Apakah “Targeted Killings” Israel terhadap Para Pemimpin Hamas Legal?
ISRAEL punya sejarah panjang dalam melakukan apa yang disebut sebagai pembunuhan terhadap orang-orang yang sudah diincar (targeted killings) yang dianggapnya sebagai musuh, termasuk — kemungkinan besar — pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang dibunuh Rabu (31/7/2024).
Pada Rabu dini hari itu, pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang merupakan salah satu pemimpin para negosiator untuk gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera di Gaza, terbunuh di akomodasinya di Ibu Kota Iran, Teheran, ketika sebuah proyektik yang dikendalikan dari jarak jauh menerjang kediaman itu.
Kematiannya dapat digambarkan sebagai “targeted killing“, sesuatu yang didefinisikan oleh para pakar hukum di Komite Palang Merah Internasional sebagai “penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja dan direncanakan sebelumnya oleh suatu negara atau kelompok bersenjata terorganisir terhadap individu tertentu di luar pengawasan fisik mereka.
Haniyeh memang sudah lama dincar Israel untuk dibunuh.
Baca juga: Siapa Pemimpin Politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang Dibunuh di Iran?
Sejauh ini belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab ataa pembunuhan Haniyeh. Namun, kemungkinan besar pemerintah Israel berada di balik serangan tersebut. Israel saat ini terlibat dalam operasi militer di Gaza. Mereka berperang melawan kelompok Hamas dan punya sejarah panjang dalam pembunuhan terhadap orang-orang Palestina yang mereka incar walau (kebanyakan) menyangkal bertanggung jawab atas tindakan itu.
Korban tewas dalam perang Gaza saat diperkirakan hampir 40.000 orang.
Pencegahan Terorisme
Menurut sebuah buku akademis terbit tahun 2008, berjudul “Targeted Killing in International Law,” yang ditulis Nils Melzer, sekarang menjadi profesor hukum, Israel kemungkinan besar merupakan negara pertama di dunia yang mengakui kebijakan pembunuhan terhadap orang-orang yang dincar karena anggap musuh berbahaya (targeted killing) pada tahun 2000.
Hal itu dianggap sebagai ‘kebijakan penggagalan terorisme” oleh pemerintah dan digunakan secara terbuka selama apa yang sekarang dikenal sebagai Intifada Palestina Kedua, atau Pemberontakan Palestina, pada tahun 2000. Israel, Uni Eropa, dan Amerika Serikat mengklasifikasikan Hamas sebagai organisasi teroris.
Saat itu, sejumlah helikopter, pesawat tempur, dan perangkat jebakan Israel digunakan terhadap orang-orang di wilayah Palestina yang diklaim Israel sebagai teroris. Berdasarkan laporan organisasi hak asasi manusia terkemuka Israel, B’Tselem, pada tahun 2007 sebanyak 210 “target” semacam itu telah terbunuh, bersama dengan 129 orang yang tidak bersalah.
Israel bukan satu-satunya negara yang menerapkan praktik semacam itu. Banyak negara lain – termasuk AS, Rusia, Swiss, Jerman, dan Inggris – juga melakukan targeted killings. Sejumlah ahli hukum mengatakan, sejak 11 September 2001, targeted killing semakin diterima secara global.
Contoh yang menonjol termasuk pembunuhan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, tahun 2011 oleh pasukan khusus AS di Pakistan, dan serangan pesawat tak berawak baru-baru ini di Suriah dan Lebanon. Tahun 2014, majalah politik Jerman, Der Spiegel, menuduh bahwa militer Jerman telah memainkan peran penting dalam targeted killings terhadap sejumlah anggota Taliban di Afghanistan.
Seberapa Legal Tindakan Itu?
Targeted killings seringkali menjadi kontroversi karena pembunuhan semacam itu, terutama jika dilakukan di negara lain, dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan suatu negara. Namun apakah tindakan semacam itu melanggar hukum masih belum jelas.
Tahun 2002, targeted killing menjadi topik perdebatan di Israel ketika sebuah kelompok hak asasi manusia Israel dan Palestina berusaha mencegahnya. Mahkamah Agung Israel membutuhkan waktu lima tahun untuk mengambil keputusan terkait hal itu.
“Pemerintah Israel menerapkan sebuah kebijakan serangan preventif yang menyebabkan kematian teroris,” kata seorang hakim Israel pada Desember 2006. “Sejumlah serangan kadang-kadang juga merugikan warga sipil yang tidak bersalah. Apakah negara bertindak ilegal?” tanya Hakim Ketua, Aharon Barak.
Apa jawaban pengadilan?
Tergantung!
“Diputuskan bahwa tidak dapat ditentukan sebelumnya bahwa setiap targeted killing dilarang menurut hukum kebiasaan internasional,” demikian kesimpulan putusan itu. “Sama seperti tidak dapat ditentukan sebelumnya bahwa targeted killing apapun diperbolehkan menurut hukum kebiasaan internasional.”
Kerangka Hukum yang Rumit
Beberapa pakar hukum mengatakan, ada sejumlah pertanyaan berbeda yang menentukan apakah pembunuhan terhadap orang yang dincar itu sah atau tidak. Salah satu yang paling penting adalah kerangka hukum apa yang mendasari penilaian terhadap pembunuhan tersebut. Hukum dalam negeri, hukum perang tertentu, dan hukum humaniter internasional termasuk di antaranya.
Misalnya, hukum humaniter internasional (international humanitarian law/IHL) diterapkan pada saat konflik dan sebenarnya memperbolehkan tindakan kekerasan tertentu dilakukan selama pertempuran. Namun bahkan berdasarkan IHL, pembunuhan tersebut masih dapat dipertanyakan jika korban tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan pada saat mereka dibunuh.
Persoalan lainnya adalah apakah negara yang melakukan pembunuhan itu merupakan kekuatan pendudukan, apakah negara itu dapat menghentikan targetnya dengan cara lain (misalnya dengan menahan korban), apakah ada penegakan hukum yang tegas di wilayah tersebut yang dapat melakukan intervensi, dan bahaya apa yang dialami warga sipil.
Tidak Ada Batasan yang Tegas?
Sejumlah organisasi hak asasi manusia sering berpendapat bahwa semua praktik targeted killings ilegal dan menyatakan keprihatinan bahwa pembunuhan semacam itu sudah menjadi hal yang biasa. Sementara itu, pemerintah sering kali melihatnya sebagai alat yang berguna.
Menurut seorang wartawan Israel, pemerintah negaranya sudah biasa menggunakan taktik tersebut.
“Dalam laporan saya, saya menemukan bahwa sejak Perang Dunia II, Israel telah melakukan pembunuhan dan targeted killing lebih banyak dibandingkan negara lain di Barat, dan dalam banyak kasus membahayakan nyawa warga sipil,” tulis jurnalis investigasi Israel, Ronen Bergman, di New York Times. Dia menulis artikel itu dengan mengadaptasi bukunya yang terbit tahun 2018, berjudul Rise and Kill First: The Secret History of Israel’s Targeted Assassinations.
Bergman melanjutkan, “Namun saya juga menemukan sejarah panjang perdebatan internal yang mendalam – dan sering kali penuh ketegangan – mengenai bagaimana negara itu harus dipertahankan. Bisakah suatu negara menggunakan metode terorisme? Bisakah negara merugikan warga sipil yang tidak bersalah dalam prosesnya? Apa dampaknya? Di mana batasnya?”