Informasi Terpercaya Masa Kini

Kesaksian dua pemuda yang menganggur gara-gara batasan usia di lowongan kerja

0 24

Batasan usia dalam lowongan pekerjaan bersifat diskriminatif dan sudah menjadi persoalan kronis menahun yang dibiarkan pemerintah hingga berimbas pada tingginya angka pengangguran di Indonesia, menurut pakar hukum perburuhan.

Karena itulah Leonardo Olefins Hamonangan, pemuda berusia 23 tahun, mengajukan permohonan uji materil Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut dia, ketentuan dalam pasal tersebut membuat pemberi kerja semena-mena dalam menentukan syarat-syarat rekrutmen sehingga bisa menghambat anak-anak muda sepertinya mendapat pekerjaan.

Sebut saja persyaratan usia maksimal 25 tahun, berpenampilan menarik, bahkan ada yang menentukan gender dan agama tertentu.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam, mengatakan ada beberapa alasan mengapa perusahaan membuat batasan usia, gender, pendidikan, atau pengalaman kerja ketika membuka lowongan pekerjaan. Utamanya, kata Bob, demi menekan ongkos rekrutmen.

Namun, pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, tak sepakat dengan pendapat tersebut. Menurutnya, upah menjadi alasan utama ada batasan usia dalam lowongan pekerjaan karena mereka yang baru lulus kuliah dan belum punya pengalaman kerja biasanya menerima jika diberi upah murah.

Direktur Bina Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Tenaga Kerja, Agatha Widianawati, mengatakan batasan usia dalam lowongan pekerjaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perusahaan, menurutnya, diberikan kebebasan untuk mengatur sendiri. Asalkan tidak melanggar ketentuan tentang batas usia minimal orang bekerja yang diatur dalam UU 13 tahun 2003, yakni 18 tahun.

Berjibun pesan masuk ke akun Instagram Leonardo Olefins Hamonangan sejak berita tentang gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) viral di media sosial pada awal Maret lalu.

Surat elektronik yang diterimanya rata-rata berupa dukungan, curahan hati, bahkan ada yang mau mengirimkan makanan sebagai ucapan rasa terima kasih.

Beberapa percakapan dia bacakan secara singkat, isinya ada soal pengalaman orang-orang yang sulit mendapatkan pekerjaan karena terganjal persyaratan usia, gender, dan agama.

“Enggak terhitung lagi pesan yang saya terima, banyak banget, ada ratusan. Sampai ada netizen yang mau kirim martabak,” ujar Leo disusul tawa.

Pemuda 23 tahun ini lalu menceritakan awal mula terpikir mengajukan permohonan uji materi ke MK.

  • Peta jalan ekonomi digital Indonesia: Jokowi tampik potensi ratusan juta pengangguran baru
  • Kartu Pra Kerja Jokowi: Menggaji pengangguran, akankah tepat sasaran?

Pada 2022, saat Leonardo baru lulus kuliah dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), dia langsung mencari pekerjaan sebagai staf legal.

Namun, dari sejumlah lowongan pekerjaan, sebagian besar mencantumkan syarat batas usia maksimal 23 tahun. Persyaratan itu membuatnya tergelitik sekaligus memancing rasa penasaran.

“Saya berpikir buat apa [ada pembatasan usia 23 tahun]? Terus saya juga lihat ada loker-loker aneh, kok ada [persyaratan] agama dicantumkan?” katanya dengan nada heran.

“Dari situ rasa penasaran muncul, saya tertarik untuk meneliti ini.”

Karena punya latar belakang pendidikan di bidang hukum, Leo mulai mengulik Undang-Undang Cipta Kerja yang terkait dengan ketenagakerjaan.

Dia lalu membandingkannya dengan UU nomor 13 nomor 23 tentang Ketenagakerjaan. Rupanya, ada beberapa pasal yang tidak diubah alias masih tetap sama.

Dia mendapati Pasal 35 ayat 1 yang disebutnya sebagai biang keladi dari munculnya batasan usia dalam lowongan pekerjaan.

Akan tetapi, Leo tak lekas memutuskan menggugat pasal itu ke MK.

Dia mengaku membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk berpikir dan menimbang risikonya.

“Jadi saya sudah dapat pasal bermasalah itu di bulan November 2023. Tapi saya ngelamun dulu, gimana nasib saya kalau menggugat ini?”

“Karena pasti saya akan ditandai sama perusahaan dan ada kemungkinan sulit dapat kerja.”

Hati dan langkahnya mulai yakin ketika suatu kali dia sedang ibadah ke gereja dan mendengarkan khotbah pendeta yang disebutnya menginspirasi: cerita tentang Daud melawan Goliat.

“Saya pengen kayak gitu, memberikan inspirasi ke orang-orang dan tidak takut.”

Pada awal Maret 2024 permohonan uji materi Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan resmi diajukannya ke Mahkamah Konstitusi. Berita tentang gugatan itu pun viral di media sosial.

  • Virus corona: Jumlah pengangguran tembus 33,3 juta, imbas pandemi Covid-19
  • Bagaimana TikTok kini diandalkan anak-anak muda untuk mencari kerja, akankah platform berbagi video menjadi masa depan perekrutan?

Namun, hal yang ditakutkan datang juga.

Sebelum mengajukan gugatan, Leo bisa menerima tiga kali panggilan wawancara pekerjaan dalam sehari. Sejak viral, tak ada satupun yang muncul.

“Dulu satu hari dapat tiga kali panggilan interviu, malah sampai saya tolak-tolakin karena terlalu banyak.”

“Setelah ngajuin [gugatan ke MK], kok enggak ada…,” katanya sambil tertawa kecut.

Mengapa Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan digugat?

Pasal yang diuji adalah Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dan berbunyi:

Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.

Menurut pemuda yang tinggal di Bekasi ini, norma tersebut bermasalah karena memberikan keleluasaan absolut kepada perusahaan untuk merekrut karyawannya sehingga bisa menentukan sendiri syarat lowongan pekerjaan.

Mulai dari usia, gender, penampilan, agama, sampai status perkawinan. Meskipun syarat-syarat itu ada kalanya tak berkaitan dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

“Misalnya syaratnya usia maksimal 25 tahun dan perempuan, padahal posisinya general [umum] seperti staf legal. Kan enggak nyambung relevansinya antara jenis kelamin dan posisi yang dilamar.”

Pengamatan Leo, saat ini semakin banyak perusahaan yang mencantumkan syarat batas usia maksimal 23 tahun, 25 tahun, atau 28 tahun dalam mencari pekerja.

Baginya, pemberlakuan syarat-syarat itu – terutama usia –merugikan banyak orang apalagi yang sudah berusia kepala tiga tapi masih produktif.

Selain juga ibu muda yang sempat berhenti bekerja karena hamil dan mengurus keluarga, pekerja kontrak, dan termasuk dirinya kelak.

“Ketika mereka ingin bekerja lagi, terhambat karena masalah usia.”

“Untuk saat ini, saya memang belum terdampak. Tapi kemungkinan ada, kalau semisal saya dikontrak kerja sampai usia 28 tahun dan diberhentikan. Di usia segitu sudah sulit cari pekerjaan, karena ada syarat usia.”

“Makanya di permohonan itu saya mencantumkan kerugian potensial.”

Pada berkas permohonannya, Leo menyebut Pasal 35 ayat 1 tersebut tak cuma diskriminatif tapi juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 serta Undang-undang No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

Selain itu dia juga memasukkan perbandingan aturan ketenagakerjaan di Indonesia dengan sejumlah negara seperti AS, Jerman, dan Belanda untuk memperkuat argumentasinya.

Di Amerika Serikat, katanya, ada ketentuan hukum yang berlaku di mana iklan lowongan pekerjaan tidak boleh diskriminatif terkait dengan usia atau pendidikan.

Kemudian di Jerman, kata dia, pemerintah memberikan hak kepada warganya untuk mengajukan gugatan perdata apabila terjadi diskriminasi lowongan pekerjaan.

“Ini yang membuat saya berpikir kenapa pemerintah Indonesia tidak bisa meniru? Pemerintah menganggap lowongan pekerjaan masalah privat, ranah perusahaan sehingga tidak bisa ikut campur.”

BBC News Indonesia mewawancarai Wira dan Dika – dua pemuda yang menganggur gara-gara terbentur batas usia.

‘Usia 30 dipaksa menganggur’

Ginanjar Wira Nugraha, 35 tahun, termasuk yang kena getah batasan usia dalam lowongan pekerjaan.

Warga asal Malang, Jawa Timur, ini sekarang bekerja sebagai kuli bangunan di Taiwan. Padahal pendidikan dan pengalaman kerjanya tak sembarangan: D3 Teknik Elektronika dan lima tahun pengalaman kerja sebagai teknisi instrumen di perusahaan minyak dan gas.

Dengan wajah kuyu sehabis pulang kerja, dia bercerita kesal bukan main kepada pemerintah karena menyusahkan warganya sendiri.

“Kalau bisa memilih, lebih baik berkarya di negeri sendiri daripada di negeri orang. Tapi gimana? Indonesia ini enggak memberikan kesempatan untuk semua orang berkarya… mau berkarya di negeri sendiri dibatasi [umur],” ujar Wira menggerutu.

Sepanjang berbincang dengannya, pria lajang ini selalu geleng-geleng kepala dan berdecak setiap kali menceritakan bagaimana dirinya gagal melamar pekerjaan.

Seperti ada perasaan kecewa dan marah yang masih terpendam.

  • Nadiem Makarim, sekolah, dan dunia usaha: ‘Apakah anak saya hanya akan dididik menjadi tenaga kerja?’

Wira lulus dari Politeknik Negeri Malang pada 2009 dan merampungkan gelar Sarjana di Universitas Terbuka.

Pada 2011, dia magang di perusahaan asing yang bergerak di sektor minyak dan gas selama setahun lebih. Setelahnya menjadi karyawan tetap sebagai teknisi instrumen.

Namun, pada 2018 perusahaan tersebut gulung tikar dan menghentikan seluruh operasionalnya di Indonesia. Wira pun dipaksa untuk mundur.

Kala itu usianya sudah menginjak 30 tahun, dan sejak itulah dia merasakan pahit getir sulitnya mencari pekerjaan.

“Ditambah lagi kondisinya waktu itu pandemi Covid-19,” sambungnya.

Tapi Wira belum menyerah, dia kembali mengirimkan surat lamaran ke perusahaan yang masih bergerak di bidang minyak dan gas milik pemerintah.

Kalau melihat pendidikan dan pengalaman, Wira mengaku yakin bakal lolos. Tapi yang jadi masalah, katanya, ada persyaratan batas usia maksimal 27 tahun.

Meski begitu, nyalinya tak ciut.

Ia tetap membuka situs lowongan pekerjaan dan mengisi persyaratan-persyaratan yang diperlukan. Termasuk mengetik kolom usia: 30 tahun.

“Tahunya begitu mau submit [kirim] lamaran, enggak bisa.”

“Padahal secara pengalaman kerja, pendidikan, sudah masuk. Cuma memang usia itu syarat nomor satu, bukan pengalaman atau pendidikan.”

“Ibaratnya kalau usia sudah 30 tahun disuruh nganggur,” katanya jengkel.

Karena tak juga mendapatkan pekerjaan, Wira menjajal jualan secara digital di lokapasar dengan meminjam uang ke bank sebagai modal usaha. Sayangnya, gagal.

Sesudah itu, dia bekerja sebagai mitra pengemudi di sebuah perusahaan aplikasi jual-beli online berwarna oranye, juga tak bertahan lama karena sepi orderan.

  • Robot mulai mengambil alih pekerjaan manusia, perlukah mereka kena pajak?

Merasa tak bisa membantu keuangan keluarga dan dikejar-kejar utang, Wira akhirnya ikut program pemerintah untuk bekerja sebagai pekerja migran ke Taiwan pada 2022 akhir.

“Saya sekarang mengabdi untuk pertumbuhan ekonomi Taiwan, bukan Indonesia lagi.”

Di Taiwan, Wira ditempatkan di pabrik tekstil dengan sistem kontrak per tiga tahun.

Padahal dulu, dia mengaku dijanjikan bekerja sebagai operator. Namun kenyataannya ia dipekerjakan sebagai kuli bangunan.

Itu mengapa ketika membaca berita tentang gugatan yang dilayangkan Leonardo ke Mahkamah Konstitusi, Wira girang. Dia menilai persoalan diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan harus disudahi.

Karena bagaimanapun, katanya, semua orang akan tua. Tapi tua, ungkapnya, bukan berarti tidak bisa produktif.

“Ini kan enggak manusiawi, karena semua orang pasti tua.”

“Sekarang enggak cuma perusahaan BUMN yang ada syarat batas usia, perusahaan non-formal kayak kafe juga ikut-ikutan. Semua dibatasi umur. Akibatnya apa? Banyak usia produktif nanti tidak bisa bekerja.”

“Ini kan namanya diskriminasi di mana yang usia 30 tahun ke atas dipaksa menganggur. Gimana pemerintah mau menyejahterakan masyarakat kalau begini?” ucapnya berapi-api.

‘Usia saya muda, tapi di mata HRD sudah tua’

Dika (bukan nama sebenarnya), 26 tahun, juga bernasib sama.

Warga Surabaya, Jawa Timur, ini mengaku sejak lulus kuliah sampai sekarang sudah mengirim setidaknya hampir 100 surat lamaran pekerjaan, namun tak ada satu pun yang jebol.

Walaupun begitu, dia belum patah semangat mencari pekerjaan.

“Mungkin karena keluarga saya yang enggak bikin down [terpuruk]. Mereka terus nyemangatin saya, enggak ngejek,” ujarnya.

Dika punya latar belakang pendidikan manajemen pariwisata dan ketika lulus, dia bekerja di industri yang bergerak di bidang makanan dan minuman.

Tapi pandemi Covid-19 membuat beberapa sektor bisnis bangkrut lantaran sepi pembeli. Dika pun terpaksa berhenti bekerja kala usianya menginjak 23 tahun.

“Terus saya masih coba lamar-lamar pekerjaan, cuma agak susah karena pas pandemi. Apalagi hotel atau restoran juga pengunjungnya berkurang.”

Karena tak juga mendapatkan pekerjaan, anak sulung ini ikut bootcamp atau program pelatihan digital marketing sebanyak dua kali sepanjang tahun 2022.

Pelatihan digital marketing dipilih karena pasca-pandemi Covid-19, katanya, mulai banyak bisnis yang berusaha memperluas pasarnya secara online.

Celah itulah yang coba diambilnya dengan melamar ke beberapa perusahaan. Hanya saja, kata Dika, ada saja rekrutmen yang mencantumkan syarat batas maksimal usia 25 tahun.

“Saya apply [melamar] di Jobstreet ada lebih dari 10, kebanyakan syaratnya usia maksimal 25 tahun. Saya tetap apply, tapi enggak lolos, soalnya usia sudah 26 tahun.”

  • Apa yang terjadi ketika Finlandia ‘menggaji’ orang-orang yang menganggur
  • Mengapa karyawan bisa menang menghadapi perusahaan dalam mempertahankan WFH?

Dika tak tahu pasti mengapa ada syarat batasan umur untuk digital marketing. Padahal pekerjaannya tak berhubungan dengan usia tua atau muda.

Sebagai digital marketing, sambungnya, yang utama harus punya ide bagaimana membentuk brand awareness suatu produk dan memasarkannya secara online semenarik mungkin.

“Makanya usia saya dibilang muda, tapi di mata HRD sudah tua, hahaha…,” katanya menyindir.

Pria yang masih melajang ini mengaku ada perasaan sedih dan malu tiap kali gagal dalam proses rekrutmen pekerjaan. Apalagi kalau benar terganjal gara-gara batasan usia.

Sebab meskipun umurnya nanti sudah kepala tiga, belum tentu tidak produktif atau gagap teknologi.

“Karena ada anggapan umur 25 tahun ke atas enggak ngikutin gaya hidup anak muda, gaptek, banyak nuntut.”

Sama halnya seperti Wira, Dika berharap gugatan yang kini berada di Mahkamah Konstitusi dikabulkan.

Dengan begitu pemerintah bisa melihat bahwa ada persoalan dalam dunia kerja di Indonesia sehingga harus ada jalan keluarnya.

“Soalnya sekarang kayak enggak ada solusi, batas usia kerja itu harusnya dihapuskan.”

Mengapa perusahaan menetapkan batasan usia?

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam, mengatakan ada beberapa alasan mengapa perusahaan membuat batasan usia, gender, pendidikan, atau pengalaman kerja ketika membuka lowongan pekerjaan.

Pertama, untuk menekan ongkos rekrutmen.

Perlu diketahui, katanya, pasar kerja di Indonesia makin timpang – apalagi setelah didera pandemi Covid-19. Jumlah tenaga kerja lebih banyak daripada lapangan pekerjaan yang tersedia.

Kalau harus membuka selebar-lebarnya lowongan pekerjaan, pengusaha harus mengeluarkan biaya rekrutmen yang besar pula. Sementara posisi yang dibutuhkan sedikit, kata Bob.

Itu kenapa, menurut Bob. perusahaan memakai ‘pembatasan’ untuk menyortir para pencari kerja.

“Dengan membatasi usia, penyaringannya lebih efektif. Kalau yang daftar seribu tapi cuma butuh satu orang gimana? Kan ada biaya untuk tes orang, makanya dibikin syarat usia 25 tahun… itu sudah berkurang populasinya 50 persen, terus apa lagi… penampilan,” ucap Bob Azam kepada BBC News Indonesia.

“Kalau populasinya lebih sedikit ongkos rekrutmen lebih rendah.”

  • Krisis Yunani, generasi milenial, dan epidemi pengangguran

Alasan kedua, sebut Bob, perusahaan biasanya ingin membentuk calon pemimpin dari internal dengan jenjang karier yang bertahap. Tujuannya supaya mudah beradaptasi dan ada kesamaan nilai.

Tapi untuk itu, membutuhkan masa kerja paling tidak selama 20 tahun.

“Jadi ini ada kaitannya dengan budaya perusahaan yang mengambil tenaga kerja dari dalam, bukan dari pasar kerja. Sehingga orang dididik sejak muda untuk sampai ke posisi manajer di usia 45 tahun,” papar Bob.

“Kalau rekrut orang di usia 30 tahun, begitu di level manajer sudah pensiun,” sambungnya.

Ketiga, lanjut Bob, adanya anggapan yang masih ajek di kalangan pengusaha bahwa usia muda kondisi fisiknya lebih baik.

Bob yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berkata dirinya termasuk yang tidak setuju dengan adanya pembatasan-pembatasan seperti itu.

Menurutnya, pembatasan itu membuat perusahaan menjadi tidak kompetitif.

Namun apa mau dikata, aturan ketenagakerjaan di Indonesia yang disebutnya kaku akhirnya menjadikan perusahaan tak berdaya untuk lebih gampang merekrut orang baru lantaran adanya kebijakan membayar pesangon.

“Kami sih lebih senang diterapkan easy hiring, easy firing [mudah merekrut, mudah memecat],” kata Bob.

“Jangan dilihat easy firing-nya, tapi easy hiring-nya. Perusahaan enggak akan ragu-ragu merekrut karena enggak khawatir orang akan lama bekerja di perusahaan tersebut,” imbuhnya.

  • Derita pengemudi ojek online sehari dapat Rp10.000 bahkan kadang nol rupiah

“Kalau ini terbentuk, pembatasan usia bisa dikurangi. Jadi easy hiring-nya akan terbentuk.”

“Sebab ada kalanya perusahaan enggak bisa memecat karyawannya yang sudah lama kerja, tapi tidak produktif gara-gara harus bayar pesangon. Akhirnya dua-duanya rugi kan,” papar Bob.

Kenapa syarat usia dianggap normal?

Akan tetapi pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, berpandangan akibat dari situasi pasar kerja Indonesia yang timpang ini justru menimbulkan ketidakadilan.

Sebab pemberi kerja bisa semena-mena membuat aturan sendiri dalam merekrut karyawan.

Padahal, katanya, kalau merujuk pada Pasal 5 UU Ketenagakerjaan hal itu sebetulnya tidak diperbolehkan.

Pasal 5 menyebutkan:

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Namun, karena kondisi yang disebutnya tidak wajar itu berlangsung di segala lini sektor usaha pada akhirnya dinormalisasi.

“Pasar kerja kita isinya banyak yang membutuhkan pekerjaan, jadi mau dibatasi seperti apa pun selalu ada yang daftar. Sehingga kita beranggapan itu [batasan usia] hal normal, kalau enggak dibatasi kasihan dong yang baru lulus enggak dapat pekerjaan,” ujar Nabiyla kepada BBC News Indonesia.

“Padahal bukan tidak memberikan pekerjaan kepada yang baru lulus, tapi membuka kesempatan bagi siapa saja.”

Nabiyla juga menilai ada alasan utama yang membuat perusahaan lebih mengutamakan calon pekerja dengan batas usia di rentang 23 hingga 25 tahun.

Mereka yang baru lulus kuliah dan belum punya pengalaman kerja, biasanya menerima jika diberi upah murah.

  • Bagaimana lapangan kerja akan lebih terbuka bagi para mantan narapidana

Berbeda ketika pekerja yang sudah ‘berumur’ dan memiliki pengalaman kerja, bakal menolak kalau ditawari gaji yang sama.

“Sepertinya itu alasan utamanya, pekerja yang memiliki standar kualifikasi tidak terlalu tinggi mendapat upah yang tidak terlalu tinggi juga.”

Jika merujuk pada peraturan di UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, secara keseluruhan sebenarnya sudah jelas melarang adanya perlakuan diskriminasi dalam pencarian kerja.

Apalagi Indonesia telah mengadopsi Konvensi ILO Nomor 111 tentang kesetaraan upah dan anti-diskriminasi dalam pekerjaan serta jabatan.

Maka segala hal yang berbau diskriminasi seperti agama, ras, gender, dan usia semestinya tidak diperbolehkan.

Hanya saja yang jadi masalah, kata Nabiyla, adalah implementasi di lapangan, termasuk pembiaran oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dinas tenaga kerja, dan pengawas ketenagakerjaan.

Alih-alih menegakkan aturannya sendiri, menurut Nabiyla, pemerintah pusat hingga daerah justru melanggar.

“Bisa kita lihat lowongan pekerjaan di Kemnaker (Kementerian Tenaga Kerja) sangat banyak yang ada syarat pembatasan usia. Kan lucu, mereka semestinya menegur kalau ada pemberi kerja yang membuat lowongan kerja diskriminatif,” ujarnya.

Di tengah perlakuan yang tidak adil oleh pemberi kerja dan ketidakbecusan pemerintah menjalankan aturan pada akhirnya berimbas pada tingginya angka pengangguran di Indonesia, menurut Nabiyla.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional tahun 2021-2022 memperlihatkan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan kelompok umur rentang 25 sampai 29 tahun mencapai 7-9%.

Adapun tingkat pengangguran terbuka pada kelompok usia 20 sampai 24 tahun berjumlah 17%.

Apa tanggapan Kemnaker atas praktik batasan usia pada lowongan kerja?

Direktur Bina Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Tenaga Kerja, Agatha Widianawati, mengatakan batasan usia dalam lowongan pekerjaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ini artinya, kata dia, perusahaan diberikan kebebasan untuk mengatur sendiri. Asalkan tidak melanggar ketentuan tentang batas usia minimal orang bekerja yang diatur dalam UU 13 tahun 2003, yakni 18 tahun.

Ia kemudian melanjutkan, perusahaan dalam mengatur batas usia tersebut tentunya berdasarkan syarat dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk suatu jabatan atau pekerjaan.

“Dengan demikian batasan usia yang ditentukan oleh perusahaan seharusnya tidak dikaitkan dengan persoalan diskriminasi,” sebut Agatha dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Jumat (03/05).

“Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan diskriminasi yaitu yang mencakup jenis kelamin, agama, suku, ras dan aliran politik,” tulisnya kemudian.

  • Inggris kembali pekerjakan pemetik buah musiman asal Indonesia – ‘Saya tidak punya pekerjaan lagi di sini’

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, juga menjawab bahwa karena usia tidak termasuk dalam diskriminasi dalam UU Ketenagakerjaan maka perusahaan tidak melakukan pelanggaran.

Kemnaker pun tidak dapat melakukan penindakan apa pun.

Terkait dengan gugatan di MK, Anwar, berkata hal itu adalah hak setiap warga negara.

“Kami Kemnaker siap untuk memberikan tanggapan atau penjelasan atas ketentuan dalam Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan tersebut,” ucapnya.

Kini, sidang permohonan Leo bakal memasuki babak akhir.

Ia berharap hakim MK mengabulkan gugatannya dan mengubah isi Pasal 35 ayat 1 menjadi:

Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja bisa merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja dan dilarang melakukan diskriminasi usia, agama, etnis, suku, ras, dan gender.

Meskipun ada sedikit kekhawatiran hakim MK bakal menolak, tapi dengan menggugat pasal itu setidaknya publik dan pemerintah melek atas persoalan akut ini.

“Kalau kasus ini booming pasti di-notice sama pemerintah. Syukur-syukur MK melihat situasi ini genting jadi bisa dikabulkan, dan menyelamatkan banyak orang.”

“Saya berharap ya gugatan diterima.”

Wira dan Dika juga berharap hal yang sama.

“Saya harap gugatan ini bisa berhasil dan ada perubahan fundamental di Indonesia, sehingga ke depan enggak ada lagi isu diskriminasi usia apalagi di sistem rekrutmen kerja,” ucap Wira.

“Semoga ada regulasi yang mengatur soal lowongan pekerjaan dan tidak ada diskriminasi lagi.”

Leave a comment