Informasi Terpercaya Masa Kini

Menelusuri Hutan Plumbon Semarang: Ada Makam yang Menyimpan Kenangan Kelam

0 10

jateng.jpnn.com, SEMARANG – Di tengah hutan jati di Kota Semarang, Jawa Tengah, terdapat sebuah makam yang menyimpan kisah kelam dan penuh misteri bagian dari sejarah Indonesia. Makam ini terletak di Hutan Plumbon, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, yang dulunya termasuk dalam wilayah Kabupaten Kendal.

Di tempat ini, keheningan hutan seakan berbicara tentang peristiwa bersejarah yang mengubah wajah bangsa.

Pengunjung yang ingin mencapai makam ini harus melewati jalan setapak yang tertutup rumput liar dan menembus area lahan pertanian milik warga setempat. Setelah menyeberangi jembatan kayu kecil yang menghubungkan dua sisi hutan, pengunjung akan tiba di lokasi pemakaman yang sederhana tetapi sarat makna.

Makam yang tersembunyi ini merupakan kuburan massal bagi para korban G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) sebuah peristiwa yang terjadi pada 1965.

Aktivis kemanusiaan dan pegiat hak asasi manusia Yunantyo Adi mengungkapkan bahwa lokasi ini memiliki cerita mendalam yang tidak banyak diketahui publik. “Makam di Hutan Plumbon merupakan tempat di mana banyak korban dieksekusi, dan mereka hanya menjadi bagian dari sejarah yang kelam,” ungkap Yunantyo, Selasa (1/10).

Di lokasi ini, terdapat dua lubang yang menyerupai sumur, yang berisi 24 jenazah dari masyarakat asal Kendal. Masing-masing lubang memiliki ukuran sekitar 1,5 meter, dan di dekatnya terdapat batu nisan yang mencantumkan delapan nama yang dimakamkan di sana.

“Dari 24 jenazah hanya ada delapan nama yang diketahui, tetapi yang paling dikenal hanya dua nama. Yang lainnya bisa dibilang pengurus ranting PKI atau pengurus desa,” jelas Yunantyo.

Dua nama yang sering muncul adalah Moetiah dan Soesetyo. Moetiah dikenal sebagai seorang bangsawan syar’i yang aktif dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia -organisasi perempuan PKI) sekaligus menjadi guru di Taman Anak-Anak Melati di Kabupaten Kendal.

“Dia (Moetiah) adalah seorang guru yang mengajarkan anak-anak, dan keterlibatannya dalam Gerwani membuatnya menjadi sasaran,” kata Yunantyo.

Menurut Yunantyo, sebelum eksekusi, Moetiah sempat meminta untuk berdoa dan membaca qiroah di lokasi tersebut. “Berdasarkan cerita warga yang ikut dalam eksekusi, memang korban meminta qiroah terlebih dahulu,” tambahnya.

Mantan Wakil Bupati Kendal  Soesetyo termasuk dalam daftar korban yang dieksekusi di Hutan Plumbon setelah bulan ramadan. “Mereka dieksekusi setelah bulan Ramadan, sekitar bulan Desember 1965,” ungkap Yunantyo.

Makam ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi para korban, tetapi juga merupakan simbol dari sebuah tragedi yang mendalam dalam sejarah Indonesia.

Pusat Internasional untuk Promosi Hak Asasi Manusia (CIPDH) UNESCO telah mencatat lokasi kuburan di Hutan Plumbon sebagai situs pelanggaran HAM berat masa lalu pada Januari 2020. Penetapan ini menunjukkan pengakuan akan tragedi yang terjadi, meskipun banyak masyarakat yang masih enggan membicarakan atau mengingat peristiwa tersebut.

“Kita harus mengingat sejarah, terutama sejarah kelam, untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan,” ujar Yunantyo.

Dia berharap agar pemerintah dan masyarakat dapat lebih terbuka dalam mendiskusikan sejarah, termasuk berbagai tragedi yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.

Setiap pengunjung yang datang ke makam ini akan merasakan aura yang berbeda. Di tengah keheningan hutan, mereka bisa merasakan semacam kedamaian yang menyelimuti lokasi ini. Namun, di balik kedamaian itu, tersimpan rasa duka dan kehilangan yang mendalam.

Sebagian orang yang pernah datang ke lokasi ini mengatakan bahwa mereka merasakan kehadiran arwah-arwah yang tidak bisa tenang. “Di sini, ada rasa bahwa mereka belum sepenuhnya pergi. Seakan mereka ingin agar kisah mereka diingat dan tidak dilupakan,” ungkap salah satu pengunjung asal Pekalongan Muhammad Falah.

Kondisi makam yang tersembunyi dan minim perawatan mencerminkan betapa banyaknya kisah-kisah tragis dalam sejarah Indonesia yang tidak mendapatkan perhatian. Beberapa pihak, termasuk komunitas pecinta sejarah, berupaya untuk menjaga dan merawat lokasi ini sebagai bentuk penghormatan kepada para korban.

Mengenang sejarah tidak hanya sekadar mengingat peristiwa yang terjadi, tetapi juga memahami dampak dan pelajaran yang bisa diambil. Falah berpendapat bahwa penting untuk mendidik generasi muda tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, termasuk tragedi G30S.

“Dalam pendidikan sejarah, kita tidak hanya mengajarkan fakta, tetapi juga mengajak siapa saja untuk berpikir kritis tentang apa yang telah terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat kita saat ini,” jelas guru sejarah di salah satu sekolah menengah atas di Pekalongan itu.

Makam di Hutan Plumbon bukan hanya sekadar lokasi pemakaman, tetapi juga merupakan simbol dari sebuah tragedi yang mendalam dalam sejarah Indonesia.

“Mengunjungi tempat ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya mengenang dan menghargai hak asasi manusia. Dalam setiap inci tanah di sana, tersimpan kisah yang harus diingat agar generasi mendatang tidak melupakan perjalanan panjang bangsa ini,” ujar Falah. (JPNN)

Leave a comment