu adalah:

Hinglridan yang berarti “baku-baku sayang” atau saling mencintai, saling menghargai, saling tolong-menolong.

Hingtakinan yang berarti saling mengingatkan.

Hingtalunan yang berarti “seia-sekata”, kompak, tidak berjalan sendiri sendiri dan semaunya sendiri.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, orang Bantik juga membentuk organisasi. Di Buha, misalnya, ada Lembaga Adat Masyarakat Adat Bantik. Perkumpulan ini membawahi rukun duka dan kesenian. Semua orang Bantik wajib menjadi anggota perkumpulan itu. Akan tetapi perkumpulan itu tidak diperuntukkan bagi orang Bantik saja. Siapa saja bisa menjadi anggota perkumpulan itu. Di Buha, misalnya, ada orang Sangir dan orang Minahahasa yang menjadi anggota perkumpulan tersebut.

Akhirul Kalam

Di Kelurahan Buha, orang Bantik merupakan kelompok minoritas. Mereka hidup di tengah-tengah suku lain. Bahkan orang Bantik juga menikah dan membangun keluarga dengan orang dari suku lain. Anak-anak mereka sudah tidak mengenal adat dan budaya Bantik. Akan tetapi dalam keluarga yang kedua orang tuanya adalah suku Bantik dan masih berbahasa Bantik di rumah, anak-anaknya masih mengerti bahasa Bantik walaupun sudah tidak fasih berbicara.

Banyak tradisi Bantik yang sudah tidak dipraktikkan lagi, mulai dari adat-istiadat yang terkait dengan kelahiran sampai adat-istiadat yang terkait dengan kematian. (*)

Leave a comment