Gambaran Ekonomi Israel Sedang Menuju Arah Kehancuran
REPUBLIKA.CO.ID, Perang yang tak kunjung usai dan ancaman meluasnya eskalasi di kawasan semakin membuat ekonomi Israel terpuruk. Menurut seorang peneliti ekonomi Israel, nilai indikator yang lemah, investasi asing dan pariwisata yang menurun, serta eksodus warga yang mengkhawatirkan, menjadi gambaran suram bagi masa depan Israel.
“Krisis ekonomi hanya akan semakin memburuk. Tidak ada prospek pemulihan,” ujar ekonom politik Israel Shir Hever dalam wawancara dengan Anadolu.
Premis Hever sejalan dengan opini terbaru Yoel Naveh, mantan kepala ekonom di Kementerian Keuangan Israel, yang mengatakan bahwa pemerintah harus bertindak “dengan tegas dan segera untuk … menghindari risiko krisis keuangan yang membayangi.”
Arah saat ini, tambahnya, bisa “menyeret ekonomi Israel yang rusak oleh perang ke dalam resesi dan membahayakan keamanan nasional negara tersebut.”
Menurut perkiraan pada Agustus 2024 oleh ekonom Israel, biaya ekonomi dari serangan mematikan Israel di Gaza, di mana hampir 140 ribu warga Palestina terbunuh dan terluka sejak serangan lintas batas Hamas pada Oktober tahun lalu, diperkirakan lebih dari 67 miliar dolar AS (sekitar Rp1,04 kuadriliun). Bank Israel pun menyatakan pada Mei bahwa biaya perang akan melonjak hingga sekitar 250 miliar shekel (66 miliar dolar AS/sekitar Rp1 kuadriliun) hingga akhir tahun depan.
Di sisi lain, ekonomi Israel hanya tumbuh sebesar 0,7 persen pada kuartal kedua pada 2024, jauh di bawah prediksi analis Bursa Efek Tel Aviv, sebesar 3 persen. Pada Agustus, rasio defisit anggaran terhadap PDB berada pada minus 8,3 persen, meningkat dari minus 7,6 persen pada bulan Juni, minus 6,2 persen pada bulan Maret, dan minus 4,1 persen pada Desember tahun lalu.
Pada Agustus 2024 saja, defisit anggaran mencapai 12,1 miliar shekel (3,22 miliar AS atau sekitar Rp50,2 triliun). “Harga-harga tinggi. Standar hidup menurun. Ada inflasi. Nilai mata uang Israel menurun,” kata Hever.
Investasi asing telah mengering, lebih dari 85.000 orang keluar dari dunia kerja, dan ada “seperempat juta orang yang mengungsi secara internal dan kehilangan pekerjaan serta rumah mereka,” tambahnya.
“Dan, tentu saja, sejumlah besar orang-orang yang meninggalkan negara ini … Jumlah orang yang meninggalkan Israel tidak pernah terjadi sebesar ini sebelumnya, benar-benar dalam sejarah Israel,” ujarnya.
“Anda melihat orang-orang hanya membeli tiket satu arah untuk melihat apa yang akan terjadi. Ketika Anda melihat begitu banyak orang yang melakukan ini hanya untuk melindungi keluarga mereka, hasilnya adalah mereka yang tinggal merasa bahwa negara ini sedang dalam proses keruntuhan.”
Indikator ekonomi bukanlah “keseluruhan cerita,” dia menekankan.
“Keseluruhan cerita adalah perspektif populasi mengenai masa depan. Orang-orang yang tidak percaya bahwa ada masa depan. Orang-orang yang tidak percaya bahwa negara Israel akan pernah bisa pulih dari krisis ini,” katanya.
“Mereka tidak berinvestasi. Mereka tidak ingin membesarkan anak-anak mereka di Israel. Mereka tidak ingin mencari pekerjaan atau belajar. Ini berarti krisis ekonomi hanya akan semakin memburuk. Tidak ada prospek pemulihan.”
Orang Israel menarik tabungan mereka untuk dibawa keluar dari negara tersebut, dan pemerintah merespons dengan mengancam akan mengambil “dana pensiunmu dan menginvestasikannya di ekonomi,” ujarnya.
Infografis Yahudi (ilustrasi) – (Dok Republika)
Terkait situasi keuangan domestik, Hever mengatakan lebih dari 46.000 bisnis telah bangkrut. Sementara entitas yang lebih besar pun merasakan dampak finansial.
“Pelabuhan Eilat juga bangkrut, yang merupakan satu-satunya pelabuhan yang dimiliki Israel di Laut Merah,” ujar Hever.
“Pariwisata berada di angka nol. Tidak ada pariwisata … Secara keseluruhan, investasi internasional di Israel hampir nol.”
Kekhawatiran besar, kata Hever, adalah sektor teknologi tinggi Israel, yang dulu merupakan bagian terpenting dari ekonomi Israel. Perusahaan-perusahaan teknologi tinggi di Israel saat ini tengah menggunakan semua sumber daya untuk mencoba pindah lokasi operasional perusahaan.
“Mereka sangat khawatir bahwa mereka tidak bisa beroperasi di Israel dalam kondisi saat ini,” kata Hever.
Perusahaan-perusahaan ini sekarang berusaha menjual diri mereka ke luar. Hever memberikan contoh perusahaan keamanan siber Israel, Wiz, yang sedang mengincar akuisisi oleh Google senilai 23 miliar dolar AS (sekitar Rp358,8 triliun).
“Tapi, tentu saja, Google membatalkan kesepakatan ini. Mereka tidak pernah membeli … Mereka tidak ingin melakukan investasi semacam itu.”
Ekonomi Israel, kata Hever, bekerja dalam keadaan darurat yang konstan. Pukulan lain terhadap ekonomi Israel adalah gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) global, yang menurut Hever tidak pernah “sebanyak dan sekuat ini.”
Israel, katanya, berada di sekitar tahap ketiga dan terakhir sanksi. Yakni ancaman terhentinya kerja sama perdagangan dengan negara-negara yang selama ini menjadi mitra bisnis.
“Ekonomi Israel sangat bergantung pada perdagangan internasional dan perjanjian internasional. Mitra dagang terbesar mereka adalah Uni Eropa,” kata Hever.
Terlebih, Keputusan Mahkamah Internasional pada 19 Juli menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina tidak sah dan membantu pendudukan adalah kejahatan perang. Itu artinya, Israel tidak bisa mengimpor bahan untuk infrastruktur kecuali mereka membuktikan bahwa bahan tersebut tidak akan digunakan untuk membuat senjata atau untuk tujuan apapun terkait pemukiman ilegal Israel.
“Ada kewajiban bagi negara ketiga untuk tidak memperdagangkan barang-barang tersebut sama sekali … Jika orang berpikir bahwa mungkin memiliki sistem ekonomi yang berfungsi di mana barang-barang dengan penggunaan ganda dilarang … maka ini adalah ilusi,” kata Hever.
“Ekonomi Israel akan runtuh di bawah sanksi internasional sampai mereka mengakui tuntutan hukum internasional.”
Karikatur Opini Republika : Boikot Kurma Israel – (Republika/Daan Yahya)