Mengapa Kim Jong Un Ingin Trump Kembali Menang Pilpres AS?
PYONGYANG, KOMPAS.com – Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih akan menjadi “kesempatan sekali dalam seribu tahun” bagi Korea Utara, menurut seorang pembelot Korea Utara, Ri Il Kyu.
Ri Il Kyu adalah pembelot berpangkat tertinggi yang melarikan diri dari Korea Utara. Dalam tujuh kesempatan terpisah, Ri bertatap muka langsung dengan Kim Jong Un.
Mantan diplomat yang bekerja di Kuba ketika dia melarikan diri bersama keluarganya ke Korea Selatan pada November lalu, mengaku “menggigil ketakutan” ketika pertama kali bertemu dengan Kim Jong Un.
Baca juga: Trump Terima Tawaran Debat Arena Fox News Lawan Harris, Sebut Debat Formal Tak Adil
Namun, dalam tiap pertemuan, Ri mengamati sang pemimpin senantiasa tersenyum dan suasana hatinya pun baik.
“Beliau sering memuji orang dan tergelak. Dia tampak seperti orang biasa,” ujar Ri kepada BBC.
Di sisi lain, Ri tidak meragukan, Kim akan melakukan apa saja untuk menjamin keselamatannya – bahkan jika itu berarti membunuh 25 juta rakyatnya.
“Dia bisa saja menjadi manusia dan ayah yang luar biasa. Namun, karena dia digadang-gadang menjadi dewa, dia pun berubah menjadi makhluk yang mengerikan.”
Dalam wawancara pertamanya dengan lembaga penyiaran internasional, Ri menjabarkan sesuatu yang langka: pemahaman mengenai apa tujuan Korea Utara, salah satu negara paling tertutup dan represif di dunia.
Menurut Ri, Korea Utara masih memandang Trump sebagai seseorang yang dapat diajak bernegosiasi mengenai program senjata nuklirnya.
Ini dikatakan Ri meskipun pembicaraan antara Trump dan Kim Jong Un mengalami kegagalan pada 2019.
Sebelumnya, Trump memandang tinggi relasinya dengan Kim sebagai pencapaian utama dalam masa kepresidenannya. Trump menyebut keduanya “kasmaran” seiring bertukar bertukar surat.
Bulan lalu, Trump menyerukan dalam pidato umumnya bahwa Kim ingin melihat dirinya kembali menjabat: “Jujur saja, saya rasa dia rindu dengan saya”.
Baca juga: Ahli Strategi Partai Republik Prediksi Kamala Harris Akan Ungguli Trump
Menurut Ri, Korea Utara berharap dapat memanfaatkan hubungan pribadi yang erat antara Trump dan Kim Jong Uni untuk keuntungannya.
Hal ini bertentangan dengan pernyataan resmi dari Pyongyang bulan lalu bahwa mereka “tidak peduli” siapa yang menjadi presiden AS.
Ri menilai negara nuklir itu tidak akan pernah menyingkirkan senjatanya. Hal ini membuat mereka akan berupaya mencari kesepakatan untuk membekukan program nuklirnya sebagai imbalan atas pencabutan sanksi-sanksi dari AS.
Namun, Ri mengatakan, Pyongyang tidak akan bernegosiasi dengan itikad baik. Penyetujuan pembekuan program nuklirnya, menurut Ri, “akan menjadi taktik, 100% penipuan”.
Ri menambahkan, ini adalah “pendekatan yang berbahaya” yang “hanya akan mengarah terhadap penguatan Korea Utara”.
Sebuah ‘pertaruhan hidup atau mati’
Delapan bulan setelah membelot, Ri Il Kyu tinggal bersama keluarganya di Korea Selatan. Ditemani seorang pengawal polisi dan dua agen intelijen, dia menjelaskan keputusannya untuk meninggalkan pemerintahannya dalam wawancara dengan BBC.
Setelah bertahun-tahun dihantam korupsi, penyuapan, dan minimnya kebebasan, Ri berada di ujung tanduk setelah permintaannya untuk pergi ke Meksiko untuk menjalani operasi untuk cedera di lehernya ditolak.
“Saya menjalani kehidupan 1% orang teratas di Korea Utara, tetapi itu masih lebih buruk dibandingkan keluarga kelas menengah di Korea Selatan.”
Sebagai seorang diplomat di Kuba, Ri hanya berpenghasilan US$500 (sekitar Rp8 juta) per bulan. Demi menghidupi keluarganya, Ri menjual cerutu Kuba secara ilegal di China.
Ri kemudian mengutarakan keinginannya untuk membelot kepada istrinya. Kabar ini sungguh mengganggu kesehatan mental istri Ri sampai-sampai dia masuk rumah sakit karena masalah jantung.
Baca juga: Mengkaji Fenomena Targeted Killing Pasca-Insiden Trump dan Haniyeh
Setelah itu, Ri merahasiakan rencananya. Barulah enam jam sebelum pesawat mereka berangkat, Ri memberitahukan rencana pembelotannya kepada istrinya dan anaknya
Ri menggambarkan keputusannya adalah “pertaruhan hidup atau mati”.
Menurut Ri, warga biasa yang tertangkap karena membelot dari Korea Utara biasanya akan disiksa selama beberapa bulan tetapi kemudian dibebaskan.
“Namun bagi para elite seperti kami, hanya ada dua kemungkinan: hidup di kamp penjara politik atau dieksekusi oleh regu tembak,” tegasnya.
“Ketakutan dan teror itu luar biasa. Saya bisa menerima kematian saya sendiri, tetapi saya tidak tahan membayangkan keluarga saya diseret ke kamp konsentrasi,” ujarnya.
Ri secara pribadi tidak pernah percaya kepada Tuhan. Namun, tatkala menunggu dengan gugup di gerbang bandara pada tengah malam, dia memanjatkan doa.
Pembelotan level tinggi terakhir yang diketahui adalah pembelotan Tae Yong-ho pada tahun 2016. Mantan wakil duta besar untuk Inggris itu baru-baru ini diangkat sebagai ketua dewan penasihat presiden Korea Selatan untuk unifikasi.
Menanggapi hubungan Korea Utara yang kian dekat dengan Rusia baru-baru ini, Ri berpendapat perang Ukraina menjadi keberuntungan bagi Pyongyang.
AS dan Korea Selatan memperkirakan Korea Utara menjual jutaan amunisi kepada Moskow untuk mendukung invasinya. Sebagai imbalan, Korea Utara mendapatkan makanan, bahan bakar, dan bahkan teknologi militer.
Ri menyebut manfaat utama dari kerja sama ini bagi Pyongyang adalah mereka dapat terus mengembangkan senjata nuklirnya.
Dengan kesepakatan ini, Rusia menciptakan “celah” dalam sanksi internasional yang ketat terhadap Korea Utara, imbuh Ri.
Hal ini memungkinkan Korea Utara untuk “secara bebas mengembangkan senjata nuklir dan rudal serta memperkuat pertahanannya. Pada saat yang bersamaan, mereka dapat mengabaikan kebutuhan untuk memohon keringanan sanksi kepada AS”.
Namun, Ri menekankan, Kim Jong Un memahami hubungan ini bersifat sementara dan, setelah perang, Rusia kemungkinan besar akan memutuskan kesepakatan.
Karena itulah, sambung Ri, Kim belum putus asa terhadap AS.
“Korea Utara memahami, satu-satunya jalan menuju keberlangsungan hidup, melenyapkan ancaman invasi, dan mengembangkan ekonomi, adalah dengan menormalkan hubungan dengan Amerika Serikat,” jelasnya.
Baca juga: Jika Trump Menang, Korut Ingin Mulai Lagi Perundingan Nuklir
Rusia bisa saja memberi Korea Utara jeda sementara dari penderitaan ekonominya. Namun, Ri mengatakan ditutupnya perbatasan Korea Utara secara total selama pandemi “sangat menghancurkan ekonomi dan kehidupan masyarakat negara itu”.
Menurut Ri, ketika perbatasan dibuka kembali pada tahun 2023 dan para diplomat bersiap untuk kembali, keluarga mereka di kampung halaman meminta mereka untuk “membawa apa saja… bahkan sikat gigi bekas, karena tidak ada yang tersisa di Korea Utara”.
Pemimpin Korea Utara menuntut kesetiaan total dari warganya. Sedikit saja ada perbedaan pendapat, maka hukuman penjara adalah ganjarannya.
Namun, Ri mengatakan kesetiaan rakyat semakin terkikis akibat kemelaratan yang mereka alami selama bertahun-tahun. Kini tidak ada lagi yang mengharapkan sesuatu dari “Pemimpin Tertinggi” mereka, Kim Jong Un.
“Tidak ada lagi kesetiaan yang tulus kepada rezim atau Kim Jong Un. Kesetiaan ini adalah kesetiaan yang dipaksakan, di mana seseorang harus setia atau menghadapi kematian,” katanya.
“Perbuatan paling keji”
Perubahan yang terjadi belakangan ini sebagian besar didorong oleh masuknya film, drama, dan musik Korea Selatan, yang diselundupkan ke Korea Utara.
Produk-produk seni ini ilegal untuk dikonsumsi warga Korea Utara.
“Orang-orang [di Korea Selatan] tidak menonton konten Korea Selatan karena mereka memiliki keyakinan kapitalis. Alih-alih, itu hanyalah cara mereka mencoba menghabiskan waktu dalam kehidupan yang monoton dan suram,” ujar Ri.
Akan tetapi, lanjut Ri, orang-orang ini kemudian mulai bertanya: “Kenapa mereka yang berada di Selatan menjalani kehidupan negara dunia pertama sementara kami miskin?”
Konten Korea Selatan memang mengubah Korea Utara, ujar Ri. Namun, yang menjadi penyebab keruntuhan Korea Utara bukanlah konten Korea Selatan, melainkan sistem kontrol yang berlaku.
“Kim Jong Un sangat menyadari kesetiaan terhadapnya semakin berkurang. Orang-orang berevolusi. Itulah sebabnya dia mengintensifkan pemerintahan terornya,” ujarnya.
Pemerintah Korea Utara mengeluarkan undang-undang yang menghukum keras siapa saja yang mengonsumsi dan mendistribusikan konten Korea Selatan.
Tahun lalu, BBC mewawancarai seorang pembelot yang mengeklaim dirinya menyaksikan seseorang dieksekusi mati karena membagikan musik dan acara TV Korea Selatan.
Ri menambahkan keputusan Korea Utara akhir tahun lalu untuk meninggalkan proses unifikasi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun merupakan upaya lebih lanjut untuk mengisolasi orang-orang dari Korea Selatan.
Baca juga: Harris Vs Trump dan Implikasinya bagi Asia Tenggara
Ri menggambarkan hal ini sebagai tindakan Kim Jong Un yang “paling keji” mengingat semua orang Korea Utara memimpikan reunifikasi.
Para pemimpin Korea Utara pada masa lalu “mencuri kebebasan, uang, dan hak asasi manusia”, sambung Ri, tetapi “Kim Jong Un merampas satu hal yang yang tersisa: harapan”.
Di luar Korea Utara, banyak perhatian tertuju pada kesehatan Kim Jong Un.
Beberapa orang meyakini bahwa jika Kim Jong Un meninggal dunia, maka ini akan memicu runtuhnya rezim. Awal pekan ini, badan intelijen Korea Selatan memperkirakan berat badan Kim mencapai 140 kilogram yang membuatnya berisiko terkena penyakit jantung.
Namun, Ri meyakini sistem pengawasan dan kontrol saat ini sudah terlalu mapan. Kematian Kim tidak akan mengancam kediktatoran.
“Pemimpin bengis lainnya akan menggantikannya,” ucapnya.
Banyak spekulasi beredar Kim sedang mempersiapkan putrinya yang masih kecil, yang diperkirakan bernama Ju Ae, untuk menjadi penggantinya.
Ri menepis anggapan tersebut.
Dia berpendapat Ju Ae tidak memiliki legitimasi dan popularitas untuk menjadi pemimpin Korea Utara.
Hal ini terutama karena garis keturunan Paektu yang sakral – yang digunakan keluarga Kim untuk membenarkan kekuasaan mereka – diyakini menurun kepada laki-laki dalam keluarga.
Ri mengakui orang-orang pada awalnya terpesona oleh Ju Ae, tetapi sekarang tidak lagi.
Mereka justru mempertanyakan kenapa Ju Ae menghadiri uji coba rudal daripada pergi ke sekolah. Orang-orang juga tidak habis pikir kenapa Ju Ae mengenakan pakaian mewah rancangan desainer terkenal alih-alih seragam sekolah seperti anak-anak lain.
Ri menekankan komunitas internasional harus bersatu – termasuk sekutu Korea Utara, China dan Rusia – dari pada menunggu Kim jatuh sakit atau meninggal.
Ri mengatakan komunitas internasional harus bersatu untuk “terus membujuknya supaya berubah”.
“Ini adalah satu-satunya hal yang akan mengakhiri kediktatoran Korea Utara,” tambahnya.
Ri berharap pembelotannya dapat menginspirasi rekan-rekannya. Bukan untuk membelot, tegasnya, melainkan mendorong perubahan kecil dari dalam.
Keinginan Ri tidak muluk-muluk. Dia tahu terlalu tinggi untuk mengharapkan warga Korea Utara bisa ikut pemilu atau melancong.
Akan tetapi, Ri berharap orang-orang Korea Utara bisa memilih pekerjaan sesuai keinginan mereka, punya cukup makanan, dan mengutarakan pendapat secara bebas antara sesama teman.
Untuk saat ini, prioritas Ri adalah membantu keluarganya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka di Korea Selatan. Dia juga ingin agar anaknya dapat berbaur dengan masyarakat.
Baca juga: Investigasi Lanjutan Penembakan Trump Ungkap Kegagalan Komunikasi
Pada akhir wawancara kami, Ri mengajukan sebuah skenario.
“Bayangkan saya menawarkan Anda sebuah petualangan. Lalu saya berkata: jika berhasil, kita akan menang besar, tetapi jika kita gagal, itu berarti kematian.
“Anda tidak akan setuju, bukan? Nah, itulah pilihan yang saya paksakan kepada keluarga saya, dan mereka diam-diam setuju dan mengikuti saya,” katanya.
“Ini sekarang menjadi utang yang harus saya bayar seumur hidup saya.”
Jake Kwon dan Hosu Lee ikut berkontribusi untuk artikel ini.