Informasi Terpercaya Masa Kini

Beauty Privilege: Kamu Cantik Hidupmu Nyaman

0 63

Pada zaman sekarang, kebanyakan orang memandang orang lain hanya dari penampilan fisiknya saja. Padahal, sejatinya, manusia memang tidak bisa memilih dilahirkan dengan bentuk wajah dan tubuh seperti apa. Namun, ternyata dalam kehidupan masyarakat memiliki kecenderungan untuk menilai penampilan fisik seseorang sehingga terbentuk pengelompokan berdasarkan good dan bad looking. 

Sampai saat ini masyarakat cenderung memiliki kesamaan dalam memandang kriteria kecantikan yaitu memiliki tubuh langsing, kulit putih bersih, rambut panjang, hidung mancung, tinggi semampai atau jenjang (Dini & Listyani, 2016). Didukung dengan hasil penelitian dari ZAP Beauty Indeks pada Agustus 2020 sebanyak 17.889 perempuan Indonesia sebagai koresponden, terdapat 73,1% yang menganut stigma bahwa, definisi cantik yaitu memiliki kulit yang putih, bersih, dan glowing serta merasa tidak percaya diri jika memiliki kulit yang gelap (Markplus.inc, 2020). 

Adanya standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat dapat membuat banyak orang yang terlahir biasa saja atau tidak cantik secara fisik menjadi insecure, overthinking, dan akhirnya sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Hal ini dapat mengarahkan pada fenomena beauty privilege.

Beauty privilege adalah kata yang tidak asing kita dengar pada era ini. Beauty privilege merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan betapa beruntungnya hidup seseorang yang terkesan lebih lancar dibandingkan orang lain karena terlahir dengan paras yang indah dan menawan.

Keindahan penampilan fisik merupakan hal yang hampir semua orang inginkan dan dambakan. Banyak dari para kaum wanita berlomba-lomba untuk merawat dan mempercantik dirinya sehingga membuat mereka tampil lebih percaya diri. Pada kasus yang ekstrem, seseorang sanggup menjalani berbagai rangkaian operasi untuk mendapatkan paras yang mereka pikir adalah bentuk yang sempurna. Mereka berpikir hidup akan jauh lebih mudah ketika mereka memiliki paras yang menawan. Padahal, cantik atau ganteng itu relatif. Setiap orang punya definisi masing-masing tentang cantik dan ganteng dalam diri mereka.

Berbagai riset menyatakan bahwa orang yang good looking seringkali mendapatkan perlakuan spesial karena kecantikannya dan mereka juga memiliki banyak keuntungan, seperti dianggap lebih pintar, dianggap punya personality yang lebih bagus, dianggap lebih capable, dapat menyebabkan ‘halo effect’, lebih gampang dapat pasangan, dan lebih gampang dapat kerja.

Namun, kenyataannya tidak semua orang yang memiliki penampilan fisik menarik adalah orang yang pintar, produktif, atau pun hal-hal positif lainnya. Orang yang good looking biasanya memiliki pengalaman hidup yang lebih baik, seperti diperlakukan baik sejak kecil, mendapat perhatian lebih banyak, dan lebih dimengerti. Hal ini juga memengaruhi mereka sehingga mereka akan memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi yang membuatnya terlihat lebih kompeten.

Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa beauty privilege memang benar adanya. Sebagai informasi, halo effect menyiratkan bahwa seseorang secara tidak sadar menilai orang lain secara menyeluruh hanya dari penampilannya.  Dengan fakta-fakta ini, kita tahu bahwa secara alamiah, seseorang lebih tertarik pada orang lain dilihat dari kecantikan fisiknya. Ini berimplikasi pada ketidakadilan yang dialami oleh banyak orang yang terlahir dengan wajah biasa saja atau wajah yang dianggap kurang menarik oleh masyarakat.

Beauty privilege menjadi bentuk implementasi lookism berupa diskriminasi penampilan, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak memenuhi standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Meskipun beauty privilege tidak mengarah pada suku, ras, atau golongan tertentu, namun nyatanya beauty privilege menyebabkan timbulnya stereotip dan bias.

Fenomena ini dapat terjadi dalam berbagai bidang, seperti pada bidang pendidikan di sekolah maupun di kampus, dalam bidang komersial, dan dalam bidang pekerjaan. Contoh nyatanya yaitu lowongan kerja dengan kriteria penampilan menarik. Biasanya kriteria tersebut dibutuhkan untuk posisi frontliner yaitu karyawan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan seperti resepsionis, teller, customer service, pramugari, pramuniaga, dan lainnya. Namun, jika hal ini diterapkan pada semua profesi atau pekerjaan, maka tentu akan menjadi sebuah bentuk diskriminasi pada seseorang yang memiliki potensi dan kecerdasan. Sebuah perusahaan seharusnya mengutamakan kualifikasi para pekerjanya dibandingkan penampilan fisiknya.

Orang yang good looking tidak hanya mendapatkan dampak positifnya saja, mereka juga mendapatkan dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya yaitu, orang yang cantik atau ganteng cenderung mendapatkan ekspektasi lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya dan akhirnya beauty privilege ini membentuk pandangan yang tidak sehat terhadap fisik yang membuat seseorang akan dihantui pemikirannya bahwa fisiknya adalah aspek terpenting dalam hidupnya. Sehingga kehidupan mereka tidak akan sebebas orang yang tidak memiliki privilege ini dan harus berusaha dan bekerja keras untuk memenuhi ekspektasi orang lain terhadap mereka.

Bagi kalian yang tidak memiliki beauty privilege, jangan pernah takut dan insecure, cukup tunjukkan kemampuan terbaik yang kalian miliki dan gali lagi potensi yang ada dalam diri kalian. Ini saatnya mengurangi pandangan tentang standar beauty privilege dan harus bisa menghargai segala jenis fisik diri sendiri dan orang lain karena semua itu sudah ketetapan dari Tuhan. Perlu diingat juga bahwa penampilan bukan segalanya.“Beauty starts in your head, not in your mirror.”- Joubert Botha.

Penulis: Lutfiah Maharani (Mahasiswa Universitas Airlangga)

Leave a comment