Informasi Terpercaya Masa Kini

Sejarah Keraton Yogyakarta dan Bagaimana Sultan Hamengkubuwono IX Begitu Dicintai Rakyatnya

0 69

Sejarah Keraton Yogyakarta tak bisa dipisahkan salah satunya oleh sosok Sultan Hamengkubuwono IX, sosok yang sangat dicintai oleh rakyatnya.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Sejarah Keraton Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari peristiwa Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Itu adalah perjanjian yang membelah Mataram Islam menjadi dua: Kasunan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Jika Nagari Kasultanan Ngayogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I, Nagari Kasunanan Surakarta untuk Pakubuwono III.

Sultan Hamengkubuwono I kemudian memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1755. Selama proses pembangunan yang berlangsung hampir satu tahun, Sultan Hamengkubuwono I, yang juga berperan sebagai arsiteknya, tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang.

Pembangunan keraton dilakukan dengan penuh pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan, sosial, ekonomi, budaya, maupun tempat tinggal. Selain kompleks keraton, dibangun pula sarana kelengkapan yang lain, seperti benteng, masjid, dan pasar.

Sultan Hamengkubuwono I resmi menempati Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756. Sejak saat itu hingga sekarang, fungsi Keraton Yogyakarta adalah sebagai tempat tinggal para sultan beserta keluarganya, yang sampai saat ini masih menjalankan tradisi kesultanan.

Berbicara tentang Keraton Yogyakarta, rasanya tak bisa melepaskan sosok Sultan Hamengkubuwono IX, sosok Raja Jogja yang begitu dicintai oleh rakyatnya. HB IX juga punya peran yang sangat penting dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Julius Pour pernah membuat tulisan panjang tentang HB IX di Majalah Intisari dengan judul “Sultan Yogya 40 Tahun Bertahta”. Ini tulisannya untuk Anda–dengan penyuntingan di beberapa bagian tertentu.

SULTAN YOGYA 40 TAHUN BERTAHTA

Oleh: Julius Pour

Pagi itu, Senin pon 18 Maret 1940, kota Yogyakarta terasa cerah. Tidak hanya mendung di atas keraton lenyap, tetapi kabut keraguan yang selama beberapa bulan menyelimuti hati masyarakat setempat akibat tiadanya seorang raja, segera berakhir. Hari itu, dua macam peristiwa penting berlangsung susul-menyusul.

Pertama kali, pengangkatan Gusti Raden Mas (GRM) Dorojatun menjadi putra mahkota kerajaan Yogyakarta. Sepuluh menit kemudian dia langsung dinobatkan menjadi Sultan menggantikan kedudukan sang ayah yang tutup usia lima bulan sebelumnya.

Tepat pukul 9.45 WIB, di ruang manguntur-tangkil, bagian paling tengah dari bangsal sitihinggil, selaku wakil resmi Pemerintah Hindia-Belanda, Gubernur Yogyakarta Dr. Lucien Adam melantik putra mahkota baru (selama 18 tahun pemerintahan Sultan ke VIII, dia belum menunjuk seorang putra makota) bergelar: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Hamengkunegoro, Sudibyo Rojo Putero, Narendra Mataram.

Upacara berlangsung amat singkat. Berlanjut kemudian pembacaan surat keputusan kedua, berisi ketetapan, putra mahkota saat itu pula dinobatkan menjadi raja baru dengan gelar: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun, Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati ing Ngalogo, Ngabdurrahman Sayidin Panatagama, Kalifatullah Ingkang kaping IX ing Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat.

Wartawan Poestaka Timoer yang meliput upacara penobatan ini melukiskan: suasana semakin meriah, ketika 13 kali bunyi tembakan meriam menggelegar dari Benteng Vredeburg di muka keraton. Musik, genderang, dan gamelan saut-menyaut, sementara hadirin diam terpesona mengikuti upacara yang berlangsung mengesankan.

Laporan di atas sangat menarik. Apalagi esok harinya, sebagai lambang pertanggung jawaban kepada rakyat biasa yang tak mungkin menyaksikan penobatan di sitihinggil, berlangsung acara kirab. Sultan baru naik kereta kerajaan Kyai Garudayeksa, ditarik delapan ekor kuda, dikawal pasukan kavaleri dan sembilan batalion prajurit keraton, mengelilingi kota.

Hamengkubuwono IX, waktu itu masih 28 tahun, terlihat agung di kereta kerajaan. Dia menampilkan pesona gagah, walau Gubernur Adam yang berbadan tinggi besar, selalu duduk di sampingnya.

40 tahun

8 Januari 1979 Keraton Yogyakarta menggelar upacara peringatan 40 tahun penobatan Sultan Hamengkuwono IX. Menurut perhitungan penanggalan Jawa, hari itu tepat tanggal 8 bulan Sapar tahun Dal 1911. Karena Sultan dinobatkan pada Senin tanggal 8 Sapar tahun Dal 1871, maka awal Januari tersebut Hamengkubuwono IX lima windu (lima kali delapan tahun) memerintah. Sebagai seorang Raja Jawa, tanggal peringatan itulah yang khusus dirayakannya.

Jam 10 tepat, Sultan keluar dari ruang tengah keraton. Di belakangnya, empat orang abdi-dalem putri membawa pusaka kerajaan. Sultan memakai baju surjan warna ungu berkembang, berkain batik parang-tempel, berjalan pelan menuju kursi besar di tengah bangsal-kencana menghadap ke timur.

Dengan tenang, tanpa menoleh kiri-kanan, dia langsung duduk. Sementara hamparan permadani merah di bawahnya, berkat taburan bunga melati, menyebar bau harum.

Pada arah barat, tersembunyi di balik dinding kaca, para putri duduk bersimpuh. Keluarga raja memakai baju aneka warna, abdi-dalem putri tanpa baju menutup dadanya dengan kain batik. Ini memudahkan pembedaan, mana keluarga raja mana yang abdi-dalem biasa.

Di arah timur, duduk di kursi, di lantai atau di halaman berpasir, hadirin lelaki semuanya dengan tenang menundukkan kepala. Kedudukan mereka, dibedakan oleh boleh-tidaknya memakai kursi atau beda warna serta potongan baju yang dipakai.

Puncak acara peringatan 40 tahun Sultan bertahta ditandai penobatan tiga putra lelakinya menjadi pangeran. Jika semula mereka hanya dipanggil Bandoro Raden Mas (BRM), sebagai pangeran mereka memiliki gelar Kanjeng Gusti Pangeran (KPH) lengkap dengan nama baru.

Wingit

Sebagai seorang wartawan, Madikin Wonohito (pernah menjadi anggota DPA) sejak masa revolusi sering ikut Sultan. Dia menyimpulkan, pribadi pemimpin Yogya ini “wingit”. Suatu kata bahasa Jawa untuk menunjukkan adanya rasa pembatas tertentu. Kewingitan tadi bukan saja karena Hamengkubuwono itu ningrat dan menjabat Sultan yang masih memerintah.

Bukan juga karena, semisal ketika beliau masih menjadi Wakil Presiden, tetapi memang akibat pribadinya menampakkan misteri tertentu. Jadi orang lain segan bersikap kurang hormat. Agaknya ini tak terlampau berlebihan. Beberapa pembantu dekatnya berkata, Sultan sebenarnya ingin bersikap akrab. Sayangnya, justru dari pihak lain, yang entah mengapa, merasa tahu diri dan membuat jarak tertentu.

Sultan lahir pada hari Sabtu Pahing 12 April 1912 atau 25 Rabingulakir-jimakir tahun 1842, sewaktu ayahnya Pangeran Purboyo baru berstatus putra mahkota. Dia mendapatkan nama kecil, Dorojatun.

Meskipun hanya anak nomor 16 di antara 41 orang putra-putri lain, Dorojatun menempati kedudukan tersendiri di hati sang ayah. Dia merupakan putra tunggal dari permaisuri, Bendoro Raden Ayu Kustilah. Akibat peristiwa tertentu, permaisuri tersebut dipulangkan ke rumah mertuanya, Pangeran Mangkubumi. Maka selama pemerintahan Hamengkubuwono VIII, antara tahun 1921 sampai 1939, Sultan ini tak didampingi permaisuri.

Sang permaisuri tinggal di rumah keluarga Mangkubumen, ayah menetap di keraton, lantas di mana Dorojatun?

Sejak usia tiga tahun lebih sedikit, dia diharuskan indekos di luar tembok keraton. Sebuah versi menyebutkan, sang ayah ingin putra lelakinya mampu bergaul dengan orang asing. Untuk ini, beberapa putra tertentu sejak bocah sudah diikutkan di rumah orang Belanda. Mereka wajib di sana, kecuali Sabtu malam dan malam-malam panjang lainnya, diperkenankan kembali ke keraton.

Berpisah

Dia mulai mengenal pendidikan pertama di bangku sekolah taman kanak-kanak. Dilanjutkan ke ELS Yogya, HBS Semarang, Bandung sampai akhirnya pada bulan Maret 1930 meneruskan pelajaran di HBS Haarlem, negeri Belanda. Selama itu pula, Dorojatun tidak pernah serumah dengan ibu-bapaknya. Tentu saja, pengalaman tersebut membuahkan perasaan tersendiri. Bagaimana ia menghayatinya, mungkin tetap bakal tak mampu diketahui orang lain.

Tetapi sepanjang pengamatan orang luar, Dorojatun senantiasa berhati riang. Segembira bocah-bocah lain yang diasuh sendiri oleh orangtua mereka. Sebagai putra ningrat Jawa, dia ikut dan terampil memperagakan tarian. Begitu pula kegiatannya dalam dua cabang olahraga: sepakbola dan menunggang kuda yang diikutinya secara serius.

Kecintaannya kepada kuda malahan tercermin sewaktu kirab sehari setelah dinobatkan menjadi Sultan. Seekor kuda kesayangannya ikut keliling kota, berjalan di belakang kereta kerajaan.

Dia kuliah di Universitas Leiden jurusan Indologie. Sayang sekali pelajarannya tak sampai selesai. Awan peperangan mulai muncul di Eropa, sedang usia Sultan ke-VIII terus meninggi tanpa mempunyai calon pengganti. Agaknya hal ini sangat mencemaskan. Maka diputuskan, semua putranya harus kembali ke Yogya.

Lima putra Sultan belajar di negeri Belanda, namun hanya ada satu tempat kosong di kapal Dempo yang akan berlayar ke Jawa. Satu-satunya tempat tadi, dengan persetujuan semua saudaranya, dipakai oleh Dorojatun.

Mungkin karena terlalu rindu, Sultan ke-VIII yang sedang sakit, menjemput sendiri kedatangan putranya di Batavia. Dua hari kemudian, mereka pulang ke Yogya dengan kereta api. Dalam perjalanan ini, penyakit Sultan semakin memuncak.

Begitu kereta sampai di stasiun Tugu Yogya, raja yang sudah tak sadarkan diri langsung diangkut ke rumah sakit Onder de Bogen (sekarang Panti Rapih). Beberapa jam kemudian, Sultan wafat di samping Dorojatun, putra yang dirindukannya setelah perpisahan sembilan tahun.

Menunggu

Hamengkubuwono VIII meninggal sebelum sempat menunjuk putra mahkota. Dalam perhitungan biasa, tahta kerajaan sewajarnya jatuh di tangan putra sulung lelaki permaisuri. Namun Pemerintah Hindia-Belanda mensyaratkan, raja hanya dinobatkan, kalau calon bersangkutan bersedia menandatangani politiek-contract baru, di mana tiga masalah, menjadi tumpuan utama. Masalah tersebut mengenai Patih Sultan, Prajurit Keraton dan pembentukan Dewan Penasehat Raja.

Oleh Dorojatun tiga persyaratan tadi dia nilai terlampau menekan. Maka selama berbulan-bulan terjadi kekosongan tahta kerajaan, karena sang putra permaisuri ini tak mau menaruh tanda tangannya di surat perjanjian. Sewaktu seorang pangeran tua menasihatkan agar perjanjian segera ditandatangani, Dorojatun menjawab singkat: “Silakan, kalau paman ingin menjadi Sultan!”

Hampir lima bulan pembicaraan macet, sebab pendirian Dorojatun tidak goyah, tidak mau begitu saja menandatangani politiek-contract yang terlalu mengikat. Sampai akhirnya di suatu senja, terdengar suara: “Tanda tanganilah, karena Belanda akan segera pergi…!”

Walaupun sepintas dia nampak menyerah kepada situasi. Tetapi sejarah nantinya membuktikan Pemerintah Hindia-Belanda sama sekali ternyata tak juga bisa memanfaatkan tiga syarat yang kokoh mereka cantumkan.

Selang beberapa bulan setelah upacara penobatan, Patih Kerajaan Yogyakarta, Danurejo, meninggal dunia, sehingga praktis dalam pemerintahan selanjutnya tidak pernah diangkat Patih baru, dan Sultan bisa langsung memegang sendiri semua kendali kerajaan. Begitu juga mengenai dua persyaratan lain, masalah prajurit dan Dewan Penasehat Raja, tak pernah terwujudkan.

Bahwa “bisikan gaib” tadi mengejutkan dan merupakan pandangan jauh ke muka, bisa dimaklumi. Namun lebih mengejutkan lagi, pidatonya pada saat penobatan.

Sultan, yang berbicara tenang sambil berdiri, sementara semua tamu undangan, hadirin, abdi-dalem dan pembesar Belanda duduk, mengucapkan kalimat: “… bahwa tugas yang berada di pundak saya, berat dan sulit. Itu saya sadari sepenuhnya. Khususnya demi kerjasama yang harmonis, maka jiwa Barat harus dipadukan dengan jiwa Timur”.

Masih dalam nada sama, tanpa memperdulikan dua serdadu Belanda yang bersenjatakan senapan panjang berdiri berjaga beberapa langkah di kanan-kirinya, HB IX malahan menegaskan: “Al ben ik Westers opgevoed, ben ik en blijf ik een Javaan! (Sekalipun saya berpendidikan Barat, saya tetap orang Jawa!)”.

Bagi mereka yang arif, kata-kata Sultan Jawa muda usia dan baru beberapa menit dinobatkan itu, jelas membuahkan gema ledakan melebihi letusan guntur.

[….]

Sabtu pahing

Hamengkubuwono IX menampilkan ciri tersendiri dibanding para pendahulunya. Zaman yang terus berubah, masyarakat yang sedang bertumbuh, mungkin menghendaki penampilan tersebut. Dia tampaknya berusaha menunjukkan, di balik tembok keraton dirinya tetap seorang Sultan dengan segala macam atribut, penghormatan serta kewajiban yang harus dilaksanakan. Di luar, ia ingin tampil sebagai warga negara biasa.

Sebagai seorang Sultan, keputusannya (bersama Paku Alam VIII) hanya beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan memaklumkan wilayah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia, menempatkannya dalam kedudukan paling terhormat di antara semua raja dan kepala adat Indonesia.

Begitu juga, perintahnya pada bulan Oktober 1945 untuk membentuk Laskar Rakyat sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR), memperoleh penghargaan tinggi. Perintah tersebut mencegah kelatahan untuk membikin berbagai pasukan yang justru sering merugikan perjuangan bersenjata Indonesia.

Itulah kenapa Sultan Hamengkubuwono IX begitu dicintai oleh rakyatnya, dan menjadi bagian yang sangat penting dalam rangkaian sejarah Keraton Yogyakarta yang merentang sejak Perjanjian Giyanti 1755 hingga sekarang.

Leave a comment