Sejumlah Kejanggalan Saat Polisi Periksa 8 Terpidana Pembunuhan Vina Cirebon Ditemukan LPSK
TRIBUNSUMSEL.COM – Indikasi dugaan penganiayaan atau penyiksaan, atau perlakuan yang tidak seharusnya pada tahun 2016 dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon dikatakan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Brigjen (Purn) Achmadi.
Ditemukan adanya dugaan penganiayaan, penyiksaan saat awal kasus penyidikan pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada tahun 2016 silam berdasar hasil penelusuran yang dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Akan tetapi LPSK tidak merinci pihak yang melakukan penyiksaan, dan siapa saja mengalami tindak kekerasan.
LPSK hanya menyebut kejanggalan-kejanggalan terjadi bertentangan dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang seharusnya jadi pedoman penyidikan bagi aparat penegak hukum.
“Bisa saja nanti akan berkembang kejanggalan-kejanggalan itu.
Tentu nanti akan kami sampaikan lebih lanjut kepada pihak-pihak terkait guna kepentingan proses (hukum),” ujarnya.
Achmadi mencontohkan kejanggalan dalam saat awal proses penyidikan kasus Vina dan Eky di antaranya tidak adanya pendampingan penasihat hukum ketika para pelaku diperiksa.
Padahal bila mengacu sangkaan pasal, para pelaku terancam hukuman serius karena dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Misalnya di awal pemeriksaan apakah didampingi penasihat hukum dan lain.
Sedangkan ancamannya begitu serius, tentu perlu pendampingan. Dan banyak hal lain lagi,” tuturnya.
Daftar 9 Orang di Kasus Vina Cirebon yang Ditolak LPSK, Duga Cenderung Tutupi Informasi
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengumumkan penolakan perlindungan terhadap sembilan orang saksi dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon.
Sembilan orang yang disampaikan Ketua LPSK Achmadi, yakni tujuh orang diantaranya adalah AR, SU, PS, MK, RU, TM dan FR.
Baca juga: LPSK Tolak Permohonan Perlindungan dari 7 Orang di Kasus Vina Cirebon, Beberkan Penyebabnya
Mereka adalah pihak keluarga korban dan pelaku, serta warga yang dijadikan saksi.
Sementara yang keduanya adalah saksi LA dan terpidana SD.
Adapun, penolakan terhadap ketujuh orang tersebut disebabkan karena tidak ada status hukum.
“Tujuh orang itu ada dari pihak keluarga, ada juga pihak warga yang karena tidak ada status hukumnya,” ujar Achmadi saat konferensi pers di kantor LPSK, Jakarta Timur, dilansir dari Kompas.com, Senin (22/7/2024).
Menurut Achmadi, LPSK menolak memberikan perlindungan karena para pemohon tidak konsisten dalam memberikan keterangan.
Selain itu, ketujuh pemohon juga dianggap memiliki kecenderungan menutupi informasi yang berkaitan dengan peristiwa pembunuh Vina dan Eki.
Sedangkan, dua lainnya saksi LA dan terpidana SD, yang mengajukan perlindungan karena hendak menjalani pemeriksaan untuk proses penyidikan Pegi Setiawan.
Namun, proses penyidikan untuk Pegi Setiawan saat ini telah dihentikan seiring dengan disetujuinya gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung.
“Dalam hal terdapat pemeriksaan kembali sebagai saksi dalam proses peradilan pidana, LA dan SD dapat mengajukan kembali permohonan ke LPSK,” kata Achmadi.
Baca juga: Tak Pernah di BAP di Polda Jabar, Dede Ngaku Tanda Tangan Dipalsukan di Pemeriksaan Kasus Vina
Meski begitu, Achmadi menegaskan bahwa LPSK memberikan memberikan catatan untuk kepolisian agar menjamin keselamatan SD apabila hendak digali keterangannya.
“Dalam pemeriksaan terhadap Saudara SD, agar dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan, ada 10 permohonan perlindungan dari pihak-pihak terkait dalam kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky alias Eki di Cirebon, Jawa Barat.
Ketua LPSK Achmadi menyampaikan bahwa para pemohon itu terdiri 7 anggota keluarga Vina dan Eki, sedangkan 3 orang lainnya berstatus saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pada 2016.
“Hingga tanggal 10 Juni 2024, LPSK telah menerima permohonan perlindungan dari 10 orang yang berstatus hukum sebagai saksi dan keluarga korban,” ujar Achmadi dalam konferensi pers, Selasa (11/6/2024).
Kata Achmadi, LPSK masih menelaah permohonan yang dilakukan dan melakukan asesmen terhadap para pemohon.
Hal ini untuk memastikan apakah para pemohon layak mendapatkan perlindungan hukum selama proses pengembangan kasus pembunuhan itu berjalan atau tidak.
“Mempertimbangan sejumlah tantangan tersebut, LPSK perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait permohonan dalam kasus ini,” kata Achmadi.
Sebagai informasi, Vina dan Eki tewas karena kebrutalan geng motor di Cirebon delapan tahun silam. Saat itu, Vina masih berusia 16 tahun.
Peristiwa maut itu terjadi di Jalan Raya Talun, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, pada 27 Agustus 2016.
Selepas membunuh korban, geng motor tersebut merekayasa kematian korban seolah-olah Vina dan pacarnya tewas karena kecelakaan.
Saat itu, polisi menyatakan 11 orang terlibat dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki.
Tetapi, tiga di antaranya masih buron. Dari delapan orang yang sudah divonis, tujuh di antaranya berusia dewasa. Mereka divonis hukuman seumur hidup karena melakukan pembunuhan berencana.
Adapun satu pelaku lainnya divonis delapan tahun penjara karena masih di bawah umur dan masuk dalam perlindungan anak.
Delapan orang terdakwa pemerkosa dan pembunuh Vina telah divonis Pengadilan Negeri Cianjur pada Mei 2017 lalu.
Pada 21 Mei 2024, salah satu buron kasus pembunuhan Vina dan Eki ditangkap yakni Pegi Setiawan alias Egi alias Perong.
Namun, Pegi Setiawan kembali bebas setelah mengajukan sidang praperadilan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menyatakan penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah.
Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com