Informasi Terpercaya Masa Kini

Latte Factor Dalam Secangkir Kopi

0 3

Istilah latte factor pertama kali dipopulerkan pada tahun 2005 oleh pakar keuangan, David Bach, dalam bukunya “The Automatic Millionaire”. Pada 2019, Bach merilis buku “The Latte Factor” yang kemudian membuat istilah ini semakin populer untuk menjelaskan salah satu masalah keuangan di era modern ini.  

Bach menggunakan kata “latte” untuk mengangkat contoh kebiasaan orang membeli kopi secara rutin. Menurutnya, membeli kopi adalah pengeluaran yang tampaknya kecil, tapi jika dilakukan rutin, per bulan pengeluaran untuk kopi bisa lebih besar daripada biaya listrik dan air. Suatu kondisi financial yang tidak disadari banyak orang.

Meksipun disebut latte factor dan mengangkat contoh para pembeli kopi, tetapi latte factor  bukan hanya soal kopi. Istilah ini mengacu pada berbagai pembelian “remeh, kecil” yang sifatnya rutin, di luar kebutuhan pokok, tetapi begitu dijumlahkan, total uang yang dikeluarkan ternyata cukup besar. Pengeluaran ini sejatinya tidak terlalu penting, bahkan dapat dikurangi atau ditiadakan.

Apa saja yang termasuk dalam latte factor?

1. Membeli kopi / minuman kekinian secara rutin

2. Order makanan online

Dengan perkembangan teknologi, ada banyak kemudahan termasuk dapat memesan makanan secara online. Namun, biasanya harga makanannya akan lebih mahal belum ditambah ongkos kirim, biaya kemasan, dan biaya lainnya.

3. Biaya admin transfer antar bank atau top up e-wallet

Biaya admin transfer antar bank atau top up e wallet tampaknya “murah” hanya Rp. 1.000 sampai Rp. 10.000. Tetapi apabila dijumlahkan “murah dan kecil” akan menjadi signifikan.

4. Biaya administrasi kartu kredit

5. Membeli air mineral kemasan

Banyak orang malas membawa air sendiri dalam botol / tumbler dan lebih memilih membeli air mineral kemasan saat akan bekerja. Walaupun hal ini terlihat tidak terlalu mahal, namun jika ada pilihan untuk menghemat pengeluaran anda, mengapa hal tersebut tidak dilakukankan?

6. Membeli aksesoris

Selalu tampil fashionable memang perlu. Namun, menjadi salah jika selalu lapar mata dan kalap setiap melihat aksesoris lucu.

7. Service yang tidak digunakan

Biaya service untuk layanan yang tidak kita gunakan juga merupakan latte factor. Streaming film, musik, TV kabel,  langganan premium aplikasi tertentu, keanggotaan gym yang tidak benar-benar digunakan atau dimanfaatkan dengan maksimal.

5. Belanja aksesoris / pakaian / barang yang tidak terlalu dibutuhkan secara online

Perhatikan histori belanja online, dan jumlahkan biaya-biaya yang timbul karena pembelian tersebut. Biaya asuransi barang, ongkos kirim, biaya aplikasi. Total penjumlahannya akan cukup besar.

Dampak yang timbul ketika kita terjebak dalam latte factor, pengeluaran tidak terkontrol, memicu perilaku konsumtif, sulit berinvestasi dan menyiapkan masa depan, tidak memiliki tabungan dan dana darurat. Memenuhi keinginan tertentu memang tidak sepenuhnya salah, namun jika terlalu berlebihan dikhawatirkan akan berimbas tidak baik pada keuangan, memunculkan efek domino terutama kalau hal ini dilakukan dalam jangka panjang.

Jika merasa terjebak dalam latte factor, salah satu cara mengatasinya adalah dengan membuat catatan pengeluaran setiap hari. Meskipun itu pengeluaran yang tampaknya kecil. Pada rekening online banking, manfaatkan fitur mutasi rekening untuk melacak pengeluaran dan pemasukan. Demikian pula pada akun marketplace dan e wallet.  Pencatatan pengeluaran tersebut harus dilakukan secara konsisten setidaknya selama satu hingga tiga bulan untuk mendapatkan gambaran pengeluaran terbesar yang bisa dikurangi. Jika kita dapat mengurangi atau bahkan meniadakan pengeluaran ekstra, kita bisa mengalihkan uang ekstra tersebut untuk keperluan yang lebih bermanfaat. Unutk investasi hari tua, investasi kesehatan, investasi biaya pendidikan, dll

Leave a comment