Sulteng Geram, Wakilnya di Paskibraka ‘Dicopot’ Jilbabnya
REPUBLIKA.CO.ID, PALU — Polemik pecopotan jilbab para petugas Paskibraka Nasional tahun ini memicu riak ke daerah-daerah yang mengirimkan wakil mereka. Selain Aceh, Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Sulawesi Tengah juga menyatakan kekecewaan.
“Jadi saya yang mengawal wakil kami, Ia berhijab. Tapi kami temukan fakta dari kanal YouTube saat pengukuhan tahun ini utusan kami atas nama adik Zahra telah melepas hijabnya,” ujar Ketua PPI Sulawesi Tengah Moh Rachmat Syahrullah saat dihubungi Republika, Rabu (14/8/2024). Perwakilan putri Sulawesi Tengah tahun ini berasal dari Morowali Utara.
Ia mengatakan, mulanya hanya risau dengan lepasnya jilbab perwakilan mereka tersebut. Namun, ternyata hal serupa dilaporkan sejumlah PPI daerah lainnya. Menurut Rachmat, mereka telah menelusuri biodata awal dan foto-foto profil para petugas Paskibraka dari berbagai daerah yang terpilih tahun ini. “Terkonfirmasi fix ada sekitar 17 atau 18 yang berhijab, kasus yang paling menggemparkan dari Aceh,” kata dia.
Temuan tersebut menurutnya membuat gejolak di Sulawesi Tengah. Pihak-pihak yang mengetahui perihal tersebut meradang dengan polemik ini. “Saya sudah kontak dengan orang tua perwakilan kami, ia menyatakan sedih dan kecewa karena anaknya melepas hijab,” kata Rachmat.
Sementara ia belum bisa menghubungi petugas Paskibraka dari Sulawesi Tengah karena semua pasukan masih dikarantina dan tak boleh memegang alat komunikasi.
Rachmat menuturkan, ia bertugas sebagai Paskibra Provinsi Sulawesi Tengah pada 1996. “Secara historis, sebelum 2002 semua putri tak ada berjilbab. Di bawah Gus Dur (Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid), Aceh menjadi pelopor mengirim utusan berhijab. Setelah itu seluruh indonesia membolehkan rekrutmen petugas berhijab,” kata dia.
Pembinaan Paskibraka kala itu dipegang oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Namun, sejak 2022, pembinaan Paskibraka Pusat dilakukan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). “Kami mengecam hal ini. Ini pelanggaran yang serius karena UUD 1945 Pasal 29 menjamin kemerdekaan semua warga negara menjalankan agamanya termasuk berhijab,” kata dia.
Rachmat mengatakan, saat ini akan menghimpun keberatan bersama PPI daerah lainnya untuk menyikapi hal yang menurut mereka merupakan “pelanggaran konstitusi yang serius. “Ini ironis karena dilakukan oleh BPIP badan yang seharusnya bertanggung jawab mengamalkan Pancasila, namun malah mengkhianati sila Ketuhanan yang Maha Esa.”
Republika sudah mencoba menghubungi pihak-pihak kehumasan dan pejabat BPIP namun belum mendapat tanggapan selekasnya.
Dugaan pelarangan penggunaan jilbab bagi petugas Paskibraka Muslimah tahun ini mencuat. Hal itu dinilai janggal karena sejak lama, pasukan Paskibraka Muslimah sudah boleh berjilbab.
Hal ini disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Pusat, Irwan Indra. Ia mendapat kesempatan menjadi pasukan Paskibraka pada 2001 sebagai perwakilan dari Sumatra Utara. “Saat itu sudah dibolehkan berjilbab di daerah. Di nasional sudah sejak 2002. Dulu zaman Orde Baru memang tak boleh,” ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (14/8/2024).
Irwan juga menjalankan tugas sebagai pembina Paskibraka sejak 2016. Saat itu, pembinaan Paskibraka masih di bawah Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Sejak 2022, pembinaannya di bawah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
“Saya sejak 2016 jadi pembina Paskibra nasional di cibubur jadi tahu betul kebiasaan-kebiasaannya,” ujar Irwan. Ia menuturkan, sejak 2016, mereka sudah mulai memikirkan betul soal penghargaan terhadap keyakinan masing-masing anggota Paskibraka.
“Kita sudah mulai melakukan penjagaan terhadap adik-adik dari hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Dulu ada tradisi mandi kembang dan balik celana dalam, itu konyol dan kita ubah,” ia menuturkan.
Soal pakaian untuk Paskibraka Muslimah yang hendak menjaga aurat juga dipertimbangkan. Misalnya, rok yang dipanjangkan dan penggunaan legging. “Bahkan pada 2021, pembawa baki Bendera Pusaka pakai jilbab. Makanya kita heran.”
Sebab itu, ia dan rekan-rekannya di PPI terkejut saat pada 13 Agustus lalu tak ada satupun Paskibraka putri yang berjilbab. “Kita kaget, koq ada yang beurubah karena selama ini fine-fine saja soal keyakinan yang pake atau lepas jilbab,” ujarnya.
Dari situ kemudian muncul kerisauan di para senior di PPI daerah-daerah. Setelah ditelusuri, ternyata dari 38 provinsi ada 18 yang mengirimkan Muslimah berjilbab untuk jadi petugas Paskibraka pusat. “Kita cek ke semua PPI ke provinsi. Apakah benar tidak pakai jilbab? Mereka ramai bersuara, 18 provinsi pakai jilbab. Ada adik-adik kita yang sudah sejak SD sudah pakai jilbab,” kata Irwan.
Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan bendera kepada pembawa baki Paskibraka Salma El Mutafaqqiha Putri Achzaabi yang berjilbab dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-74 Tahun 2019 di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (17/8/2019). – (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Ia meyakini, lepasnya jilbab sebagian patugas Paskibraka karena faktor tekanan. “Nggak mungkin mereka sukarela, pasti ada tekanan,” kata dia.
Ia memaparkan, bentuk tekanannya bisa berupa ancaman dicadangkan atau tak dijadikan pasukan utama. “Malu dengan provinsi kalau sudah sampai di IKN tapi jadi cadangan, tak bawa baki,” ujarnya. Ia mengatakan sudah menanyakan ke pihak BPIP dan para pembina dari TNI-Polri soal hal ini namun belum mendapat kejelasan.
Atas polemik petugas yang melepas jilbab itu, PPI di sejumlah provinsi bergolak. “Teman-teman provinsi bereaksi, Aceh minta ke Kesbangpol untuk dipulangkan. Mereka tidak ridho, gadis Aceh yang berjilbab kok tiba-tiba tak berjilbab,” kata Irwan. “PPI di Palu di Sulawesi Tengah juga sudah protes.”
Pihak PPI juga berencana menyurati Presiden Joko Widodo terkait polemik ini. “Kalau saya yakin ini bukan perintah presiden, ini BPIP-nya karena dari dulu sudah semangat dan getol,” ujar Irwan.